Somalia yang Tercabik

By , Senin, 31 Agustus 2009 | 14:34 WIB

Ketika pintu geser gerbang dibuka, seorang wanita masuk ke dalam antrean, melihatku, lalu membisikkan sesuatu kepada seorang pekerja pembantu: “Katakan kepadanya, kami mendoakan gaalo karena mereka memberi kami makan. Para pejuang jihad tidak lagi memberi kami makan. Mereka malah membunuhi kami.”

PEMBUNUHAN terjadi di sekeliling kami. Tetapi, baru kami saksikan sendiri bahaya tersebut pada hari kedelapan berada di Somalia. Kami berangkat pada Sabtu pagi mengendarai dua mobil SUV yang dipenuhi pengawal bersenjata, ke selatan menuju kota pantai Marka yang sarat dengan peninggalan Italia. Jalan sepanjang 100 kilometer antara kedua kota itu hampir seluruhnya dikendalikan al Shabaab (pada bulan-bulan berikutnya, al Shabaab berhasil menguasai Marka dan kebanyakan kota di wilayah Somalia tengah-selatan). Karena itulah, perjalanan sehari tersebut merupakan hasil negosiasi panjang antara pemandu kami dan para pemberontak. Disepakati bahwa segera setelah kami meninggalkan batas kota Mogadishu, para pengawal kami yang berasal dari TFG akan meninggalkan kendaraan dan digantikan oleh pengawal dari pihak milisi. Tindak kehati-hatian ini memerlukan uang, yang syukurlah kami miliki. Dua orang wartawan dalam sebuah mobil yang jaraknya beberapa kilometer di belakang tidak seberuntung kami.

Mereka wartawan lepas yang masih muda—satu dari Australia, satu dari Kanada—dan mereka baru saja tiba, penuh semangat, tetapi minim pengalaman ataupun uang. Mereka meyakinkan pemandunya untuk membawa mereka ke kamp penduduk yang terusir dari tempat tinggalnya (internally displaced persons, IDP) sekitar 16 kilometer di luar Mogadishu, menyusuri jalan yang juga kami lalui. Mereka sudah membayar pengawal TFG, tetapi belum membayar petugas keamanan dari pihak milisi untuk mengantarkan mereka ke kamp pengungsi yang jaraknya beberapa kilometer terakhir. Perjudian mereka ternyata harus dibayar mahal.

Jalan raya dijejali pengungsi yang berkeliaran dan banyak konvoi membawa timbunan arang dari hutan ke selatan. Setelah perjalanan 30 menit, pemandu kami berkata, “Aku sudah menelepon gaalo yang lain, tapi mereka tidak menjawab.” Dia menelepon petugas keamanan TGF yang mengawal kedua wartawan itu. Benar, mobil mereka berhasil mencapai tempat pemeriksaan di batas kota. Dia menelepon kamp IDP. Mereka belum sampai. Pada saat kami tiba di Marka, seorang anggota al Shabaab menelepon menyampaikan kabar. Kedua wartawan diculik. Uang tebusannya mungkin satu juta dolar AS per orang. Kehadiran dua orang gaalo lainnya di jalan yang sama sangat mencolok mata. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib kami kelak.!break!

Kami menghabiskan malam di sebuah pesanggerahan di Marka. Tidaklah aman kembali ke Mogadishu mengendarai mobil di jalan yang sudah kami tempuh, padahal itulah satu-satunya jalan menuju kota. Sebuah pesawat terbang PBB dijadwalkan akan tiba dua hari lagi; kami dapat menumpang ke Nairobi, meskipun koper dan paspor kami ada di hotel di Mogadishu. Pada akhirnya kami memutuskan untuk kembali dengan menempuh rute lain. Seseorang yang berkuasa di Marka menawari kami untuk meminjam 12 anggota milisinya yang bersenjata lengkap, para pemuda yang berafiliasi dengan al Shabaab. Mereka akan mengawal kami sampai ke batas kota, kemudian dari sana satuan TFG akan membawa kami kembali ke hotel, lalu ke bandara. Biayanya 500 dolar AS tunai. Jalannya akan menyusuri pantai Samudra Hindia.

Kami menunggu keesokan harinya sampai pasang telah surut. Lalu, tepat sebelum pukul 11, kami keluar dari pesanggerahan dan naik mobil menembus kota—dua SUV dan sebuah truk yang bak belakangnya rata dipenuhi selusin pemuda bersenjatakan senapan M16, Kalashnikov, sabuk amunisi, dan sebuah senjata mesin putar berukuran besar yang dipasang di bak truk—sementara penduduk setempat menatap orang-orang asing ini dengan pandangan mafhum karena berita penculikan itu sudah menyebar. Kami berkendara melalui pasar, melewati tumpukan cangkang penyu, kemudian pemandangan hanya pantai. Ombak menghempas ke roda kendaraan. Pasukan pemuda milisi itu mengobrol dengan riang, dan setiap kali roda truk terperangkap dalam pasir—dan ini terjadi setiap 2-3 kilometer—mereka melompat keluar dari kendaraan untuk mendorongnya. Mau tak mau aku berpikir: Bisa saja mereka merampas uang yang 500 dolar itu sambil sekaligus menyandera kami.

Tanpa terduga, pantai tiba-tiba berakhir setelah seperempat perjalanan. Jalan tanah muncul dan membawa kami ke kota Gendershe yang pernah menjadi kota peristirahatan favorit. Sekarang dikuasai kaum militan Islam. Jalan menyempit di saat kami memasuki desa batu yang cantik, lalu muncul beberapa lelaki. Mereka memerintahkan pengawal kami mematikan musik di mobil kami. Mata mereka terbelalak ketika melihat dua orang gaalo. Tetapi, beberapa orang pemuda di truk mengenal para tetua Islam itu, dan beberapa menit kemudian kami pun bergerak melalui ujung kota Gendershe yang lain, tempat palang pemeriksaan diangkat dan kami diizinkan lewat.

Tak lama kemudian pantai terlihat lagi. Tampak beberapa kapal nelayan kecil, beberapa orang penggembala kambing, dan hanya itu saja. Kira-kira sudah separuh perjalanan, ketika truk milisi itu harus berhenti untuk kesekian kalinya karena mogok, semua penumpang turun dari kendaraan, dan kami semua berjalan menuju laut, menatap cakrawala. Kubuka sekotak biskuit padat gizi. Kami menyantapnya, saling pandang, berpotret ria, dan di saat itulah aku yakin bahwa kami akan selamat.Ketika tiba di hotel, kami dipeluk para pegawainya, Mohammed si nelayan dan ayahnya datang menemuiku untuk terakhir kalinya. Kusodorkan uang $20. Dia memberikan $15 kepada ayahnya, dan hanya mengambil $5. “Untuk qat dan rokok,” katanya sambil tersenyum. “Untuk menikmati malam.”!break!

Bandara Mogadishu dipenuhi penumpang—banyak di antara mereka membawa tas-tas besar, menandakan bahwa mereka juga akan meninggalkan negeri itu. Semuanya menatap si gaalo, dan aku bertanya-tanya apakah ada kejutan lain yang menunggu kami.

Ternyata memang ada. Satu per satu, mereka menghampiri kami. Menjabat tangan kami. Dan berkata kepada kami, melalui pemandu kami bahwa mereka prihatin atas nasib dua orang wartawan yang lain itu. Betapa mereka berterima kasih karena kami telah datang. Betapa mereka sedih atas apa yang terjadi. Betapa mereka penuh harap bahwa kami akan memberitakan pada dunia luar.

Di saat kisah ini dicetak, meski upaya diplomatik sudah dilakukan, kedua wartawan itu masih disandera menunggu uang tebusan. Dan rakyat Somalia masih terus menunggu datangnya perdamaian.