Jalan Menuju Bintang

By , Rabu, 28 April 2010 | 08:58 WIB

Dengan balutan berbagai epos di dalam maupun di luar lapangan seperti itu, ribuan remaja berbondong-bondong mengejar mimpi, mencoba menempuh peruntungan hidup untuk menjadi pahlawan di arena bulutangkis. Dalam hal ini, pahlawan merupakan predikat yang memang nyata adanya. Bulutangkis adalah satu-satunya cabang olahraga yang atletnya pernah dianugerahi tanda kehormatan negara, Bintang Mahaputra dan Bintang Jasa. Sejak 1959, tercatat sembilan atlet yang menerima tanda jasa tersebut.

Tulisan pada secarik kertas yang ditempel di pintu asrama Jaya Raya menjelaskan gamblang perjalanan mengejar mimpi di pusdiklat. Isinya penuh ancaman: tidak boleh membawa televisi ke kamar, membawa kendaraan pribadi, keluar kompleks asrama selama latihan, atlet putri tidak boleh masuk ke asrama putra dan sebaliknya, dilarang menelepon atau ditelepon setelah pukul 10.00 malam, atlet yang orang tuanya tinggal di Jabotabek wajib pulang ke rumah pada hari Sabtu. Kamar harus bersih dan tertata rapi. Satu lagi, para remaja itu tidak boleh pacaran. Menyimpan, membaca, atau menonton segala yang berbau pornografi merupakan pelanggaran terberat. Diusir adalah hukumannya. Selamat tinggal “buku, pesta, dan cinta”, selamat datang “raket, asrama, dan arena”.

Tanah belum lagi terang saat belasan remaja bergegas menuju gedung latihan yang jaraknya sekitar 200 meter dari asrama. Lampu-lampu ruangan mereka nyalakan dan mulailah rutinitas mengisi pagi: berlari, melompat, mengangkat barbel, dan apa pun perintah yang keluar dari mulut pelatih. Keringat membasahi lantai, meski hari belum lagi terik. “Latihan pagi sampai pukul setengah delapan. Setelah itu, mereka bersiap ke sekolah dan harus kembali latihan pukul satu siang,” kata Erwan, pelatih.

Kompleks sekolah menengah khusus bagi atlet pelajar yang ada di ujung selatan Jakarta tersebut memang luas, 17 hektare, dan hijau. Di dalamnya ada kolam renang, lapangan atletik, sepak bola, berbagai gedung olahraga, juga sejumlah warung makan. Namun, hanya itulah dunia atlet pusdiklat Jaya Raya. Senin hingga Jumat, para pemain tidur, makan, berlatih (menghabiskan 312 shuttlecock per hari), dan bersekolah di sana. Mereka tidak boleh keluar dinding kompleks. “Kalau terpaksa, misalnya untuk beli buku, mereka harus minta izin kepada pelatih,” tutur Retno.

Tempat tinggal para pebulutangkis belia itu terletak di belakang kolam renang dalam bentuk dua buah rumah bercat hijau yang bersisian dengan pohon-pohon jambu air di pekarangan. Setiap rumah terdiri dari 10 kamar yang saling berhadapan, dipisahkan oleh lorong panjang hingga ke ruang televisi yang sempit. Malam itu di dalam kamarnya, Yuriansya asyik duduk di atas karpet sambil menatap layar komputer jinjing.!break!

Telah dua setengah tahun remaja 17 tahun itu tinggal di dalam ruangan seluas 9 meter persegi yang berpenyejuk udara, disesaki oleh dua kasur pegas dan satu lemari besar dua pintu itu. Jendela di kamar tersebut kecil. Tak ada pemutar CD atau radio, tak ada playstation. Mungkin, satu-satunya penghibur hati adalah gitar yang sering berpindah dari satu kamar ke kamar lainnya.

Sehari mengikuti ritme kehidupan atlet-atlet belia itu adalah sehari yang menjemukan. Bangun dini hari, berlatih mengolah raga, kembali ke kamar untuk mandi, sarapan, sekolah, latihan lagi, kembali ke kamar, makan malam, lalu bersiap tidur. “Tiga bulan pertama adalah masa yang paling berat,” tutur Yuriansya si remaja asal Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Di kampung halamannya, Yuriansya adalah anak yang dimanja. Ayahnya pengusaha, ibunya seorang dokter, tipikal keluarga yang bahagia, juga sejahtera. Namun di kamar itu, Yuriansya tak lagi memiliki semua kenyamanan tersebut dan semua bermula dari mimpinya untuk menjadi bintang bulutangkis, seperti yang dia lihat dalam siaran televisi saat usia belum lagi genap tujuh tahun. Singkat cerita, Yuriansya kecil bergabung ke klub di kotanya, kemenangan demi kemenangan dalam turnamen pelajar dia raih, hingga pintu Jaya Raya terbuka.

“Di kampung, saya berlatih bulutangkis paling cuma sekali sehari. Di sini, sehari dua kali, lama, dan jauh lebih berat. Saya tidak menyangka,” kata Yuriansya mengenang. Tak heran, dia kerap absen berlatih di pekan-pekan pertama keberadaannya karena badan belianya serasa luluh-lantak mengikuti program latihan. Suhu tubuhnya pun meningkat sehingga Yuriansya hanya bisa terkapar di kasur kamarnya.

Hari libur latihan, Sabtu dan Minggu, adalah penderitaan yang berbeda bagi pendatang baru asal luar Jabotabek seperti dirinya. Saat rekan-rekannya yang lain pulang ke rumah, dia hanya bisa menatap lekat dinding kamar. Lagi-lagi, raket yang tergantung di sana. Anak lelaki yang baru menginjak puber itu pun menangis. “Saya sering telepon Mama. Mengadu. Ingin pulang rasanya. Tapi bagi kami yang dari luar kota, pulang kampung hanya diizinkan saat libur panjang Natal atau Lebaran,” tuturnya.

Kenyataanya, hampir tidak ada anak yang menyerah dan mundur dari pusdiklat sepanjang sejarah klub tersebut. “Tidak ada. Malah kalau ada yang dinilai mentok, tidak maju-maju, ngeluarinnya yang susah. Mereka tidak mau,” kata Retno tertawa. Pengakuan mantan juara All England itu seolah diamini oleh Tike Pamungkas, ibu salah satu atlet. “Anak saya malah tidak mau pulang di hari Sabtu. Sampai saya ancam. Jika kamu tidak pulang, Mama yang datang ke asrama.” Terlepas dari ancaman itu, orang tua seperti Tike dan ibunda Yuriansya adalah salah satu faktor yang membuat si anak mampu menguatkan hati agar bertahan dalam pusdiklat dan tetap berada dalam rel menuju mimpi. Pengorbanan mereka bahkan jauh lebih besar daripada si anak sendiri.

Yul Asteria Zakaria menggeleng-gelengkan kepala seraya tertawa saat ditanya apakah dirinya sejak awal serius menginginkan putranya Markis Kido menjadi pebulutangkis. “Waktu itu anak-anak saya mengikuti banyak kegiatan, sepatu roda, renang, catur, bulutangkis. Kido menonjol di semuanya. Karena terlalu banyak, saya harus fokuskan di satu kegiatan saja. Saya pilih bulutangkis karena jenjang kejuaraannya bagus dan rutin,” kata Yul di salah satu rumahnya di bilangan Bekasi.!break!

Di jalan tersebut terdapat empat buah rumah milik keluarga Yul. Salah satu rumah tampak begitu asri, terdiri dari taman dengan kolam-kolam ikan, saung, dua buah bangunan yang salah satunya diubah menjadi museum penuh dengan piala, foto-foto, koleksi kliping media massa, semuanya tentang kiprah ketiga putranya yang kini menjadi pemain nasional. Di ruangan berpendingin udara itu pula, diletakkan sebuah meja biliar. Menurut Yul, sebagian besar harta tersebut dibeli oleh putra sulungnya Markis Kido yang dalam tiga tahun belakangan sukses merengkuh berbagai prestasi, antara lain juara dunia dan juara olimpiade bersama pasangannya di ganda putra, Hendra Setiawan.