Kisah Sukses Singapura

By , Kamis, 4 Februari 2010 | 09:46 WIB

Jika Anda ingin membuat seorang warga Singapura tersentak dan menghentikan menikmati hidangan kari kepala ikan kegemarannya, katakan saja bahwa Anda akan mewawancarai “mentor menteri” negara itu, Lee Kuan Yew, dan ingin meminta pendapat mereka tentang apa yang harus ditanyakan kepada sang mentor. "Dengan MM? Luar biasa! Anda akan bertemu dengan MM? Sungguh? " Ini ibarat Anda mengatakan kepada penduduk Emerald City bahwa Anda terlambat tiba untuk bertemu dengan Wizard of Oz. Sebab, LKY, begitu dia dikenal di Singapura yang keranjingan akronim, lebih dari sekadar "bapak bangsa." Dia adalah penemu, seolah-olah dia telah merumuskan secara ilmiah tempat itu dengan ramuan yang tepat dari Republic karya Plato, latar belakang pendidikan tinggi di Inggris, pragmatisme ekonomi yang mantap, dan kemampuan menegakkan disiplin dengan tangan besi, yakni cara yang sebenarnya sudah usang.!break!

Orang suka menyebut Singapura sebagai Swiss dari Asia Tenggara, dan siapa yang meragukannya? Dulu Singapura memang hanyalah rawa-rawa sumber malaria, tetapi pulau kecil di ujung selatan Semenanjung Melayu ini mendapatkan kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1963 dan, dalam satu generasi, berubah menjadi sebuah tempat yang terkenal sangat efisien dengan pendapatan per kapita 3,7 juta warganya melebihi pendapatan banyak negara Eropa, pendidikan dan sistem kesehatannya mampu bersaing dengan dunia Barat, sebagian besar pejabat pemerintahnya tidak mengenal korupsi, 90 persen keluarga warganya memiliki rumah sendiri, pajaknya relatif rendah, trotoarnya selalu bersih, dan tidak terlihat ada tunawisma atau daerah kumuh.

Jika semua itu, ditambah tingkat pengangguran sekitar 3 persen dan timbunan uang tunai di bank berkat program tabungan wajib yang diberlakukan pemerintah, masih belum memikat hati Anda, coba Anda berkunjung ke tempat yang jaraknya 950 kilometer di sebelah selatan dan cobalah bertahan hidup di kota penuh gubuk di Jakarta.

Untuk mencapai semua ini dibutuhkan tindakan penyeimbangan yang cermat antara insentif dan hukuman , yang sering merupakan interaksi paradoksal antara dua hal; warga Singapura menyebutnya "tongkat besar dan wortel besar."

Hal pertama yang menarik perhatian adalah wortel: pesatnya pertumbuhan finansial memacu pembangunan dan konsumerisme yang tak kenal akhir. Sedangkan tongkat, yang paling sering dilambangkan dengan larangan soal permen karet dan merotan orang karena menyemprot mobil dengan cat. Bagaimana dengan hal-hal yang berpotensi menimbulkan kericuhan seperti masalah SARA? Hal-hal seperti itu tidak diperbolehkan, dan tidak ada orang yang mencuri dompet orang lain.

Singapura, mungkin lebih dari tempat lain, memusatkan perhatian pada sebuah pertanyaan mendasar: Berapa besar pengorbanan yang diperlukan untuk mewujudkan kemakmuran dan keamanan? Apakah keduanya dapat terwujud di tempat yang oleh banyak orang dianggap sebagai tempat yang masyarakatnya direkayasa, yang tak kenal lelah bekerja, yang terpacu oleh ambisi yang hanya menilai segalanya dari segi pekerjaan, yakni di tempat yang partai penguasanya mengabadikan diri dengan memberlakukan undang-undang yang “kejam” (kartu masuk ke bandara memberitahu Anda dengan huruf merah bahwa hukuman bagi perdagangan narkoba adalah "MATI"), yang membungkam kebebasan pers, dan menawarkan tingkat transparansi keuangan yang layak diperdebatkan? Beberapa orang bercanda dengan mengatakan bahwa pemerintah ikut campur mengurusi setiap aspek kehidupan warganya, bahkan sampai ikut menentukan ukuran fisik para pramugari Singapore Airlines agar tampil memikat dalam balutan seragam mereka yang bermotif batik.!break!

Menurut warga Singapura, Lee Kuan Yew telah melunak setelah beberapa tahun berlalu, tetapi ketika dia berjalan memasuki tempat wawancara dengan mengenakan jaket biru yang ditutup ritsleting, dengan penampilan seperti Clint Eastwood Asia bermata sipit dalam film Gran Torino, kita bisa tahu bahwa sebaiknya kita langsung saja memulai wawancara itu, tidak perlu berbasa-basi lebih dahulu. Meskipun tidak jelas benar apa tugas seorang mentor menteri, boleh dikatakan semua warga Singapura yakin bahwa Pak Tua masih sangat berpengaruh, dalang sejati yang bermain di balik layar. Ketika diberitahukan bahwa sebagian besar pertanyaanku berasal dari warga Singapura, sang MM, yang sekarang sudah berusia 86 tahun tapi masih sangat tegas dan lugas, tersenyum tanpa gentar sedikitpun: "Aku sudah sering mendapat kecaman pedas."

Hanya segelintir pemimpin yang masih hidup—seperti Fidel Castro di Kuba, Nelson Mandela di Afrika Selatan, dan Robert Mugabe di Zimbabwe—yang pernah sangat berpengaruh di tanah air mereka seperti halnya Lee Kuan Yew. Dilahirkan pada tahun 1923 dalam keluarga China yang berkecukupan, sangat dipengaruhi oleh masyarakat kolonial Inggris dan pendudukan Jepang yang brutal yang menewaskan 50.000 orang di pulau itu pada pertengahan tahun 1940-an, LKY yang dulu bernama "Harry Lee" ini, sarjana hukum dari Cambridge, pertama kali menonjol sebagai pemimpin gerakan antikolonial berhaluan kiri pada tahun 1950-an. Dengan mengukuhkan kekuasaannya dalam Partai Aksi Rakyat yang berpengaruh, Lee menjadi perdana menteri Singapura yang pertama, yang dipegangnya selama 26 tahun. Dia menjadi menteri senior selama 15 tahun berikutnya; dan panggilan sebagai mentor menteri ditetapkan ketika putranya, Lee Hsien Loong, menjadi perdana menteri pada tahun 2004.

Lee mendalangi pembentukan "Model Singapura" yang terkenal itu, yakni mengubah negara yang luasnya sedikit di bawah luas Jakarta, yang tidak memiliki sumber daya alam, dan warganya merupakan campuran beberapa etnis, menjadi "Singapura, Inc." Dia menarik investasi asing dengan membangun infrastruktur komunikasi dan transportasi, menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi, menciptakan pemerintah yang sangat efisien dengan menggaji para pejabat tinggi negara sama dengan gaji pejabat tinggi di perusahaan swasta, dan membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Model tersebut—kombinasi unik pemberdayaan ekonomi dan kebebasan pribadi yang dikendalikan dengan ketat—telah mengilhami para peniru di China, Rusia, dan Eropa Timur.

Untuk memimpin sebuah masyarakat, MM mengatakan dalam bahasa Inggris gaya Victoria yang fasih, "Kita harus memahami sifat manusia. Saya selalu berpendapat bahwa manusia mirip seperti binatang. Menurut ajaran Kong Hu Cu, manusia dapat diperbaiki, tapi aku tidak yakin akan hal itu. Manusia dapat dilatih, dapat dibuat berdisiplin." Di Singapura, itu berarti diterapkannya sejumlah besar peraturan—larangan membuang sampah sembarangan, meludah di trotoar, tidak menyiram toilet umum—disertai denda dan sesekali diberitakan di koran bagi para pelanggarnya. Itu juga berarti mendidik rakyatnya—yang pada dasarnya memang rajin—dan mengubah mereka dari yang semula pemilik toko menjadi pekerja berteknologi tinggi dalam beberapa dasawarsa saja. !break!

Seiring dengan berjalannya waktu, kata MM, warga Singapura telah menjadi "kurang tangguh dan kurang gigih." Inilah sebabnya, MM melanjutkan, mengapa bagus sekali bahwa negara ini kedatangan begitu banyak imigran China (25 persen dari populasi sekarang dilahirkan di luar negeri). Dia menyadari, banyak warga Singapura yang tidak senang dengan berdatangannya para imigran ini, terutama para pendatang baru berpendidikan yang siap bersaing untuk mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi. Namun, dengan mengambil pendekatan khas Darwin, MM menjelaskan bahwa para pendatang baru di negara itu "penuh semangat," memiliki orang tua yang "mendorong anak-anaknya dengan sangat keras." Seandainya warga asli Singapura tertinggal jauh karena "kurang gesit," itu salah mereka sendiri.

Kondisi eksistensial Singapura dapat dirangkum dalam satu kata, kiasu, istilah yang berarti "takut kalah." Dalam masyarakat yang mulai memantau kemajuan murid berdasarkan hasil ujian kelompok pada usia sepuluh tahun ( "khusus" dan "kilat" adalah tingkat teratas; "normal" adalah jalan bagi mereka yang kelak bekerja di pabrik dan sektor jasa), kiasu sudah mulai merasuk sejak dini, yang pada akhirnya melahirkan mahasiswa teknik berotak cemerlang dan gedung pencakar tinggi yang menjulang dengan kehadiran toko Bulgari di lantai dasar. Warga Singapura selalu ingin menjadi nomor satu dalam segala hal, tetapi dalam dunia kiasu, kemenangan tidak pernah benar-benar manis, karena selalu disertai ketakutan untuk tidak menang. Ketika pelabuhan Singapura, pusat lalu lintas kontainer tersibuk di dunia, dikalahkan Shanghai pada 2005 dalam jumlah total tonase kargo yang ditangani, itu ibarat bencana nasional.

Pada suatu hari, sebagai bagian dari latihan untuk menyambut perayaan Hari Nasional, aku menyaksikan hakikat kiasu tersebut. Angkatan bersenjata Singapura bermain sandiwara seakan-akan berhasil melumpuhkan komplotan rahasia "teroris" yang telah menembaki enam orang anak pembawa bunga berpakaian senam ketat berwarna merah hingga mereka tergeletak "mati" di panggung. "Kami bukan negara militer seperti Korea Utara, tapi kami berusaha seperti mereka," kata seorang pengamat, mengomentari arak-arakan tank, helikopter Apache yang berputar-putar di udara, dan penghormatan memekakkan telinga yang ditembakkan 21 pucuk senapan. Kita sudah sangat sering mendengarnya: Satu-satunya cara bagi Singapura untuk bertahan hidup karena dikelilingi oleh beberapa negara tetangga besar adalah harus selalu waspada. Anggaran militer 2009 mencapai Rp1,14 triliun, atau 5 persen dari PDB, salah satu yang terbesar di dunia.