Somalia yang Tercabik

By , Senin, 31 Agustus 2009 | 14:34 WIB

Mohammed masih bayi ketika perang saudara berkecamuk antara milisi yang bersaing mengambil alih distrik Hamarweyne pada 1991. “Empat bulan mereka berperang, di sini, di permukiman kami,” katanya mengingat cerita orang tuanya. “Kami tidak bisa mendapatkan makanan. Semua sangat ketakutan.” Suatu hari, sebuah mortir menghantam rumah tetangganya dan menewaskan penghuninya. Serpihan mortir terbang memasuki rumah keluarga Mohammed, menembus leher dan ruang tulang rusuk ayahnya yang menjadi polisi di bawah rezim Barre. Keluarganya bersama para tetangga menumpang kendaraan ke utara menuju Hargeysa di Somaliland dan mereka tinggal di sana selama tiga bulan. Mereka kembali ke Mogadishu dan mendapati Hamarweyne sudah musnah dan atap rumah mereka berlubang-lubang.!break!

“Kami harus mulai lagi dari nol,” kata Mohammed mengingat masa itu. Luka akibat serpihan mortir membuat ayahnya mengalami disorientasi dan tidak bisa bekerja lagi. Mohammed berkeliaran di jalan, menyemir sepatu orang asing, tetapi ibunya bersikeras agar dia berhenti bekerja dan mulai bersekolah. Dengan mengandalkan uang kiriman bibinya yang tinggal di Arab Saudi, mereka hidup pas-pasan. Pada musim hujan, air tercurah melalui atap dan menggenangi rumah mereka.

Beberapa tahun yang lalu, sahabat Mohammed tewas dihantam mortir ketika sedang melintasi di jalan. Mohammed tidak dapat duduk di bangku kelasnya tanpa memikirkan sahabatnya itu. Dia berhenti sekolah dan menjadi nelayan sampai sekarang, kadang membawa hasil tangkapannya sehari-hari ke pasar Bakaara, meskipun permukiman di sana dalam kekuasaan milisi al Shabaab. Dia masih ingat, tiba di pasar suatu hari dan mendapati sepuluh orang bergelimpangan tak bergerak di jalan. Dia masih ingat berusaha tidur di malam hari, tetapi terus membayangkan wajah orang-orang yang sudah mati itu.

Ketika ditanya mengenai kenangan indah, Mohammed menatap laut. Senyumannya bukan senyuman ceria seorang pemuda. “Aku tidak punya kenangan indah apa pun,” katanya.

DUA MINGGU sebelum kedatanganku, ayah Mohammed bangun di pagi hari, seperti biasa, disertai sakit kepala akibat cedera yang dialaminya. Dengan sukarela dia bergabung dengan sebuah kelompok yang kebanyakan anggotanya perempuan untuk memunguti sampah di sepanjang Jalan Maka al Mukarama—jalan raya utama dari bandara Mogadishu—dengan imbalan makanan. Dia tiba terlambat satu jam, tepat ketika mendengar suara ledakan.

Teman-temannya sesama sukarelawan bergelimpangan di sepanjang jalan—tercabik-cabik oleh bom di trotoar, wajah mereka hancur tak bisa dikenali. Seorang anak berdiri dengan pandangan hampa menatap potongan tubuh itu. Empat puluh empat orang wanita dibawa ke rumah sakit. Separuh di antaranya sudah tewas.!break!

Kekerasan itu mencekam penduduk kota, tetapi anehnya tidak dirasakan orang luar. Kerusakan itu nyata, tetapi tidak cukup nyata sampai akhirnya, dengan gejolak rasa ngeri, hal itu terasa amat nyata. Jadi, mungkin saja orang terbangun pada jam enam pagi karena mendengar ledakan yang menggelegar, sebagaimana yang kualami pada pagi keempatku di Mogadishu—berjalan menuruni tangga, lalu keluar ke teras yang teduh di hotel kami yang kokoh dan mendapati pemilik hotel berayun-ayun dengan nyaman di ayunan sambil menyeruput kopi Yaman-nya, yang biji kopinya disembunyikan di kamar tidurnya. Saat aku duduk, dia menanyakan apakah aku suka ikan ekor kuning yang dihidangkan tadi malam. Kami mengobrol tentang anak-anaknya yang pindah ke North Carolina dan Georgia. Tentang kekuasaan dan kelicikan Siad Barre (“Tidak ada yang seperti dia lagi!”). Tentang Barack Obama, pasta lezat yang pernah disantapnya di Bergamo Italia, usaha sampingannya di Dubai—dan ya, sekilas tentang ledakan yang terjadi di pagi hari itu, yang ternyata akibat mortir yang diluncurkan para pemberontak ke pasukan TFG (yang justru menewaskan beberapa orang awam yang tak bersalah), diikuti oleh saling tembak yang berlangsung lama di pusat kota. Kekerasan itu hanya diobrolkan sekilas saja, seperti kecelakaan biasa yang tidak nyata.

Padahal, kekerasan itu begitu nyata. Selanjutnya di pagi itu, kami ke Rumah Sakit Medina—seperti yang kami lakukan setiap hari sejak kami tiba—dalam ritual yang mengerikan. Dua hari sebelumnya, kami menjenguk para wanita yang dirawat karena terkena bom trotoar di Jalan Maka al Mukarama—ada yang mengalami luka bakar parah, beberapa orang kehilangan anggota badan, dan banyak yang sedang hamil. Ledakan-baru di dekat hotel kami memakan 18 korban baru sehingga rumah sakit kewalahan. Lantai dan dindingnya penuh noda darah. Pasien yang kehilangan anggota badannya tergolek di atas tandu di lorong dan di teras. Kerumunan anggota keluarga berdiri di dekat masing-masing korban—semuanya cemas, tentu saja, tetapi tidak ada yang meneteskan air mata.

Di kala peluru beterbangan dan tubuh manusia bergelimpangan, para pegawai pemerintah meyakinkan kami tanpa perasaan malu sedikit pun bahwa segala sesuatunya terkendali. “Benar, opini publik berubah. Orang membenci al Shabaab karena hal-hal yang sudah mereka lakukan,” kata Abdifitah Ibrahim Shaaweey, wakil gubernur bidang keamanan wilayah sekitar Mogadishu, seorang lelaki awet muda yang berkeliling kota diiringi konvoi besar dan yang pendahulunya, ayahnya, tewas dalam konflik dua tahun lalu. “Tentu saja ada banyak tempat yang pemerintahnya menghadapi oposisi,” kata komandan pasukan nasional Somalia Yusuf Dhumal diplomatis. Kemudian dia menambahkan, “Tetapi, banyak bagian di negeri ini yang mendukung pemerintah,” sambil menyebutkan beberapa wilayah negara itu—termasuk wilayah semi-otonom Puntland di bagian timur laut, tempat bajak laut merajalela. Meski begitu, pengawasan mulai longgar. Siang itu kami berkendara melalui salah satu distrik “terkendali” dan mendapati jalan utamanya baru saja dihalangi setelah seorang polisi tewas tertembak di situ.

KEKACAUAN yang berkelanjutan di Somalia dapat membingungkan orang luar. “Kami mengunjungi negara-negara yang porak-poranda akibat perang ini sambil berusaha tidak merasa pesimistik,” kata Ken Menkhaus, pakar tentang Tanduk Afrika di Davidson College di North Carolina. “Tetapi, di Somalia kita harus maklum bahwa orang-orang yang selalu bersikap sinis—yakni orang-orang yang berpendapat bahwa prakarsa damai pasti gagal—ternyata benar selama hampir 20 tahun.”!break!

Sikap skeptis tentang masa depan Somalia pupus sejenak di awal 2009 ketika penarikan mundur pasukan Etiopia membangkitkan harapan bahwa pemberontakan akan pudar. Kesepakatan pembagian-kekuasaan menghasilkan TFG versi baru, yakni pemerintahan pelangi dipimpin oleh Islam moderat yang mendapatkan dukungan kuat internasional. Namun, pemerintahan baru ini berjuang keras untuk mempertahankan kendali karena baik al Shabaab maupun pemberontak Islam garis keras lainnya Hizbul Islam telah mengambil alih sebagian besar wilayah tengah dan selatan Somalia. Pada Juni 2009, pasukan yang setia kepada pemerintahan yang rapuh ini hanya menguasai tujuh dari 18 distrik Mogadishu. Pertempuran terbaru menewaskan lebih dari 200 orang dan menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal.

Mengapa kekerasan begitu sulit diredam? Sudut pandang yang dapat menjelaskan hal ini dapat ditemukan di kawasan utara, di Somaliland. Tidak ada tanda kasat mata yang membedakan penduduk Somaliland dari penduduk Somalia. Namun, dengan mata telanjang pun kita dapat melihat banyak perbedaan antara kedua wilayah itu. Ibu kota Somaliland, Hargeysa, adalah jalanan yang hancur, lalu lintas yang semrawut, sampah di mana-mana, dan kamp pengungsi, tetapi ada dua hal yang tidak kita dapati di Mogadishu. Yang pertama adalah maraknya pembangunan—hotel, restoran, pusat bisnis. Yang kedua adalah gerai penukaran mata uang tampak bertebaran di jalan, dan di situ tampak para wanita duduk di samping tumpukan shilling Somaliland setinggi satu meter tanpa ditemani oleh petugas keamanan sama sekali.