Amelia, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), datang bertamu ke rumah itu bersama antropolog ragawi Dyah Prastiningtyas. Si pemilik rumah yang kemudian keluar menyambut bernama Sakiudin. "Orang 'antologi' sering datang ke mari," katanya sambil mengembangkan senyum. Amelia dan Dyah paham, yang dimaksudkan oleh Sakiudin dalam kata "antologi" maksudnya adalah arkeologi.!break!
Mengenakan kopiah dan kemeja koko berwarna biru langit, Sakiudin yang sederhana itu lantas menyampaikan banyak informasi dengan sangat bersemangat. Bahkan terlampau bersemangat, sehingga ceritanya melompat-lompat, tidak runut, tetapi tetap sangat menarik. Amelia menyimak dengan sangat antusias seraya berkali-kali melakukan interupsi demi konfirmasi.
Topik dalam cerita Sakiudin adalah penggalian-penggalian oleh masyarakat pemburu harta karun sejak puluhan tahun lalu di sekitar tempat tersebut, Kampung Pasar Mas (Buni) di bagian utara Kabupaten Bekasi. Tujuan penggalian-penggalian liar tersebut adalah menemukan kuburan-kuburan manusia dari masa silam untuk mengambil bekal kuburnya. Lebih tepatnya bekal kubur berupa perhiasan berbahan emas.
Anting-anting, gelang, atau cincin emas kabarnya dahulu cukup mudah ditemukan. "Waktu itu ayah saya malah pernah menemukan topeng dari emas," kata Sakiudin. Biasanya, para penggali menjual perhiasan emas dan tidak begitu tertarik pada kerangka manusia atau jenis bekal kubur lain seperti wadah tembikar, apalagi hanya pecahan-pecahannya. Itu pula yang tampak berserakan di antara tanaman hias Sakiudin.
Amelia ingin mendengar cerita-cerita seputar hal tersebut karena satu alasan. "Bekal-bekal kubur tersebut bisa menceritakan kepada kita bagaimana kehidupan, kebudayaan, dan teknologi manusia pesisir Jawa Barat pada awal periode sejarah Nusantara," jelasnya.
Secara umum, batas antara periode "prasejarah" dan "sejarah" Nusantara telah diketahui cukup jelas. Yang dimaksud periode sejarah adalah rentang waktu ketika masyarakat Nusantara punya kemampuan baca-tulis. Titik mulanya kira-kira adalah berdirinya Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan Tarumanegara di pesisir utara Jawa Barat pada abad ketiga atau keempat Masehi. Itulah kerajaan-kerajaan pertama Nusantara—dibuktikan oleh sejumlah prasasti tentang keberadaan mereka yang ditemukan di beberapa lokasi yang diperkirakan termasuk wilayah mereka.!break!
Periode sebelum dikenalnya baca-tulis di Nusantara disebut sebagai prasejarah. Tentu saja, di antara masa prasejarah dan masa sejarah terdapat masa peralihan. Itulah saatnya masyarakat Nusantara diduga belum mengenal baca-tulis, tetapi telah diceritakan keberadaannya melalui dokumen-dokumen bangsa lain yang lebih dahulu mengenal baca-tulis. Keberadaan masyarakat Nusantara pada masa itu disebut dalam catatan bangsa China. Di Nusantara, penggalan masa tersebut disebut oleh sebagian arkeolog sebagai "protosejarah". Akan tetapi, Amelia lebih suka menyebutnya sebagai "awal sejarah".
Bagaimanapun, masa peralihan dari periode prasejarah ke sejarah inilah yang dapat dipelajari lebih dalam melalui kerangka-kerangka dan bekal-bekal kuburnya, seperti di Buni dan Karawang. Ya, di Karawang, beberapa bulan sebelumnya, Amelia bersama timnya dari Puslit Arkenas melakukan penggalian di Kecamatan Tempuran. Pada sebuah tempat yang jarang didekati penduduk karena dianggap angker, persis di sebelah pagar pemakaman umum dan area persawahan, mereka mengekskavasi empat kerangka manusia yang diperkirakan berasal dari awal periode sejarah Nusantara.
Dua di antaranya hampir lengkap tulang-tulangnya, dengan posisi seakan-akan menyambung: kepala satu individu berada di bawah kaki yang lainnya. Jika dilihat dari atas, kepala di arah tenggara dan kaki di arah barat laut. "Satu individu adalah lelaki, satu lagi perempuan," jelas Dyah dengan buru-buru menambahkan, "Dua individu yang lain belum diketahui jenis kelaminnya, karena kondisinya tidak memungkinkan. Hanya berupa tulang-tulang dari beberapa bagian tubuh. Yang jelas, salah satunya masih belia, mungkin kanak-kanak."
Sejumlah benda ikut ditemukan di dekat keempat kerangka itu: logam yang mungkin sisa dari mata tombak atau senjata lainnya; manik-manik dari kaca, emas, dan batu; tembikar berbentuk periuk kecil, serta pecahan-pecahan tembikar lainnya. Kesemuanya diperkirakan bekal kubur.!break!
Itu bukan kerangka-kerangka manusia dari awal periode sejarah yang pertama kali diekskavasi oleh para arkeolog. Pada 2005 di Batujaya—di lokasi sejumlah candi Buddha yang diperkirakan dibangun antara abad ke-7 hingga ke-10 Masehi (masuk dalam rentang masa Kerajaan Tarumanegara dan penggantinya, Kerajaan Sunda)—ditemukan pula kerangka-kerangka manusia. Masih di Batujaya, tahun ini, hampir berbarengan dengan penggalian di Tempuran oleh Amelia dan timnya, sebuah tim lain dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang yang sebenarnya sedang memugar Candi Blandongan—salah satu candi di sana—lagi-lagi menemukan kerangka manusia.
Memang, sebagian arkeolog meyakini kerangka-kerangka tersebut berasal dari rentang waktu yang sama dengan candi. Mereka menyebutnya sebagai masyarakat pendukung budaya candi. Alasannya: kerangka ditemukan di bawah struktur candi atau di dekat candi. Kendati demikian, sebagian arkeolog lainnya yakin kerangka-kerangka itu telah dikubur di sana jauh sebelum ada candi—sepertinya dari awal periode sejarah.
Pihak yang terakhir ini melihat, kerangka-kerangka itu berada dalam lapisan yang berbeda dari candi. Tata cara penguburan dan bekal kubur kerangka-kerangka tersebut pun bercirikan masa awal sejarah, belum tersentuh pengaruh Buddha atau Hindu (meski candi-candi di Batujaya bercirikan Buddha, Purnawarman sebagai raja Tarumanegara adalah penganut Hindu).
Bersama kerangka-kerangka manusia yang ditemukan di tempat-tempat tersebut, hampir selalu terdapat benda-benda bekal kubur, termasuk kerajinan tembikar. Itu benang merah yang pertama. Yang kedua: kemiripan pola hias pada tembikar atau pecahan-pecahannya tersebut. Para arkeolog mengenalinya sebagai ciri "tembikar Buni" yang diperkirakan berkembang mulai abad kedua Masehi.!break!
Nama Buni mengacu pada kampung kediaman Sakiudin, tempat tembikar-tembikar seperti itu banyak ditemukan dan dicatat pertama kali dalam dunia arkeologi. Di Buni pada 1960-an, dua arkeolog RP Soejono dan Sutayasa melakukan penelitian sambil beradu cepat dengan para penggali liar yang memburu bekal kubur berupa perhiasan emas. Sakiudin adalah saksi hidupnya.
Pada perkembangannya, daerah temuan tembikar dengan pola hias Buni meluas ke tempat-tempat lain di pesisir Jawa Barat. Mulai dari Bekasi ke arah timur menyeberangi Sungai Citarum menuju Karawang hingga Cikampek. Di samping pola ragam hias pada tembikar yang identik dan diyakini buatan lokal (Buni atau non-Buni), di Buni dan Karawang ditemukan pula pola ragam hias yang bercirikan Vietnam dan India. Yang lebih menonjol adalah tembikar bercirikan Arikamedu, sebuah kota di pesisir selatan India yang pada abad-abad awal Masehi terkenal sebagai produsen tembikar dengan pola hias khas.
Pola Arikamedu sering disebut oleh para arkeolog sebagai romano-indian roulette pottery karena berupa lingkaran-lingkaran mirip roulette. "Biasanya diterakan pada bagian bawah kerajinan tembikar," jelas Amelia. Pada masa awal sejarah, boleh jadi tembikar "impor" seperti itu termasuk benda mewah yang tidak dimiliki semua orang. Bekal kubur berupa tembikar Arikamedu mungkin menunjukkan bahwa pemiliknya cukup berada.
Selain di Bekasi dan Karawang, tembikar Arikamedu juga ditemukan di pesisir timur Sumatra dan Bali. Hal tersebut menguatkan keyakinan bahwa kontak antara Nusantara dengan negeri-negeri lain telah terjalin sebelum berdirinya Kutai dan Tarumanegara.!break!
Carbon dating (penanggalan karbon) atau analisis DNA untuk menentukan umur kerangka manusia secara lebih akurat masihlah terlalu mahal untuk dilakukan oleh umumnya peneliti Indonesia. Dalam sejumlah kasus, hal itu tidak dimungkinkan juga lantaran sampelnya telah terkontaminasi. Namun, menurut Amelia, dalam dunia arkeologi dikenal pula metode penentuan umur temuan secara lebih melebar, dengan menganalisis kondisi temuan, temuan-temuan lain yang berada dalam satu konteks, dan petunjuk-petunjuk lain.
"Diperkirakan kerangka-kerangka ini berasal dari masa antara abad kedua hingga keempat," kata Amelia mengambil kesimpulan. Jika kita berbicara lebih luas dalam konteks Nusantara, menurut Amelia, "Kontak dagang dengan negeri-negeri lain, kemudian diikuti transfer budaya dan konsep tata sosial, mungkin mendorong berdirinya kerajaan-kerajaan pertama di Nusantara."
Melalui temuan-temuan tersebut, juga diketahui bahwa masyarakat pesisir sekitar Karawang telah mengenal pola bercocok tanam meskipun belum mengenal baca-tulis. "Bekal kubur biasanya berupa benda-benda yang digunakan selama masih hidup. Jika ia memiliki harta, harta itu pula yang disertakan ke dalam kuburnya," kata Amelia. Itulah sebabnya, di antara benda-benda bekal kubur terdapat pula beliung persegi (mungkin pemiliknya petani), bandul jala atau kail (mungkin pemiliknya nelayan, karena kawasan ini pesisir), atau perhiasan seperti manik-manik dan perhiasan emas (mungkin menggambarkan kelas sosial).
Di Pasar Mas, Buni, Amelia berpesan kepada Sakiudin agar tidak langsung men-jual perhiasan emas atau temuan lainnya apabila masih menemukan. "Sebaiknya disimpan dulu, Pak. Lalu, lapor kepada yang berwenang agar bisa diteliti," katanya. Sosok yang dituju tersenyum untuk kesekian kali, lalu menjawab, "Kalau kami menemukan benda purbakala, tidak boleh dijual. Tapi siapa dong, Bu, yang memikirkan kalau kami tidak punya beras?"