Misteri Tidur

By , Selasa, 27 April 2010 | 09:58 WIB

    Suatu sore tahun lalu saya mengunjungi Sleep Medicine Center di Stanford. Klinik yang didirikan pada 1970 ini adalah klinik pertama di AS yang didedikasikan untuk masalah insomnia, dan masih merupakan salah satu yang terpenting. Pusat terapi tidur ini dikunjungi lebih dari 10.000 pasien per tahun dan melakukan lebih dari 3.000 penelitian tidur malam.

Alat diagnostik utama di klinik ini adalah polysomnogram, dengan komponen utama elektroensefalograf (EEG), yang menangkap sinyal listrik dari otak pasien yang tidur. Saat tidur, otak kita melambat, dan pola sinyal listriknya berubah dari gelombang pendek bergerigi menjadi gelombang panjang mulus, seperti ombak laut yang kian mulus semakin jauh dari pantai. Di otak, gelombang pelan ini secara berkala terganggu oleh aktivitas mental tidur REM yang muncul tiba-tiba. Karena alasan yang tak diketahui, hampir semua mimpi kita terjadi pada fase tidur REM.

Sementara EEG merekam masa yang penuh perubahan ini, teknisi polysomnogram juga mengukur suhu tubuh, aktivitas otot, gerakan mata, irama jantung, dan pernapasan. Lalu, mereka menganalisis datanya untuk mencari tanda tidur abnormal atau sering terbangun. Apabila seseorang mengidap narkolepsi, misalnya, dia masuk ke fase tidur REM dari keadaan terjaga tanpa melalui tahap perantara. Pengidap insomnia familial fatal tidak pernah bisa melewati tahap pertama tidur; suhu tubuhnya naik dan turun dengan cepat.

FFI dan narkolepsi tidak dapat didiagnosis tanpa EEG dan perangkat pemantau lainnya. Namun, menurut Clete Kushida, direktur klinik itu, dia umumnya dapat mendeteksi masalah tidur pasien pada saat pertemuan pertama: Ada orang yang tidak bisa membuka matanya, ada pula yang mengaku lelah tetapi tidak bisa tidur. Yang pertama biasanya mengidap apnea tidur. Yang terakhir mengidap penyakit yang disebut Kushida "insomnia sejati".!break!

Pada penderita apnea tidur obstruktif, relaksasi otot yang terjadi saat tidur menyebabkan jaringan lunak tenggorokan dan kerongkongan menutup, sehingga menghalangi jalan napas orang tersebut. Ketika otak menyadari tidak mendapatkan oksigen, orang tersebut terbangun, menarik napas, otak kembali mendapat oksigen, dan tidur kembali. Tidur malam penderita apnea ternyata merupakan rangkaian seratus tidur singkat. John Winkelman dari Brigham and Women's mengatakan bahwa di pusat penanganan tidurnya, dua pertiga dari yang diperiksa didiagnosis mengidap kondisi ini.

Apnea merupakan masalah serius, dapat menyebabkan peningkatan risiko serangan jantung dan stroke. Tetapi, ini hanyalah penyakit tidur tidak langsung. Penderita insomnia sejati—orang yang didiagnosis mengidap penyakit yang disebut sebagian dokter-tidur sebagai insomnia psikofisiologis—adalah orang tidak bisa tidur atau tidak bisa tidur lama tanpa alasan yang jelas. Saat bangun, mereka tidak merasa telah beristirahat. Saat berbaring, otaknya tetap berputar. Kelompok ini berjumlah sekitar 25 persen pasien yang berkunjung ke klinik-tidur.

Sementara apnea dapat diobati dengan alat yang memaksa udara masuk ke tenggorokan orang yang tidur agar saluran udara tetap terbuka, pengobatan insomnia klasik tidak sesederhana itu. Akupunktur dapat membantu—cara ini sudah lama dipakai dalam pengobatan Asia dan kini tengah diteliti di pusat penanganan tidur University of Pittsburgh.

Biasanya, insomnia psikofisiologis diobati dengan pendekatan dua bagian. Pertama menggunakan pil tidur, yang terutama bekerja dengan meningkatkan aktivitas GABA, neurotransmiter yang mengatur tingkat kecemasan dan kewaspadaan tubuh. Meskipun sekarang lebih aman, pil tidur tetap dapat menyebabkan kecanduan psikologis. Banyak pengguna mengeluh bahwa tidur dengan pil tidur terasa berbeda, dan mereka merasa pusing ketika bangun, seperti kebanyakan minum alkohol.!break!

Langkah kedua dalam mengobati penderita insomnia sejati biasanya dengan terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy, CBT). Dalam CBT, psikolog khusus mengajari penderita insomnia untuk menganggap masalah tidurnya dapat dikendalikan, bahkan dipecahkan—itu bagian kognitifnya—dan mempraktikkan "higiene tidur" yang baik. Higiene tidur yang baik terutama berisi saran yang sudah lama diakui kebenarannya: tidur di ruangan yang gelap, tidur hanya bila sudah mengantuk, dan jangan berolahraga sebelum tidur. Penelitian menunjukkan bahwa CBT lebih efektif daripada pil tidur untuk mengobati insomnia jangka panjang, tetapi masih banyak penderita yang tidak yakin.

Menurut Winkelman, CBT lebih bermanfaat bagi penderita insomnia yang memiliki penyebab psikologis. Istilah insomnia mencakup banyak kondisi. Antara FFI, yang sangat langka, dan apnea, yang sangat umum, ada hampir 90 gangguan tidur yang diketahui. Beberapa penderita insomnia menderita sindrom kaki resah (RLS), rasa sangat tidak nyaman di tungkai yang membuatnya sukar tidur, atau gangguan gerakan tungkai secara berkala (PLMD), yang menyebabkan orang menendang tanpa sengaja saat tidur. Penderita narkolepsi sering mengalami kesulitan baik untuk tidur maupun terjaga. Lalu, ada pula orang yang tidak bisa tidur karena depresi, dan orang yang depresi karena tidak bisa tidur. Yang lain memiliki masalah tidur karena pikun atau penyakit Alzheimer. Beberapa wanita terganggu tidurnya selama haid (perempuan dua kali lebih mungkin mengidap insomnia daripada laki-laki) dan banyak yang mengalaminya pada masa menopause. Tidur orang tua umumnya tidak senyenyak anak muda. Yang lain khawatir soal pekerjaannya atau khawatir akan kehilangan pekerjaan; sepertiga penduduk Amerika mengaku kurang tidur selama krisis ekonomi baru-baru ini. Dari semua penderita sukar tidur ini, pasien pengidap insomnia yang diakibatkan oleh penyebab internal fisik—mungkin kelebihan atau kekurangan berbagai neurotransmiter—yang mungkin paling sulit disembuhkan dengan CBT.

Namun, CBT berpeluang menyembuhkan sebagian besar kondisi di atas. Mungkin ini karena untuk waktu yang lama masalah insomnia hanya digeluti para psikolog. Dalam pandangan mereka, insomnia umumnya disebabkan oleh sesuatu yang dapat diobati dengan cara mereka, biasanya kecemasan atau depresi. Oleh karena itu, terapi perilaku kognitif meminta pengidap mencari masalah dalam perilakunya, bukan masalah pada tubuhnya. Winkelman ingin sekali kedua aspek tidur ini—fisik dan mental—lebih sering dipertimbangkan secara terpadu. "Tidur merupakan hal yang sangat rumit," katanya. "Mengapa kita tak berpikir bahwa mungkin juga ada sesuatu di rangkaian saraf yang rusak?"

Jika kita tidak dapat tidur, mungkin itu karena kita lupa caranya. Sebelum masa modern, orang tidur dengan pola yang berbeda, yaitu tidur saat Matahari terbenam dan bangun saat fajar. Selama bulan-bulan musim dingin, dengan waktu istirahat yang begitu lama, nenek moyang kita mungkin tidur beberapa babak di malam hari. Di negara berkembang, orang masih sering tidur dengan cara ini. Mereka tidur bersama-sama dan bangun sesekali di malam hari. Ada yang tidur di luar, di tempat yang lebih dingin dan sinar Matahari berefek lebih langsung pada ritme sirkadian. Pada tahun 2002, Carol Worthman dan Melissa Melby dari Emory University menerbitkan sebuah studi perbandingan tentang pola tidur dalam berbagai kebudayaan. Mereka menemukan bahwa di suku yang berburu dan meramu seperti !Kung dan Efe, "batas antara tidur dan bangun sangat cair." Tidak ada waktu tidur yang tetap, dan tidak ada yang menyuruh orang lain untuk tidur. Orang bangun apabila ada percakapan atau pertunjukan musik yang terdengar saat beristirahat dan menarik hatinya. Mereka mungkin bergabung, kemudian tidur lagi.!break!