Pangan Murah Tinggal Sejarah

By , Jumat, 29 Mei 2009 | 13:09 WIB

Bahkan di saat resesi global pun orang masih relatif makmur di Provinsi Guangdong di China tenggara, tempat suku Yaotian duduk berimpitan di antara lahan kebun yang sempit dan blok-blok pabrik baru yang menjadikan Guangdong salah satu provinsi termakmur di China. Apabila sedang punya uang, orang China biasa makan babi. Babi dalam jumlah besar. Konsumsi daging babi per kapita di negara dengan penduduk terbanyak ini meningkat 45 persen antara 1993 hingga 2005, dari 24 kilogram menjadi 34 kilogram setahun.

Shen Guangrong, seorang konsultan industri daging babi yang ramah dan mengenakan kaus polo bergaris jambon, ingat ayahnya memelihara seekor babi setiap tahun, yang disembelih saat Tahun Baru Imlek. Itu menjadi satu-satunya daging yang mereka makan di tahun itu. Babi yang dipelihara ayah Shen tak memerlukan biaya mahal—varietas hitam-putih yang mudah hidup dan bosa makan hampir apa saja: sisa makanan, akar-akaran, sampah. Tak demikian halnya dengan babi modern China. Setelah demonstrasi berdarah di Lapangan Tiananmen 1989 yang menjadi puncak tahun kerusuhan politik yang diperparah dengan mahalnya harga pangan, pemerintah mulai menawarkan insentif pajak kepada peternakan industri besar untuk memenuhi permintaan yang meningkat. Shen ditugaskan bekerja di salah satu tempat pemberian makan hewan terpusat (TPMT) khusus babi, di dekat Shenzhen. Peternakan seperti itu yang menjamur beberapa tahun terakhir ini bergantung pada varietas yang diberi makan campuran berteknologi tinggi berupa tepung kedelai, jagung, dan suplemen agar binatang-binatang itu tumbuh pesat.!break!

Ini berita baik bagi rata-rata orang China yang gemar daging babi—yang konsumsi dagingnya masih tetap sekitar 40 persen konsumsi daging di AS. Namun, ini berbahaya bagi suplai biji-bijian dunia. Karena walaupun babi-asam-manis itu lezat, makan daging adalah cara makan yang tidak efisien karena untuk mendapatkan kalori dengan jumlah yang sama antara daging babi dan biji-bijan, babi harus makan biji-bijian sebanyak lima kali lipat dibandingkan kita langsung mengonsumsi biji-bijian tersebut—sepuluh kali lipat jika kita membahas daging sapi yang diberi makan padi-padian di AS. Karena semakin banyak biji-bijian yang dialihkan untuk ternak dan produksi biofuel kendaraan, konsumsi biji-bijian dunia per tahun meningkat dari 815 juta metrik ton pada 1960 menjadi 2,16 miliar metrik ton pada 2008. Sejak 2005, demam bioetanol saja telah meningkatkan pertumbuhan konsumsi padi-padian dari sekitar 20 juta ton per tahun menjadi 50 juta ton, menurut Lester Brown dari Earth Policy Institute, walaupun pertumbuhan itu dapat berubah karena lesunya industri etanol.

China yang menjadi negara penanam jagung terbesar kedua di dunia sekalipun tidak dapat menghasilkan cukup jagung bagi semua babinya. Sebagian besar dari kekurangannya dipenuhi dengan mengimpor kedelai dari AS atau Brasil, salah satu dari sedikit negara yang masih dapat memperluas lahan pertaniannya—terkadang dengan membabat hutan hujan. Naiknya permintaan untuk pangan, makanan ternak, dan biofuel menjadi penyebab utama deforestasi di daerah tropis. Antara 1980 hingga 2000, lebih dari separuh luas lahan pertanian baru di kawasan tropis dibuat dari hutan hujan utuh; Brasil saja memperluas lahan kedelainya di Amazonia 10 persen per tahun mulai dari 1990 hingga 2005.

Sebagian kedelai Brasil itu mungkin sampai ke bak makan ternak di Guangzhou Lizhi Farms, TPMT terbesar di Guangdong. CAFO itu terletak di sebuah lembah hijau, yang tak jauh dari jalan tol empat jalur yang sedang dibangun, memiliki sekitar 60 kandang babi berwarna putih yang tersebar di sekeliling kolam-kolam besar, bagian sistem pengolahan limbah dari 100.000 ekor babi. Kota Guangzhou juga membangun pabrik-pengemasan-daging baru yang akan memotong 5.000 ekor babi tiap hari. Pada saat penduduk China mencapai 1,5 miliar jiwa, sekitar 20 tahun mendatang, beberapa pakar memperkirakan mereka perlu 200 juta babi tambahan hanya untuk mengimbangi jumlah tersebut. Itu baru di China. Konsumsi daging dunia diperkirakan akan berlipat dua pada 2050. Ini berarti kita perlu biji-bijian tambahan dalam jumlah sangat banyak.

INI BUKAN PERTAMA KALINYA dunia berada di tepi jurang krisis pangan—ini hanyalah pengulangan yang terbaru. Pada usia 83, Gurcharan Singh Kalkat telah hidup cukup lama untuk menginngat salah satu bencana kelaparan terburuk di abad ke-20. Pada 1943, sebanyak empat juta manusia meninggal dalam “koreksi Malthus” yang dikenal sebagai Kelaparan Benggala. Selama dua dasawarsa berikutnya, India harus mengimpor jutaan ton biji-bijian untuk mengasupi rakyatnya.

Lalu datanglah revolusi hijau. Pada medio 1960-an saat India berjuang mengasupi rakyatnya selama musim kering yang kembali membawa bencana, seorang pemulia tanaman AS Norman Borlaug bekerja sama dengan para peneliti India untuk membawa varietas gandum unggul temuannya ke Punjab. Bibit baru itu berkah dari Tuhan, ujar Kalkat yang saat itu menjabat sebagai deputi direktur pertanian Punjab. Pada 1970, dengan upaya yang sama, petani memperoleh hasil lipat tiga. “Kami bingung mau diapakan surplus tersebut. Kami liburkan sekolah sebulan lebih awal agar dapat menyimpan hasil panen gandum di gedung sekolah,” kata Kalkat.

Borlaug lahir di Iowa dan menganggap misinya adalah menyebarkan metode pertanian produksi-tinggi yang mengubah Midwest Amerika menjadi lumbung gandum bagi tempat-tempat miskin di seluruh dunia. Varietas gandum genjah terbarunya yang berbatang besar dan pendek menopang bulir yang penuh dan besar, merupakan terobosan yang mengejutkan. Varietas ini dapat menghasilkan bulir melebihi gandum jenis lain—asalkan tersedia banyak air, pupuk buatan, serta tak banyak gangguan gulma dan hama. Karena itu, pemerintah India menyubsidi pembuatan saluran irigasi, pupuk, dan penggalian sumur pipa untuk irigasi, serta memberi petani listrik gratis untuk memompa air. Varietas gandum baru tersebut segera menyebar ke seluruh Asia, mengubah cara bertani tradisional jutaan petani dan segera diikuti oleh galur padi “ajaib” baru. Tanaman pangan jenis baru tersebut tumbuh dewasa lebih cepat, sehingga petani bisa panen dua kali setahun, alih-alih hanya sekali. Kini panen gandum, beras, dan kapas dua kali setahun merupakan hal biasa di Punjab, yang bersama tetangganya Haryana, saat ini memasok lebih dari 90 persen gandum yang dibutuhkan negara-negara bagian yang kurang padi-padian di India.!break!

Revolusi hijau yang dimulai Borlaug tidak ada hubungannya dengan label hijau ramah-lingkungan yang populer saat ini. Dengan penggunaan pupuk buatan dan pestisida untuk memelihara ladang luas dari tanaman sejenis, metode yang dikenal sebagai monokultur, cara baru pertanian industri ini merupakan antitesis dari tren pertanian organik saat ini. Sebetulnya, William S. Gaud yang saat itu menjabat administrator di US Agency for International Development menciptakan frase itu pada 1968 untuk menggambarkan alternatif bagi revolusi merah Rusia, yaitu saat buruh, tentara, dan rakyat jelata yang lapar memberontak terhadap pemerintahan tsar. Revolusi hijau yang lebih damai sangat berhasil, sehingga Borlaug mendapat Hadiah Nobel Perdamaian pada 1970.

Sayangnya, saat ini keajaiban revolusi hijau telah berakhir di Punjab: Tak ada lagi pertumbuhan hasil panen sejak medio 1990-an. Irigasi berlebihan menyebabkan penurunan aras air secara drastis, yang saat ini disedot oleh 1,3 juta sumur pipa, sementara ribuan hektare lahan produktif rusak karena salinisasi dan digenangi air. Empat puluh tahun pemakaian pestisida, pupuk, dan irigasi intensif telah merusak tanah abu-abu berlempung di Punjab. Dalam beberapa kasus, juga membahayakan masyarakatnya.

Di desa petani Bhuttiwala yang berdebu, yang dihuni 6.000 jiwa di distrik Muktsar, tetua desa Jagsir Singh dengan janggut panjang dan turban biru kobalt, menghitung korban yang jatuh: “Ada 49 orang yang meninggal karena kanker dalam empat tahun terakhir. Sebagian besar anak muda. Airnya tidak sehat. Beracun, tercemar. Tapi tetap saja orang minum air itu,” katanya.

Setelah menempuh jalan tanah sempit dan melewati beberapa gundukan tahi sapi kering, Singh memperkenalkan Amarjeet Kaur, wanita langsing usia 40 tahun yang selama bertahun-tahun mengambil air untuk keperluan rumah tangganya dari pompa tangan di kampung mereka yang tanahnya sekeras bata . Dia didiagnosis mengidap kanker payudara tahun lalu. Tej Kaur, 50 tahun, juga mengidap kanker payudara. Pembedahannya, ujarnya, tidak semenyakitkan kehilangan cucunya yang berusia tujuh tahun karena “kanker darah”—leukemia. Jagdev Singh adalah anak lelaki usia 14 tahun berwajah cakap yang tulang belakangnya rusak perlahan-lahan. Sambil duduk di kursi roda, dia menonton SpongeBob yang disulih suara ke dalam bahasa Hindi sementara ayahnya mendiskusikan prognosisnya. “Kata dokter, usianya tak akan sampai 20 tahun,” kata Bhola Singh.