Manusia Bionik

By , Rabu, 30 Desember 2009 | 11:43 WIB

Pada Oktober 2006, Kuiken mulai merangkai ulang saraf Amanda Kitts. Langkah pertama adalah menyelamatkan saraf utama yang dulu memanjang hingga ke ujung lengan Kitts. Saraf itu berawal di otak Kitts (dalam korteks motor) yang menyimpan peta kasar tubuh, tetapi berakhir di ujung yang buntung. Melalui operasi rumit, ahli bedah mengalihkan saraf itu ke beberapa wilayah di otot pangkal lengan Kitts. Selama berbulan-bulan saraf ini tumbuh, milimeter demi milimeter, semakin dalam di tempat barunya.

“Pada bulan ketiga saya mulai merasa gelenyar dan kedutan,” ujar Kitts. “Pada bulan keempat saya benar-benar dapat merasakan berbagai bagian tangan saat menyentuh pangkal lengan. Saya dapat menyentuh beberapa tempat dan merasakan jari yang berbeda.” Yang dirasakannya adalah bagian “tangan hantu” yang terpetakan di otaknya kini tersambung lagi dengan daging. Ketika Kitts ingin menggerakkan jari hantunya, otot pangkal lengannya berkontraksi.

Sebulan kemudian dia dipasangi lengan bioniknya yang pertama, dengan elektrode dalam mangkuk yang membungkus lengan buntungnya untuk mengambil sinyal dari otot. Kini tantangannya adalah mengubah sinyal tersebut menjadi perintah yang menggerakkan siku dan tangan. Derau listrik yang kuat muncul dari area kecil di lengan Kitts. Di dalamnya ada berbagai sinyal. Mikroprosesor yang terpasang di prostesis harus diprogram untuk memilih sinyal yang benar dan mengirimkannya ke motor yang tepat.

Penemuan sinyal ini dimungkinkan oleh adanya lengan hantu Kitts. Di lab di RIC, Blair Lock, seorang insinyur peneliti, menyetel pemerogramannya. Dia meminta Kitts me-lepaskan lengan buatan itu agar dia dapat membungkus lengan buntung itu dengan elektrode. Kitts berdiri di depan layar datar TV besar yang menampilkan lengan-warna-daging lepas mengambang di ruang biru—visualisasi lengan hantunya. Elektrode Lock menerima perintah dari otak Kitts yang mengalir ke lengan buntungnya, dan lengan virtual itu bergerak.!break!

Dengan suara rendah, agar tidak mengganggu konsentrasi Kitts, Lock meminta Kitts memutar tangannya, telapak tangan ke dalam. Di layar, tangannya berputar, telapak ke dalam. “Kini luruskan pergelangan, telapak ke atas,” ujarnya. Tangan di layar bergerak. “Lebih baik daripada sebelumnya?” tanya Kitts. “Tentu saja. Sinyalnya kuat.” Kitts tertawa. Kini Lock memintanya meluruskan jempolnya searah jari lainnya. Tangan di layar menurut. Mata Kitts terbelalak. “Wah. Saya malah tidak tahu bisa melakukan hal itu!” Begitu sinyal otot yang terkait dengan gerakan tertentu diketahui, komputer yang ada di lengan diprogram untuk mencarinya dan merespons dengan menggerakkan motor yang tepat. Kitts berlatih menggunakan lengannya satu lantai di bawah kantor Kuiken, di apartemen yang oleh terapis okupasi dilengkapi dengan berbagai benda yang biasa digunakan orang yang baru diamputasi. Di sana ada dapur dengan kompor, peralatan makan dalam laci, tempat tidur, lemari pakaian lengkap dengan gantungan baju, kamar mandi, tangga—hal-hal yang kita gunakan sehari-hari tetapi sangat menyulitkan orang yang kehilangan tungkainya. Mengamati Kitts membuat roti lapis selai kacang di dapur menjadi pengalaman yang mengejutkan. Dengan lengan baju digulung untuk menunjukkan mangkuk plastik, gerakannya lancar. Tangan aslinya memegang seiris roti, jari buatannya meng-genggam pisau, siku tertekuk, dan dia mengoleskan selai kacang maju-mundur.

“Awalnya tidak mu-dah. Aku mencoba meng----gerakkannya, dan tidak selalu mengarah ke tempat yang dituju.” Namun, Kitts terus berlatih, dan semakin sering dia menggunakan lengan itu, gerakannya semakin terasa seperti aslinya. Yang paling diinginkan Kitts sekarang adalah indra perasa. Itu akan sangat menolong dalam banyak gerakan, termasuk salah satu favoritnya—minum kopi.

“Masalahnya dengan cangkir kopi plastik adalah tanganku mengepal terlalu kencang. Cangkir plastik tak bisa dipegang dengan kencang,” ujarnya. “Pernah terjadi di Starbucks. Terus menjepit sampai cangkirnya pecah.”

Peluang Kitts untuk mendapatkan indra perasa cukup baik. Bermitra dengan Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory, RIC telah mengembangkan prototipe baru untuk Kitts dan pasien lain yang tidak hanya lebih lentur, tetapi juga memiliki bantalan sensor tekanan di ujung jarinya. Bantalan itu terhubung ke batang kecil seperti piston yang menekan lengan buntung Kitts. Semakin kuat tekanan, semakin kuat sensasi di jari hantunya. “Saya dapat merasakan seberapa kuat pegangan saya,” ujar Kitts. Dia juga dapat mem-bedakan antara meraba benda yang kasar seperti ampelas atau yang halus seperti gelas berdasarkan kecepatan vibrasi batang-batang itu. “Aku ingin segera membawa alat ini pulang.”!break!

Berbeda dengan Kitts, Eric Schremp tidak perlu tangan buatan. Dia cuma perlu tangan aslinya berfungsi. Tangan itu tak bisa berfungsi tanpa bantuan sejak lehernya patah pada 1992, membuat keempat tungkainya lumpuh. Namun, kini pria berusia 40-tahun itu dapat memegang pisau atau sendok.

Dia dapat melakukan hal ini berkat alat implan yang dikembangkan Hunter Peckham, seorang insinyur biomedis. “Tujuan kami ada-lah memulihkan genggaman tangan,” ujar Peckham. “Tangan penting untuk kemandirian.”

Otot jari Schremp serta saraf yang me--ngendalikannya masih ada, tetapi sinyal dari otaknya terputus di leher. Tim Peckham pun me--rentangkan delapan elektrode mikroskopis dari dada Schremp ke bawah kulit lengan ka-nannya, hingga otot jari. Gerakan otot di dada memicu sinyal yang dikirimkan melalui pemancar radio ke komputer kecil yang tergantung di kursi roda Schremp. Komputer menafsirkan sinyal itu dan memancarkannya kembali ke penerima yang tertanam di dadanya, di sana sinyal ini lalu dikirim melalui kabel di lengan Schremp ke tangan, kemudian sinyal memerintahkan jarinya menggenggam—semuanya terjadi dalam hitungan mikrodetik.

“Saya dapat memegang garpu dan makan sendiri,” ujar Schremp. “Itu besar artinya.”!break!