Kisah ini sudah sangat dikenal oleh setiap orang yang mempelajari Alkitab. Seorang penggembala muda bernama Daud dari suku Yudea berhasil menewaskan raksasa Goliath dari suku musuhnya, Filistin. Dia diangkat menjadi Raja Yudea setelah wafatnya Saul menjelang berakhirnya abad ke-11 SM. Dia menaklukkan Yerusalem, mempersatukan penduduk Yudea dengan suku Israel yang terpencar-pencar di utara. Kemudian, dia mulai membangun dinasti bangsawan yang dilanjutkan oleh Sulaiman hingga jauh memasuki abad ke-10 SM.
Alkitab mengisahkan bahwa Daud dan Sulaiman membangun kerajaan Israel yang menjadi kerajaan yang berkuasa dan bergengsi. Merentang dari Mediterania hingga Sungai Yordan, dari Damaskus hingga Negev. Namun demikian, ada masalah kecil. Meskipun telah dicari selama puluhan tahun, para ahli arkeologi tidak berhasil menemukan bukti kuat bahwa Daud ataupun Sulaiman pernah membangun apa pun.
Kemudian, Mazar mengumumkan temuannya. "Mazar tahu akibat pengumumannya itu," kata ahli arkeologi lain, David Ilan dari Hebrew Union College. "Dia secara sadar menceburkan diri ke dalam perdebatan sengit itu, dengan niat menimbulkan kontroversi."
Ilan sendiri meragukan bahwa Mazar telah menemukan istana Raja Daud. "Naluri saya mengatakan bahwa ini bangunan yang berasal dari abad ke-8 atau ke-9 SM," katanya, yang dibangun seratus tahun atau lebih setelah Sulaiman wafat pada 930 SM.
Lebih dari itu, para pengecam mempertanyakan motivasi Mazar. Mereka mengamati bahwa kegiatan penggaliannya disponsori oleh dua organisasi—City of David Foundation dan Shalem Center—yang dimaksudkan untuk meneguhkan klaim Israel atas kawasan itu. Dan para pengecam itu mencemooh Mazar yang menggunakan metode kuno yang dianut leluhurnya yang juga ahli arkeologi, seperti kakeknya, yang tanpa tedeng aling-aling melakukan penggalian dengan mengacu pada Alkitab.
Baca Juga: Kota Benteng Khirbet Qeiyafa: Inikah Reruntuhan Istana Nabi Daud?
Dulu, para ahli arkeologi terbiasa menggunakan Alkitab sebagai panduan, namun sekarang metode tersebut ditentang secara luas, dianggap sebagai nalar berputar-putar yang tidak ilmiah. Mereka sangat tegas, dianggap demikian oleh biang-penentangnya, yakni Finkelstein yang berkebangsaan Israel dari Tel Aviv University, yang dengan penuh semangat selalu menepiskan anggapan seperti itu.
Dia dan para pendukung lain yang meyakini "pembangunan bukan di zaman Daud" mengatakan bahwa kebanyakan bukti arkeologis di wilayah Israel dan sekitarnya menunjukkan bahwa masa yang dikemukakan oleh para ilmuwan Alkitab lebih tua satu abad. Bangunan "masa Sulaiman" yang digali oleh para arkeologi pengacu Alkitab dalam kurun waktu beberapa dasawarsa terakhir di Hazor, Gezer, dan Megiddo tidak dibangun pada masa Daud dan Sulaiman, katanya. Artinya, pastilah dibangun oleh para raja abad ke-9 SM dari dinasti Omride, puluhan tahun sesudah masa pemerintahan Daud dan Sulaiman.
Pada masa pemerintahan Daud, menurut Finkelstein, Yerusalem tidak lebih dari sekadar "pedesaan di perbukitan." Daud sendiri adalah pemuda miskin bersahaja, namun berambisi, yang bersaudara dengan Pancho Villa. Jumlah pengikutnya mungkin "500" orang bersenjatakan tongkat, suka berteriak-teriak serta memaki-maki dan meludah—bukan anggota pasukan hebat mengendarai kereta kuda seperti yang diceritakan dalam Alkitab.
"Tentu saja kita tidak sedang menyaksikan istana Daud!" Filkenstein bersuara lantang begitu disinggung perihal temuan Mazar. "Maksud saya, yang benar sajalah. Saya menghormati upayanya. Saya menyukainya—dia wanita yang menyenangkan. Tetapi, tafsiran ini—bagaimana mengatakannya ya—agak naif."
Sekarang justru teori Finkelstein-lah yang dipertanyakan. Tidak lama setelah klaim Mazar bahwa dia berhasil menemukan istana Raja Daud, dua ahli arkeologi lain mengemukakan temuan yang menakjubkan.
Tiga puluh kilometer di barat daya Yerusalem di Lembah Elah—tempat yang menurut Alkitab adalah tempat Daud menewaskan Goliath—guru besar Universitas Hebrew Yosef Garfinkel mengaku telah berhasil menggali sekelumit kota Yudea yang tepat berasal dari masa pemerintahan Daud.
Sementara itu, 50 kilometer di selatan Laut Mati di Yordania, guru besar University of California, San Diego yang bernama Thomas Levy menghabiskan delapan tahun terakhir ini menggali tambang tembaga besar di Khirbat en Nahas. Levy menetapkan usia salah satu periode produksi tembaga yang paling produktif di situs itu, yakni abad ke-10 SM. Produksi tembaga itu, menurut kisah dalam Alkitab, ketika musuh Daud, yakni bangsa Edom, bermukim di kawasan itu. (Akan tetapi, ilmuwan seperti Finkelstein meyakini bahwa bangsa Edom baru tumbuh berkembang dua abad kemudian.)
Kenyataan adanya kegiatan pertambangan dua abad sebelum kelompok Finkelstein menyatakan waktu kemunculan bangsa Edom menyiratkan adanya kegiatan perekonomian yang sudah maju pada waktu pemerintahan Daud dan Sulaiman.
Baca Juga: Selain Kita, Bagaimana dengan Keberadaan Hobbit dan Raksasa?
"Mungkin saja tambang ini milik Daud dan Sulaiman," kata Levy tentang temuannya itu. "Maksud saya, skala besar produksi logam ini menyiratkan besarnya negeri atau kerajaan purba tersebut."
Levy dan Garfinkel—keduanya pernah menerima hibah dari National Geographic Society—mendukung pendirian mereka dengan setumpuk data ilmiah. Data itu berupa pecahan gerabah serta biji buah zaitun dan kurma yang ditemukan di situs tersebut, yang usianya ditentukan dengan metode radiokarbon.
Jika bukti dari hasil penggalian mereka ini cukup dapat dipercaya, para ilmuwan masa lalu yang mengatakan bahwa Alkitab mengandung fakta akurat tentang kisah Daud dan Sulaiman, terbukti benar.
Sebagaimana dikatakan oleh Mazar dengan penuh suka cita, "Ini adalah akhir dari teori Filkenstein."
JALAN RAYA yang sibuk, Rute 38, bersimpangan dengan jalan purba yang menyusuri Lembah Elah menuju Laut Mediterania. Di bawah perbukitan di kedua sisi jalan itu terdapat reruntuhan Socoh dan Azekah. Menurut Alkitab, bangsa Filistin berkemah di lembah ini, di antara kedua kota tersebut, menjelang perkelahian mematikan antara mereka dan Daud.
Arena perkelahian yang tenar itu sekarang sepi dan dipenuhi ladang gandum, jelai, pohon almond, dan semak anggur. Belum lagi beberapa batang pohon asli terebinth (Pistacia terebinthus, Pistacia atlantica, Pistacia palestina)—elah dalam bahasa Ibrani.
Nama Elah inilah yang digunakan untuk menamai lembah tersebut. Sebuah jembatan kecil terentang dari Rute 38 di atas Sungai Elah (Brook of Elah). Pada musim sibuk, bus para wisatawan diparkir di sini sehingga para penumpangnya dapat turun ke lembah dan mengambil batu untuk dibawa pulang dan membanggakannya kepada teman, menunjukkan batu yang diambil dari tempat yang sama dengan batu yang menewaskan Goliath.
"Mungkin Goliath hanya mitos belaka," kata Garfinkel saat mengendarai mobil melintasi jembatan menuju tempatnya, Khirbet Qeiyafa. "Konon Goliath berasal dari sebuah kota raksasa, dan dalam perkembangan cerita yang dikisahkan selama berabad-abad itu, dia pun diceritakan sebagai sosok raksasa. Ini sebuah perumpamaan saja.
Para ilmuwan modern menginginkan Alkitab seperti Ensklopedia Oxford. Padahal, orang tidak mungkin menulis sejarah 3.000 tahun yang lalu seperti ini. Di malam hari, sambil menghangatkan tubuh di sekitar api unggun, begitulah kisah Daud dan Goliath dimulai."
Di balik penampilan Garfinkel yang cendekia, dengan kepala gundul dan rasa humor halus—yang mengungkapkan sisi tajam ketika membicarakan Filkenstein—tersembunyi ambisi yang teguh. Dia pertama kali mendengar dari pegawai Otoritas Barang Purba Israel tentang dinding batu besar setinggi tiga meter yang melengkung di tepian Sungai Elah. Dia memulai penggalian besar-besaran pada 2008.
Baca Juga: Fosil Nenek Moyang Manusia yang Tak Dikenal Ditemukan di Israel
Menurut Garfinkel, dinding itu memiliki gaya yang sama dengan yang tampak di dua kota di kawasan utara, yakni Hazor dan Gezer—kamar di dalam benteng yang terdiri atas dua dinding yang mengapit sebuah ruangan. Dinding itu mengelilingi sebuah kota di dalam benteng yang luasnya 2,3 hektare. Sejumlah rumah pribadi berbatasan dengan dinding tersebut, desain yang tidak tampak di perumahan bangsa Filistin.
Setelah menyekop lapisan tanah paling atas, Garfinkel menemukan beberapa keping koin dan artefak dari masa Aleksander Agung. Di bawah lapisan dari zaman Helen itu dia menemukan sejumlah bangunan yang di dalamnya tampak terserak empat butir biji zaitun, yang menurut analisis karbon-14 berasal dari sekitar 1000 SM.
Dia juga menemukan baki kuno untuk memanggang roti pita, serta ratusan tulang sapi, domba, biri-biri, dan ikan—tetapi, tidak ditemukan tulang babi. Dengan kata lain, bangsa Yudea, bukan Filistin, dipastikan pernah tinggal (atau setidaknya pernah makan) di sini.
Tim penggalian Garfinkel juga menemukan temuan yang sangat langka—pecahan gerabah bertulis yang tampaknya merupakan asal-mula bahasa bangsa Canaan dengan kata kerja yang khas dari bahasa Ibrani. Kesimpulan yang diambilnya sangat jelas: Inilah bukti adanya semacam masyarakat Yudea yang sudah sangat berkembang dari abad ke-10 SM, yang oleh para ahli arkeologi seperti Filkenstein dikatakan tidak ada.
Dan apakah nama kota itu? Garfinkel menemukan jawabannya setelah menemukan bahwa kota dalam benteng itu ternyata memiliki dua gerbang, bukan satu—satu-satunya situs seperti ini yang ditemukan sejauh ini dalam kerajaan Yudea dan Israel.
"Dua gerbang" dalam bahasa Ibrani berarti shaarayim, yakni kota yang tiga kali disebut dalam Alkitab. Salah satu referensinya (I Samuel 17:52) menceritakan bangsa Filistin yang melarikan diri untuk menghindari Daud, dan kembali ke Gath melalui "jalan dari Shaaraim."
"Kita sudah mengetahui kisah tentang Daud dan Goliath, dan sekarang kita sudah menemukan situsnya, dan ternyata cocok," kata Garfinkel tanpa basa-basi. "Situs ini memiliki ciri khas Yudea, mulai dari tulang-belulang hewan tanpa tulang babi hingga dinding kota. Coba berikan dua alasan yang menyiratkan bahwa ini kota bangsa Filistin. Satu alasan menyiratkan bahwa Filkenstein tidak ingin kami menghancurkan teorinya tentang waktu yang lebih kini. Baiklah, kalau begitu, beri kami alasan lain."