Humboldt bahkan juga mendorong agar empat jilid buku karya Junghuhn tentang alam Jawa itu dicetak secepatnya dalam bahasa Jerman oleh penerbit Arnoldische Buchhandlung di Leipzig. Akibatnya, penerbitan karya Humboldt sendiri tersela dan harus menunggu lama. Semua tenaga penerbit itu dikerahkan untuk buku Junghuhn semata. Humboldt tak menyesal, malahan dalam Kosmos jilid keempat yang terbit pada 1858, ia menyatakan begini: "Sebuah cahaya baru dan yang lama ditunggu telah dipancarkan atas karakter geonostik Jawa--setelahkarya-karya terdahulu Horsfield, Sir Thomas Stamford Raffles dan Reinwardt yang sangat tidak lengkap namun berjasa--melaluiseorang peneliti alam yang berbobot, piawai dan pantang menyerah, yaitu Junghuhn. Ia menyelesaikan sebuah sebuah karya yang berharga;Java, seine Gestalt, Pfanzendecke un innere Bauart."
Sebelumnya, dalam surat bertitimangsa 20 April 1857 yang dikirim dari Jerman, Humboldt juga menyatakan kekaguman atas empat lembar peta besar Kaart van het Einland Java yang dibuat Junghuhn. "Betapa besar rasa terimakasih saya kepada Anda atas peta yang indah. Geologis sekali dan beraneka ragam bentuk. Setelah sebuah makan malam di Istana Sanssouchi di Postdam, Raja Prussia, Pangeran Friedrich dari Belanda, menteri peperangan dan banyak lagi mengagumi peta ini sebagai sebuah karya yang sangat luarbiasa," begitu sanjung Humboldt.
Saat perayaan 200 tahun Junghuhn yang diperingati Oktober tahun lalu, surat kabar terbesar di Indonesia, Kompas, menyebutkan peta yang dibuat pada 1855 dan dijual dengan harga eceran 12 Gulden untuk peta topografis tak berwarna dan 14 Gulden untuk peta geologis berwarna itu, hampir sama lengkapnya dengan peta hasil rekaman satelit NASA tahun 2007. Peta dengan skala 1:350.000 itu memang karya unggul di bidang kartografi. Data-data yang tercantum di dalamnya telah membuka jalan bagi pengembangan ekonomi di Jawa.
TAHUN-TAHUN JUNGHUHN DI EROPA memang tidak hanya menjadi saat memulihkan kesehatan, memasyhurkan namanya karena sangat subur berkarya, sehingga mengukuhkan tempatnya sebagai salahsatu raksasa naturalis dunia, tetapi juga perubahan arah dalam kehidupan pribadinya. !break!
Pada 1850, ia memutuskan menikahi gadis Belanda usia 22 tahun, Johanna Louisa Frederica Koch. Lebih jauh lagi, Junghuhn mengalami penggodokan mental, serta pematangan karakter melalui serangkaian polemik. Bukan saja dengan sejumlah ilmuwan terkait karya utamanya tentang Jawa, melainkan juga dengan para pendeta lantaran penerbitan filsafat hidupnya dan ide-ide berpikir bebas tentang agama serta gereja, yaitu Licht- en Schaduwbeelden uit de Binnenlanden van Java.
Meskipun buku ini berisi cerca tentang kekeliruan dan kekerasan yang dilakukan umat Kristen--oleh karenanya ia mendapat penentangan yang keras, tetapi sesungguhnya dari sisisastra amatlah memukau. "Dalam semua karya Junghuhntampak narasi-narasi sastra. Dan kalau akhirnya karya-karya itu menjadi sumber sejarah, maka karya-karyanya itu dapat dinilai sangat berhasil justru karena berita pikiran dengan analisisnya itu disampaikan dengan gaya narasi sastra," kata Adrian Lapian, sejarawan yang saya temui di rumahnya yang asri.Kalau membuka semua karya Junghuhn memang segera terasa betapa kekayaan materi hasil observasi yang sangat cermat sampai ke peta-peta dan gambar-gambarnya semua ditampilkan serba puitis. Sehingga saya sering bertanya-tanya jangan-jangan Junghuhn adalah penyair yang terjebak dalam tubuh seorang naturalis.
Selain bakat sastra, Junghuhn juga memiliki bakat menggambar yang kuat. Ini bisa dilihat pada hampir semua buku karyanya. Junghuhn mampu membuat komposisi gambar yang bagus. Kuat garisnya dalam menangkap detail. Memikat caranya mewarnai sehingga alam tropis sangat terasa. Pada masanya memang para naturalis besar seperti Humboldt dan Haeckel pandai membuatkan sketsa, lukisan cat air, dan ilustrasi lain untuk dipakai di setiap buku mereka. Junghuhn bahkan menerbitkan khusus buku lithografi besar berwarna tentang alam Jawa, Lanschafts-Ansichten von Java.
Kelebihan yang tak dimiliki naturalis besar lain adalah kemampuan Junghuhn memanfaatkan teknologi foto yang saat itu baru saja diperkenalkan. Ia menjadi pionir dari era baru menggunakan seni fotografi dalam pekerjaan naturalis. Pada 1858, Junghuhn memberikan segepok hasil pemotretannya kepada Karl von Schrezer dan Ferdinand von Hochstetter, dua anggota rombongan ekspedisi keliling dunia dari Austria dengan menumpang fregat Novara yang sengaja mendarat di Batavia untuk mengunjungi rumahnya di Lembang. !break!
Mulai 1860, Junghuhn mendalami stereoskopi. Pada tahun itu juga Junghuhn membeli seperangkat alat fotografi dengan objektif ganda, tripod dan perlengkapan tambahan lainnya, termasuk bahan-bahan kimia dan kertas foto. Perlengkapan fotografi tidak saja sangat mahal, tetapi juga telah membuat Junghuhn harus menambah panjang barisan rombongan ekspedisinya. Tercatat bahwa Junghuhn hanya sempat membawa sekali peralatan fotografinya itu pada 1863. Saat itu, Junghuhn dalam ekspedisi yang jauh dan kemudian merupakan yang terakhir. Junghuhn mengunjungi daerah percandian dataran tinggi Dieng dan Gunung Gamping, sebuah bukit kapur di Jawa Tengah. Foto-foto hasil bidikan Junghuhn kemudian menjadi bersejarah, karena candi itu kemudian hancur, begitu juga Gunung Gampingyang berubah drastis karena kena longsor.
PERTANYAANNYA KINI, dari sekian banyak karya-karyanya, dan dari sebegitu luasnya bidang kerjanya, sejauh mana kita bisa mengambil manfaatnya untuk masa kini? Kampanye Junghuhn yang menggebu-gebu soal reboisasi tentu saja masih amat relevan dan penting, karena pada kenyataannya hutan-hutan yang gundul telah meningkatkan risiko bencana banjir dan longsor di banyak tempat di Indonesia belakangan ini. Penebangan hutan secara membabi buta juga telah mengusir habitat alami hewan-hewan langka seperti orangutan, gajah, atau badak, yang dalam jangka panjang bakal mengganggu keseimbangan ekosistem. Bagaimana dengan teori elevasi terhadap jenis vegetasi tanaman?
"Sebagai sebuah teori, pembagian vegetasi berdasarkan elevasi dan iklim yang dilontarkan Junghuhn tentu saja amat penting, dan patut dihormati sampai kapan pun," ujar Djamang Ludiro, pengajar di Departemen Geografi Universitas Indonesia yang mengkhususkan diri pada klimatologi.
Namun, Djamang melanjutkan, pertumbuhan populasi, yang menyebabkanmeningkatnya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan pangan, telah memicu perkembangan teknologi. "Termasuk teknologi budi daya tanaman yang membuat tanaman tidak lagi sepenuhnya bergantung pada faktor-faktor alamseperti ketinggian atau iklim," Djamang menambahkan. !break!
Faktor lainnya adalah, perubahan iklim telah memaksa tanaman--dan hewan tertentu--untuk bisa beradaptasi dalam kondisi iklim yang tidak menentu. "Penelitian lanjutan soal adaptasi tanaman ini, menurut saya yang lebih penting, untuk menjawab keresahan orang-orang yang hidupnya bergantung pada alam seperti petani atau nelayan."
"TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALAM." Itulah kata-kata Junghuhn yang langsung teringat dan terus-terusan mengiang ketika saya di suatu pagi yang mendung mengunjungi makamnya, di ujung sebuah gang kecil dekat pasar Lembang lama, sebelah utara kota Bandung, Jawa Barat. Makam itu masih kukuh sejak didirikan isterinya tak lama setelah wafatnya Junghuhn. Terawat rapi. Bersih. Lain dengan sekelilingnya yang tampak tak terurus.
Nisannya, tugu jangkung berkelir putih, dihiasi oleh deretan pohon kina, "bayi" yang dengan sepenuh hati telah dipeliharanya di bawah teduh pepohonan hutan lainnya. Kawasan makam ini telah dikepung perumahan serta kehilangan bau khasnya sebagai hutan kecil karena di beberapa sudut dijadikan terminal akhir sampah. Beruntung, ada Asep Suryana. Asep--pria jangkung dalam usia paruh baya--menggantikan ayahnya sebagai penjaga makam yang salah satu tugasnya adalah merawat makam Junghuhn.
"Pemerintah kurang memerhatikan makam ini, padahal di dalamnya bersemayam ini makam salah seorang yang paling berjasa besar bagi negeri ini," tutur Asep. Untuk menjaga makam Junghuhn, Asep mengaku mendapat bantuan dana secara rutin dari Goethe Institute--lembaga kebudayaan Jerman yang masih getol memperingati kelahiran Junghuhn--dan tips ala kadarnya dari para pengunjung makam. !break!
Asep juga mengantar saya ke makam Johan Eliza de Vrij, ahli kimia dan farmasi yang berdiri tepat di belakang Junghuhn dalam menyelidiki kadar alkaloid berbagai pohon kina yang dibudidayakan.
Dalam semilir angin dingin, saya masih dapat merasakan mengapa Junghuhn berwasiat agar dikuburkan di sini, menghadap Gunung Tangkuban Perahu, dikawal Gunung Burangrang dan Bukit Tunggul.
Pada 24 April 1864, ketika deraan disentri amoeba membawa Junghuhn yang lahir di Mansfeld, Jerman, pada 26 Oktober 1809 semakin mendekati sakaratul maut, kepada Isaäc Groneman--pengagum, sahabat, sekaligus dokter pribadinya yang menemani--dia menyebutkan permintaan terakhir yang terdengar begitu puitis sekaligus menggetarkan: "Sahabatku yang baik, bukakanlah untuk aku jendela-jendela. Aku ingin berpamitan dengan gunung-gunungku tercinta. Untuk terakhir kali, aku ingin memandang hutan-hutan, aku ingin menghirup udara pegunungan."
Dengan Berselempang kain di leher, lelaki petualang dengan infeksi usus besar yang menyiksa itu menyunggingkan senyum. Matanya yang setajam mata elang tak juga sayu. Seperti akan menerima kebahagiaan. Groeneman membuka jendela-jendela dan menyeruaklah hawa dingin dan segar dari arah Gunung Tangkuban Perahu di depan yang seperti raksasa tergolek dalam kabut tebal di remang-remang bulan tua.
Saat itu hampir jam tiga dini hari. Usia Junghuhn 54 tahun dan hingga mengembuskan napas terakhir, sang penutup zaman naturalis generalis terakhir itu tetap memegang teguh syahadat yang sekali waktu pernah dinyatakan bahwa hanya alam sajalah "sumber segala kebenaran" serta satu-satunya "manifestasi ilahiah". Junghuhn wafat sebagai koppige bergbewoner alias "orang gunung yang keras kepala".