Manusia Awal Sejarah

By , Kamis, 26 Agustus 2010 | 17:05 WIB

Bersama kerangka-kerangka manusia yang ditemukan di tempat-tempat tersebut, hampir selalu terdapat benda-benda bekal kubur, termasuk kerajinan tembikar. Itu benang merah yang pertama. Yang kedua: kemiripan pola hias pada tembikar atau pecahan-pecahannya tersebut. Para arkeolog mengenalinya sebagai ciri "tembikar Buni" yang diperkirakan berkembang mulai abad kedua Masehi.!break!

Nama Buni mengacu pada kampung kediaman Sakiudin, tempat tembikar-tembikar seperti itu banyak ditemukan dan dicatat pertama kali dalam dunia arkeologi. Di Buni pada 1960-an, dua arkeolog RP Soejono dan Sutayasa melakukan penelitian sambil beradu cepat dengan para penggali liar yang memburu bekal kubur berupa perhiasan emas. Sakiudin adalah saksi hidupnya.

Pada perkembangannya, daerah temuan tembikar dengan pola hias Buni meluas ke tempat-tempat lain di pesisir Jawa Barat. Mulai dari Bekasi ke arah timur menyeberangi Sungai Citarum menuju Karawang hingga Cikampek. Di samping pola ragam hias pada tembikar yang identik dan diyakini buatan lokal (Buni atau non-Buni), di Buni dan Karawang ditemukan pula pola ragam hias yang bercirikan Vietnam dan India. Yang lebih menonjol adalah tembikar bercirikan Arikamedu, sebuah kota di pesisir selatan India yang pada abad-abad awal Masehi terkenal sebagai produsen tembikar dengan pola hias khas.

Pola Arikamedu sering disebut oleh para arkeolog sebagai romano-indian roulette pottery karena berupa lingkaran-lingkaran mirip roulette. "Biasanya diterakan pada bagian bawah kerajinan tembikar," jelas Amelia. Pada masa awal sejarah, boleh jadi tembikar "impor" seperti itu termasuk benda mewah yang tidak dimiliki semua orang. Bekal kubur berupa tembikar Arikamedu mungkin menunjukkan bahwa pemiliknya cukup berada.

Selain di Bekasi dan Karawang, tembikar Arikamedu juga ditemukan di pesisir timur Sumatra dan Bali. Hal tersebut menguatkan keyakinan bahwa kontak antara Nusantara dengan negeri-negeri lain telah terjalin  sebelum berdirinya Kutai dan Tarumanegara.!break!

Carbon dating (penanggalan karbon) atau analisis DNA untuk menentukan umur kerangka manusia secara lebih akurat masihlah terlalu mahal untuk dilakukan oleh umumnya peneliti Indonesia. Dalam sejumlah kasus, hal itu tidak dimungkinkan juga lantaran sampelnya telah terkontaminasi. Namun, menurut Amelia, dalam dunia arkeologi dikenal pula metode penentuan umur temuan secara lebih melebar, dengan menganalisis kondisi temuan, temuan-temuan lain yang berada dalam satu konteks, dan petunjuk-petunjuk lain.

"Diperkirakan kerangka-kerangka ini berasal dari masa antara abad kedua hingga keempat," kata Amelia mengambil kesimpulan. Jika kita berbicara lebih luas dalam konteks Nusantara, menurut Amelia, "Kontak dagang dengan negeri-negeri lain, kemudian diikuti transfer budaya dan konsep tata sosial, mungkin mendorong berdirinya kerajaan-kerajaan pertama di Nusantara."

Melalui temuan-temuan tersebut, juga diketahui bahwa masyarakat pesisir sekitar Karawang telah mengenal pola bercocok tanam meskipun belum mengenal baca-tulis. "Bekal kubur biasanya berupa benda-benda yang digunakan selama masih hidup. Jika ia memiliki harta, harta itu pula yang disertakan ke dalam kuburnya," kata Amelia. Itulah sebabnya, di antara benda-benda bekal kubur terdapat pula beliung persegi (mungkin pemiliknya petani), bandul jala atau kail (mungkin pemiliknya nelayan, karena kawasan ini pesisir), atau perhiasan seperti manik-manik dan perhiasan emas (mungkin menggambarkan kelas sosial).

Di Pasar Mas, Buni, Amelia berpesan kepada Sakiudin agar tidak langsung men-jual perhiasan emas atau temuan lainnya apabila masih menemukan. "Sebaiknya disimpan dulu, Pak. Lalu, lapor kepada yang berwenang agar bisa diteliti," katanya. Sosok yang dituju tersenyum untuk kesekian kali, lalu menjawab,  "Kalau kami menemukan benda purbakala, tidak boleh dijual. Tapi siapa dong, Bu, yang memikirkan kalau kami tidak punya beras?"