Kisah Sukses Singapura

By , Kamis, 4 Februari 2010 | 09:46 WIB

Kita tidak pernah tahu dari mana ancaman itu mungkin berasal, atau dalam bentuk apa. Pada musim panas yang lalu, semua orang panik karena flu babi. Para pemantau kesehatan yang mengenakan masker ditempatkan di seluruh penjuru kota. Pada Sabtu malam, tidak peduli sekeren apapun penampilan Anda, tidak akan mungkin Anda bisa memasuki sebuah klub di Clarke Quay sebelum melalui pemeriksaan suhu tubuh yang dilakukan oleh petugas keamanan yang menempelkan termometer ke dahi Anda. Itulah contoh pengamanan warga Singapura yang tak pernah berakhir. Banyak permukiman baru berupa apartemen dilengkapi dengan tempat perlindungan dari serangan bom, lengkap dengan pintu baja. Lama kelamaan, bahaya yang diyakini ada dan kepatuhan berlebihan terhadap peraturan menjadi sesuatu yang biasa; satu hal yang tidak Anda lihat di Singapura adalah langkanya polisi. "Polisi ada dalam kepala kami," kata seorang penduduk. !break!

Swa-sensor dilakukan semua orang di Singapura; mereka harus pandai berdiplomasi saat berurusan dengan pihak berwenang," kata Alvin Tan, direktur artistik pada teater Necessary Stage, yang telah lusinan kali menampilkan isu-isu sensitif seperti hukuman mati dan seksualitas. Tan sudah sering berurusan dengan sensor pemerintah. "Kita harus menggunakan pendekatan yang tepat," katanya. "Jika mereka mengatakan 'selatan,' kita tidak menyikapinya dengan mengatakan 'utara.' Kita mengatakan 'timur laut.’ Mulailah dari situ. Ini urusan tawar-menawar."

Orang yang tidak menguasai langkah-langkah diplomasi ini akan segera maklum. Coba simak kasus Siew Kum Hong, warga Singapura berusia 35 tahun yang mengira dia akan bisa memacu keterbukaan dengan bekerja sebagai NMP (Nominated Member of Parliament, calon anggota parlemen yang tidak terpilih ). Mengingat hanya empat anggota parlemen oposisi terpilih dalam sejarah negeri ini, partai yang berkuasa mengira para NMP mungkin menunjukkan tampilan "gaya pemerintah yang lebih luwes, yang bersedia mendengarkan pandangan alternatif dan menampung kritik yang membangun." Siew Kum Hong mengira seperti itulah posisinya, tetapi ternyata masa baktinya tidak diperpanjang pada kurun waktu berikutnya.

"Aku mengira sudah melakukan tugasku dengan baik," kata Kum Hong, terkejut. Penyebabnya adalah, begitu dugaan dia, "suara yang mengatakan 'tidak'." Ketika untuk pertama kalinya dia memberikan suara ‘tidak,’ tentang resolusi yang menurutnya mendiskriminasikan kaum homoseksual, rekan-rekannya "benar-benar membisu. Inilah untuk pertama kalinya sejak aku berada di parlemen bahwa ada orang yang memberikan suara ‘tidak.’" Ketika dia memberikan suara ‘tidak’ lagi, kali ini tentang undang-undang yang mengurangi jumlah orang yang bisa berkumpul untuk mengajukan protes, reaksi yang diterimanya sama dinginnya. "Ternyata tidak ada tempat untuk pandangan alternatif," kata Hong Kum.

Pemerintah Singapura bukannya tidak menyadari dampak negatif dari masyarakat yang sangat terkendali. Pemerintah juga telah melancarkan kampanye untuk melawan penggunaan "Singlish," gabungan berbagai bahasa, yakni bahasa Melayu, China Hokkian, Tamil, dan logat bahasa Inggris jalanan, yang merupakan prestasi linguistik warga Singapura. Apabila kita duduk di Starbucks mendengarkan para remaja melontarkan ucapan seperti "You blur like sotong, lah!" (terjemahan bebasnya, "Kau lebih bodoh dari cumi-cumi, bung!"), Singlish tampak seperti serangan subversif yang cemerlang terhadap pengekangan yang, menurut pemerintah, sedang diusahakan untuk ditangani. !break!

Akan tetapi, salah satu kontradiksi besar dalam Singlish adalah kegemaran untuk meniru perilaku "Ah Beng," preman jalanan yang merupakan imigran China dan mitranya dari etnik Melayu yang suka berkacamata hitam. Anda tahu hal tersebut tidak akan terjadi dalam masyarakat yang oleh MM dianjurkan untuk "mencari jodoh dari kalangan yang setara," yakni gagasan bahwa lulusan perguruan tinggi harus menikah hanya dengan lulusan perguruan tinggi untuk memperbaiki garis keturunan bangsa.

Mungkin masalah paling mengganggu yang dihadapi negara ini merupakan dampak dari terlalu suksesnya program pengendalian jumlah penduduk, yang berlangsung pada tahun 1970-an dengan slogan "Dua Anak Sudah Cukup." Dewasa ini, warga Singapura tidak lagi ingin memiliki keturunan sehingga negara harus bergantung pada kaum imigran agar jumlah penduduk terus bertambah. Pemerintah menawarkan bonus bagi bayi yang dilahirkan dan cuti bersalin yang panjang. Akan tetapi itu percuma kecuali jika warga Singapura mulai lebih sering berhubungan seks. Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh perusahaan kondom Durex, warga Singapura lebih jarang berhubungan seks dibandingkan dengan hampir semua negara lain. "Populasi kami terus menyusut," kata MM. "Tingkat kesuburan kami hanya 1,29. Ini mengkhawatirkan." Ini bisa menjadi kesalahan fatal dalam Model Singapura: kepunahan abadi warga Singapura.

Tetapi, ada sisi positif dari semua rekayasa sosial ini. Kita bisa merasakan hal itu selama proses produksi "We Are The World" dalam acara Hari Nasional. Di atas panggung tampil para wakil kelompok etnis utama Singapura, yakni etnis China, Melayu, dan India, dan semuanya mengenakan kostum berwarna-warni. Setelah kerusuhan yang terjadi pada 1960-an, pemerintah menerapkan sistem kuota yang ketat dalam perumahan umum untuk memastikan kelompok etnis tidak menciptakan permukiman monolitik etnik mereka sendiri. Praktik ini mungkin lebih berkaitan dengan pengendalian penduduk dibandingkan urusan ras, tetapi pada acara latihan tersebut, meskipun sentimen itu terasa, kita pasti tersentuh oleh sikap tulus yang menunjukkan nuansa persaudaraan. Bagaimanapun cara penemuannya, ada masyarakat yang disebut warga Singapura, dan masyarakat itu nyata adanya. Apapun gerutuan yang dikemukakan orang—dan sebagaimana yang dikatakan sang MM, "Warga Singapura adalah juara penggerutu"—Singapura adalah tanah air mereka, dan mereka mencintainya, meskipun banyak yang mereka keluhkan. Ini membuat kita pun menyukai tempat itu, agar mereka bahagia.

Hal yang menggembirakan adalah bahwa segala sesuatu akan berubah. Dalam sebuah kutipan yang terkenal, Lee Kuan Yew berkata, "Di saat kalian akan menurunkan aku ke dalam kubur, dan aku merasa ada sesuatu yang salah, aku pasti akan bangun lagi." Namun, yang satu ini bahkan tidak dapat dia kendalikan. "Kita semua tahu, MM pasti meninggal dunia suatu saat nanti," kata Calvin Fones, seorang psikiater yang mengelola sebuah klinik di Gleneagles Hospital di Orchard Road. Fones menyamakan tanah airnya dengan sebuah keluarga. "Ketika negara masih muda, kami membutuhkan pengawasan yang bijaksana. Kepemimpinan yang tegas. Sekarang kami berada dalam masa remaja, yang bisa merupakan masa yang penuh keraguan dan sarat masalah. Memasuki masa tersebut tanpa kehadiran seorang ‘bapak,’ pasti sangat sulit." !break!

Mesin besar yang memengaruhi perubahan budaya, tentu saja, adalah Internet, dunia maya yang mengganggu skenario sang penguasa. Lee mengakui ancaman itu. "Kami melarang majalah Playboy di tahun enam puluhan, dan masih tetap melarangnya saat ini, tetapi sekarang, dengan internet, Anda bisa mendapatkan informasi jauh lebih banyak daripada yang pernah bisa Anda dapatkan dari majalah itu." Memperbolehkan penjelajahan situs porno, sementara di sisi lain melarang majalah porno, mungkin tampak bertentangan. Tetapi, berusaha menyensor Internet, seperti yang telah dicoba di China, tidak akan ada gunanya, ujar Lee. Ini adalah jawaban pragmatis yang elok.

Maka, para blogger seperti penulis satire Mr. Brown, dan Yawning Bread, bebas menyiarkan pendapat yang mustahil ditemukan di halaman koran Straits Times yang didukung pemerintah. Akibatnya, semakin banyak orang muda yang mempertanyakan harga keseimbangan antara kebebasan dan keamanan—dan bahkan menyerukan politik yang lebih bebas dan kontrol sosial yang lebih longgar.

Singapura bisa menjadi tempat yang membingungkan, bahkan juga bagi penduduknya, meskipun mereka tidak pernah berpikir untuk meninggalkannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh salah seorang warganya, "Singapura ibarat bak mandi yang berisi air hangat. Kami membenamkan diri, menyayat pergelangan tangan, darah kehidupan kami terapung menjauh, tapi rasanya sungguh nyaman dan hangat." Jika memang demikian, sebagian besar nalar warga Singapura mengatakan bahwa mungkin sama saja jika mereka mati perlahan-lahan sambil menyantap kepiting lada hitam, ditemani pastel kari. Pada hari terakhirku, aku mendaki bukit di Bukit Timah Nature Reserve, yang tingginya 163 meter dan merupakan titik tertinggi di pulau itu, yang alamnya paling mirip dengan hutan yang pernah ada pada Singapura masa lampau. Dalam keheningan yang tak terduga, kurenungkan kembali ucapan MM tentang ajaran Kong Hu Cu "bahwa manusia dapat disempurnakan." Inilah, begitu kata MM sambil mendesah, "cara optimistis dalam menyikapi kehidupan." Kita senang menyalahgunakan kebebasan. Itulah pendapatnya tentang Amerika: Hak perseorangan untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan memperbolehkan mereka berperilaku tidak baik dengan mengorbankan masyarakat yang tertib. Seperti yang sering dikatakan di Singapura: Apa gunanya semua hak tersebut jika kita takut keluar rumah di malam hari? !break!

Setiba di puncak bukit, kukira rasa lelahku akan terobati oleh pandangan ke seluruh kota. Namun, ternyata tidak ada pemandangan sama sekali—hanya tampak menara komunikasi berkarat dan pagar angin topan yang ditempeli tanda bertuliskan "Tempat Dilindungi " yang memperlihatkan gambar seorang prajurit membidikkan senapan kepada seorang pria yang mengangkat kedua tangannya.

Ketika dalam kesempatan berikutnya aku menceritakan hal ini kepada Calvin Fones, sang psikiater, dia berkata, "Nah, sudah ada kemajuan yang kami capai, bukan? Beberapa tahun yang lalu, kami memiliki tanda yang sama, tetapi orang itu tergeletak di tanah, sudah ditembak." Kemudian dia tertawa.