Manusia Bionik

By , Rabu, 30 Desember 2009 | 11:43 WIB

Ada sekitar 250 orang yang telah dirawat dengan teknik ini, yang masih dalam tahap percobaan. Tetapi, sebuah perangkat bionik lainnya memperlihatkan bahwa perpaduan otak dan mesin dapat sangat bermanfaat dan tahan lama karena telah dipasang pada hampir 200.000 orang di seluruh dunia selama 30 tahun terakhir. Perangkat itu adalah implan rumah siput dan Aiden Kenny merupakan salah satu penerima terakhirnya. Tammy Kenny, sang ibu, ingat, setahun lalu dia mengetahui bayinya tak dapat ditolong dengan alat bantu dengar.

“Aku hanya bisa menggendongnya dan menangis,” ujar Tammy, “karena tahu bahwa dia tak dapat mendengarku. Bagaimana cara dia nanti mengenalku? Suatu kali, suamiku membenturkan panci, berharap ada respons.” Aiden tak pernah mendengar bunyi itu.

Kini Aiden dapat mendengar panci ber-dentang. Pada  Februari 2009, ahli bedah di Johns Hopkins Hospital me-masang kabel tipis dengan 22 elektrode di setiap rumah siput Aiden, bagian telinga dalam yang biasanya mendeteksi getaran suara. Mikrofon juga dipasang untuk menerima suara dan mengirimkan sinyal ke elektrode yang langsung mengantarkannya ke saraf.

“Pada hari mereka menghidupkan implan itu sebulan setelah pembedahan, kami lihat dia merespons suara,” ujar Tammy. “Dia berpaling saat mendengar suaraku. Mengagumkan.” Kini,  berkat terapi intensif, Aiden belajar bahasa dan dengan cepat mengejar ketinggalan dari teman-teman seusianya.!break!

Mata bionik mungkin juga segera menyusul. Jo Ann Lewis kehilangan penglihatannya be-berapa tahun lalu akibat retinitis pigmentosa (RP), penyakit degeneratif yang menghancurkan sel pendeteksi cahaya di mata yang disebut sel batang dan sel kerucut. Namun, kemudian dia mendapat kembali sebagian penglihatannya berkat hasil penelitian Mark Humayun, pakar oftalmologi di perusahaan Second Sight.

Pada penyakit ini biasanya sebagian lapisan dalam retina selamat. Lapisan yang berisi sel bipolar dan ganglion ini biasanya mengambil sinyal dari sel batang dan kerucut di bagian luar dan mengirimkannya ke serat yang ber-gabung menjadi saraf optik. Tidak ada yang mengetahui sinyal yang dikirimkan retina atau cara mengirimkan citra yang dapat diprosesnya dengan benar. Namun pada 1992, Humayun mulai menempatkan, hanya sebentar, susunan elektrode kecil di retina pasien RP yang menjalani operasi karena sebab lain.

“Kami meminta mereka untuk mengikuti titik yang bergerak dan mereka dapat me-lakukannya,” ujarnya. “Mereka dapat me-lihat baris dan kolom.” Setelah satu dasa-war-sa pengujian, Humayun dan rekannya mengembangkan sistem yang dinamai Argus (raksasa dengan ratusan mata dalam mitologi Yunani). Pasien mendapat kacamata hitam yang dipasangi kamera video kecil, lengkap dengan pemancar radio. Sinyal video dipancarkan ke komputer yang terpasang di sabuk, diterjemahkan menjadi pola impuls listrik yang dimengerti sel ganglion, lalu dipancarkan ke penerima yang terletak di belakang telinga. Dari sini ada kabel yang membawa impuls ke dalam mata, ke susunan bujur sangkar 16 elektrode yang terpasang lembut ke permukaan retina. Impuls ini memicu elektrode. Elektrode memicu sel. Kemudian otak mengerjakan sisanya, sehingga para pasien awal ini dapat melihat bayangan dan beberapa bentuk kasar.

Pada musim gugur 2006 Humayun, Second Sight, dan tim internasional menambah jumlah elektrode dalam susunan itu menjadi 60. Seperti kamera dengan piksel yang lebih banyak, susunan baru ini menghasilkan gambar yang lebih tajam. Lewis, salah satu yang pertama mendapatkannya. “Kini saya dapat melihat siluet pohon lagi,” ujarnya. “Seingat saya, itu salah satu hal terakhir yang dapat saya lihat secara alami. Kini saya dapat melihat cabang pohon mencuat ke berbagai arah.”!break!

Dengan mempercanggih konsep prostesis saraf, para peneliti mulai menggunakannya langsung pada otak. Para ilmuwan di proyek BrainGate mencoba menghubungkan korteks motor pasien yang tak dapat bergerak total secara langsung ke komputer sehingga pa-sien dapat menggerakkan benda dari jarak jauh dengan pikirannya. Sejauh ini, subjek peng-ujian dapat menggerakkan kursor di layar kom-puter. Para peneliti bahkan berencana mengembangkan hipokampus buatan, bagian otak yang menyimpan memori, dengan tujuan menanamkannya pada orang yang menderita hilang ingatan.

Namun, tidak semuanya berjalan sempurna. Satu dari empat pasien awal BrainGate memutuskan untuk mencabut sambungan itu karena me-mengaruhi kerja perangkat medis lain. Dan Jo Ann Lewis mengatakan penglihatannya tidak cukup untuk menyeberang jalan dengan aman. Namun, sekarang Kitts memiliki mangkuk yang lebih elastis di pangkal lengannya, yang membuat elektrode berada lebih pas di saraf pengendali tangan.

Kuiken mengatakan, “Kami memberi alat kepada orang. Alat ini lebih baik daripada yang sebelumnya. Namun masih kasar, seperti palu, dibandingkan kerumitan tubuh manusia. Alat ini kalah jauh dengan yang alami.” Namun, setidaknya orang yang menggunakan alat itu masih dapat menarik manfaat. Bahkan beberapa dapat memberi harapan.