Jalan Menuju Bintang

By , Rabu, 28 April 2010 | 08:58 WIB

Sekitar 18 tahun lalu, hanya sebuah rumah yang dimiliki keluarga Yul di jalan tersebut. Itu pun sempat digadaikan agar Kido dan kedua adiknya dapat terus berlatih dan mengikuti turnamen bulutangkis. Demi bulutangkis, satu demi satu harta yang dikumpulkan Yul dan suaminya, Djumharbey Anwar almarhum lepas satu demi satu.

Mobil dijual, tetapi Yul tidak kehilangan akal. Agar anak-anaknya tetap bisa berangkat ke gedung bulutangkis untuk latihan, dia membeli empat sepeda. “Satu anak satu sepeda, saya yang mengantar juga naik sepeda,” katanya. Sebelas tahun silam, perjalanan mereka memasuki tahap selanjutnya, Kido dan salah satu adiknya Bona Septano diterima di pusdiklat Jaya Raya.

Namun, hal itu bukan berarti Yul dapat bersantai diri. Dia justru sengaja memilih hengkang dari rumah untuk tinggal di kampung dekat asrama, mengontrak sebuah rumah petak yang dindingnya separuh tembok separuh tripleks, hidup di tengah kelompok masyarakat berpenghasilan rendah seperti pedagang keliling atau karyawan kecil. Sang suami yang saat itu sudah menjadi pejabat di sebuah bank swasta pun hanya bisa menggerutu. “Karena kami memiliki mobil, saya mengaku ke para tetangga kalau suami saya itu kerjanya sebagai supir perusahaan,” kata Yul.

Gaya hidup nekat yang dianut Yul demi perkembangan bulutangkis putra-putrinya tidak cuma terbatas pada ringan tangan melepas harta benda. Dia bahkan rela mengorbankan tradisi bersantai dan bergembira di hari raya. Di hari Idul Fitri, saat umat Islam umumnya berlibur dengan beramah tamah mengunjungi sanak keluarga, Yul memilih membawa anak-anaknya ke Sukabumi untuk berlatih bulutangkis. Pasalnya, hanya di kota yang berjarak 250 kilometer dari Jakarta itulah ada seorang pelatih yang mau melatih putra-putrinya di hari besar seperti itu. “Ibu itu memang luar biasa pengorbanannya,” ujar Ruben si pelatih.     

Meski berbagai taruhan hidup telah dia tempuh, Yul mengaku saat itu belum berani memimpikan anak-anaknya bakal memilih bulutangkis sebagai gantungan hidup. Motivasi yang ada dalam hatinya ternyata sederhana saja. Naluri seorang ibu. “Tidak ada pikiran lain. Saat saya lihat mereka bisa juara, saya merasa harus terus memfasilitasi mereka agar tetap bisa terus menang saat bertanding. Yang namanya ibu, tidak ingin melihat anaknya kalah dari yang lain,” tuturnya. Pertaruhan pun dimenangi. Saat ini, Markis Kido menyandang predikat sebagai peringkat dua dunia di nomor ganda putra dan mendapatkan segala penghormatan seperti yang pernah diberikan masyarakat pada para pahlawan bulutangkis sebelumnya.***!break!

Pada kenyataannya, seseorang tidaklah menjadi manusia super saat cita-cita menjadi bintang bulutangkis terwujud. Saat berada di puncak panggung bulutangkis dunia seperti itu, si atlet pastilah olahragawan yang memiliki begitu banyak pengalaman tanding, begitu kaya akan teknik dan taktik permainan, begitu sempurna kebugarannya. Namun sebagai makhluk sosial yang telah bertahun-tahun terkungkung dalam menara gading asrama, gedung latihan, dan arena pertandingan, mereka adalah individu yang begitu miskin pengalaman dan keterampilan bermasyarakat, juga cuma memiliki sedikit wawasan di luar perbulutangkisan.  

Realitas seperti itulah yang dialami Tri Kusharjanto di awal 2000-an. Siapa yang tak mengenal Trikus, pemain penuh gerak tipu, ahli waris seniman bulutangkis Denmark Sven Pri. Berbagai gelar juara telah dia sandang, medali perak Olimpiade 2000 telah dia kontongi. Namun, Trikus mengaku dirinya saat itu adalah manusia yang sangat tidak percaya diri. Kisah itu bermula ketika Trikus memutuskan menikahi pujaan hatinya. Sebagai pemain yang telah berkeluarga, dia tidak lagi boleh tinggal di dalam asrama pelatnas Cipayung. Alhasil, sebuah rumah cantik di timur Jakarta dia beli.

Pada pagi hari pertama, Trikus resah. Beberapa kali dia beranjak ke ruang tamu, mengintip jalanan yang lengang di depan rumahnya, lalu kembali masuk ke dalam kamar tidur. Tas besar yang telah rapi berisi perlengkapan latihan tergeletak begitu saja, menunggu sang pemilik membawanya ke Cipayung. Namun, Trikus ragu-ragu mengangkatnya. Fragmen seperti itu terjadi setiap pagi di hari-hari pertamanya di rumah idaman. “Waktu itu saya tidak berani keluar rumah. Saya takut kalau sampai bertemu dengan tetangga. Kalau sampai disapa dan diajak ngobrol, saya takut tidak tahu harus bagaimana, kata Trikus sang juara. “Dalam bayangan saya, mereka kan orang kantoran, pendidikannya tinggi. Saya merasa tidak bisa mengimbangi obrolan mereka.”

Lintasan pada “jalan bulutangkis” ternyata tidaklah berakhir saat sang pemimpi telah menjadi bintang. Tahap selanjutnya adalah perjalanan melatih diri untuk meraih sukses sebagai warga biasa yang bagian terberatnya terjadi di saat sang bintang memutuskan menggantung raketnya di penghujung usia 20-an atau awal 30-an tahun. Inilah kisah Hariyanto Arbi si pemilik smash 100 watt, pemuncak bulutangkis putra dunia era 1990-an setelah memutuskan mengakhiri 13 tahun kungkungan dinding asrama dan arena bulutangkis. Langkah pertama: mencari kerja atau berbisnis, toh uang sudah ada. “Tapi saya sama sekali tak memiliki bayangan mau apa, tidak tahu mau bikin apa. Susah sekali, bingung,” katanya.

Akhirnya tujuh tahun silam, dia memutuskan merintis bisnis sepatu dan raket bulutangkis bersama dua mantan pemain nasional lainnya, Fung Permadi dan Wahyu Agung. Keputusan itu membuat ketiganya seperti manusia kota yang tiba-tiba jatuh dari langit. Tiba-tiba Hariyanto sadar, dirinya tidak tahu cara berjualan: ke toko mana dia harus menjual, berapa keuntungan yang harus disisihkan bagi agen, berapa banyak barang yang harus dia pesan ke pabrik. “Pertama kami pesan saja ke pabrik 2.000 pasang sepatu. Ternyata itu jumlah yang sangat banyak untuk orang yang baru memulai usaha dan belum tahu pasarnya seperti apa,” kata Hariyanto.  

Kenyataannya, bisnis Hariyanto kini terbilang sukses, dia mampu mensponsori pasangan peringkat dua dunia Hendra/Kido dengan nilai kontrak di atas satu miliar rupiah per tahun. Dengan bangga Hariyanto juga menunjukkan hasil jajak pendapat di salah satu situs. “Sekarang, produk sepatu bulutangkis kami nomor dua terpopuler di Indonesia,” ujar Hariyanto di ruang kantornya yang sejuk di kawasan Senayan Jakarta.

Hariyanto, Fung, atau Agung tidak pernah mengikuti kursus atau kuliah bisnis manajemen. Dalam nada yang datar Hariyanto menjelaskan, modal dirinya hanyalah bulutangkis yang dia sebut dunia yang kejam: hanya ada satu pemenang dari sekian banyak atlet yang berlaga, hanya ada satu juara dunia bagi sekian ratus ribu pemain—pehobi maupun mereka yang serius menekuni bulutangkis. “Yang bisa menang adalah yang tidak pernah menyerah, yang tidak pernah lelah berlatih keras. Saya baru sadar kalau itu juga saya jalani di bisnis ketika ada orang yang bilang, saya bekerja seperti kuda, pagi sampai malam, termasuk hari libur. Saya justru bingung karena saya tidak merasa pernah lelah,” kata Hariyanto. Bagi Hariyanto dan banyak mantan pebulutangkis lainnya, “raket, asrama, dan arena” bukanlah jalan membentuk juara, tetapi membentuk manusia seutuhnya.