Dari Balik Cadar

By , Rabu, 1 Desember 2010 | 13:46 WIB

Dua puluh lima tahun silam, seorang gadis Afghan bermata hijau mengusik batin lewat sampul National Geographic. Dia menjadi citra khas kemalangan Afghanistan, pengungsi belia yang meloloskan diri dari perang antara kaum komunis dukungan Soviet dan kaum mujahidin dukungan Amerika. Di masa kini citra khas Afghanistan lagi-lagi seorang gadis—Bibi Aisha (halaman XX), yang hidung dan telinganya dipotong suaminya sebagai hukuman karena minggat dari suami serta keluarganya. Aisha kabur untuk menghindari pukulan dan siksaan lainnya.!break!

Mengapa para suami, ayah, ipar, bahkan ibu mertua menganiaya perempuan dalam keluarganya? Apakah tindakan kekerasan ini konsekuensi dari masyarakat tradisional yang tiba-tiba terlontar ke abad ke-21 setelah bertahun-tahun terisolasi dan didera banyak perang? Dan orang Afghan mana dalam masyarakat ini yang melakukan kekerasan itu? Ada perbedaan besar antara suku Hazara, Tajik, Uzbek, dan Pashtun, kelompok terbesar dan konservatif yang mendominasi kehidupan politik sejak 1880-an.

Di wilayah sabit Pashtun, dari Provinsi Farah di barat sampai Kunar di timur laut, kehidupan di masa lalu—dan sampai sekarang, dalam banyak hal—diatur berdasarkan peraturan yang disebut Pashtunwali, "cara hidup Pashtun."  Landasan Pashtunwali adalah martabat lelaki, yang dinilai dari tiga za—zar (emas), zamin (tanah), dan zan (perempuan). Prinsip yang mendasari kehidupan terhormat adalah melmastia (memuliakan tamu), nanawati (perlindungan atau suaka), dan badal (keadilan atau pembalasan dendam).

Semakin baik sambutan seorang lelaki Pashtun kepada tamunya, semakin terhormat pula orang tersebut. Jika ada orang asing atau musuh yang datang ke rumahnya dan meminta perlindungan, pria Pashtun dianggap terhormat jika menerima orang tersebut. Jika terjadi pelanggaran atas tanah, perempuan, atau emasnya, kehormatan mengharuskannya membalas. Lelaki tanpa kehormatan adalah lelaki tanpa bayangan, tanpa harta, tanpa martabat.Namun, pada umumnya tidaklah pantas bagi perempuan Pashtun untuk menyambut tamu atau membalas dendam. Mereka jarang menjadi pelaku. Mereka adalah harta yang diperdagangkan atau diperebutkan—sampai mereka akhirnya tidak tahan lagi.

Di rumah penampungan bagi perempuan yang melarikan diri dari kekerasan rumah tangga di Kabul, saya mendengar tentang seorang gadis dari salah satu keluarga Pashtun terkaya di provinsi yang berbatasan dengan Pakistan. Dia jatuh cinta kepada pemuda dari suku yang tidak direstui. Ayah gadis itu membunuh pemuda itu dan empat saudaranya, dan ketika dia menemukan bahwa ibunya sendiri membantu putrinya meloloskan diri dari murka sang ayah, dia juga membunuh ibunya. Kini dia menawarkan hadiah Rp90.000.000 bagi mayat putrinya.!break!

Tindakan yang ekstrem dari lelaki yang ekstrem. Namun, banyak pria Pashtun memandang bahwa kejantanan dan cara hidup mereka sedang terancam—oleh militer asing, pemimpin agama asing, televisi asing, kelompok HAM internasional—dan mereka berpegang teguh pada tradisi yang telah sekian lama membentuk sosok pria Pashtun.

Pada suatu hari di toko buku di Kabul, saya menemukan kumpulan landay—"yang pendek"—puisi dua baris yang diucapkan orang Pashtun secara berbalasan di sumur desa atau perayaan pernikahan. Buku itu, yang semula diterbitkan dengan judul Le suicide et le chant (Bunuh Diri dan Lagu), disusun oleh Sayd Bahodine Majrouh, pujangga dan penulis Afghan termasyhur yang dibunuh saat dalam pengasingan Pakistan pada 1988. Awalnya dia mengumpulkan landay perempuan di Lembah Sungai Kunar tempat kelahirannya. Majrouh yang humanis menemukan kemuliaan dalam jeritan hati ini, yang menentang tradisi dan dalam banyak hal mengolok-olok kehormatan pria. Dari buaian sampai kuburan, nasib perempuan Pashtun penuh aib dan duka. Dia diajari bahwa dia tidak layak dicintai. Inilah sebabnya, tulis Majrouh, landay menjadi "jerit perpisahan" dengan cinta, dan mengungkapkan penderitaan akibat kawin paksa.

Suami perempuan?Pashtun biasanya masih anak-anak atau sudah kakek tua, yang dipaksakan kepadanya melalui ikatan suku:Tak tahu malukah kau bandot berjenggot putih?Kau belai rambutku dan aku tertawa dalam hati.

Dengan mengejek, perempuan menebas kejantanan pria:Dalam perang hari ini kekasihku lari lintang pukangMalu aku telah menciumnya tadi malam.

Atau menyuarakan hasratnya yang tak tercapai:Wahai kekasih, cepatlah datang kepadaku! "Petaka kecil" sedang lelap dan kau dapat menciumku.!break!

"Petaka kecil" adalah pria yang terpaksa dinikahi si wanita, korban penipuan. Hanya tanpa pengetahuan suaminya, si wanita dapat menemukan cinta sejati. Menurut pemahaman Majrouh, kaum wanita Pashtun, meski bersikap patuh, selama ini mendambakan pemberontakan dan kenikmatan hidup duniawi. Dia menjuduli bukunya Le suicide et le chant karena dengan kedua perbuatan inilah mereka memprotes penderitaan mereka. Pada masa hidup Majrouh, dua cara utama bunuh diri adalah minum racun dan menenggelamkan diri. Sekarang, racun dan membakar diri.

Parlemen Afghan baru-baru ini menyusun rancangan undang-undang yang ditujukan melenyapkan kekerasan terhadap perempuan, yang mulai menolak praktik budaya lama dan menegaskan jati dirinya di ranah publik maupun pribadi. Saya mengunjungi rumah Sahera Sharif di Kabul, seorang Pashtun dan perempuan pertama yang menjadi anggota parlemen dari Khost. "Tak ada yang mengira wanita dapat memasang foto dan poster kampanye di tembok-tembok di Khost—kaum pria bahkan tidak mengizinkan perempuan bekerja di Khost," katanya.

Semasa kecil, Sharif menentang ayahnya, seorang mullah konservatif, dengan mengurung diri di lemari sampai diperbolehkan bersekolah. Dia mengalami perang saudara antara berbagai kelompok mujahidin, yang mencabik-cabik Kabul sebelum Taliban berkuasa pada 1996. Dia menyaksikan kekejaman yang tak terbayangkan dan banyak kematian. "Sebagian besar kekerasan dan kekejaman yang ada sekarang," kata Sharif, "disebabkan orang menjadi gila akibat semua perang itu."

Setelah Taliban jatuh pada Desember 2001, Sharif mendirikan stasiun radio untuk mendidik wanita tentang higiene dan kesehatan dasar. Lebih radikal lagi, dia mengajukan diri untuk mengajar di universitas di Khost (dosen perempuan pertama di sana). Dia melepaskan burkak (juga pertama kali terjadi) dan berdiri di depan mahasiswa pria, mengajarkan psikologi. Mereka jengah. Demikianlah dia pun mulai mendidik mereka dalam cara baru ini.!break!

Sementara kami mengobrol, dapat kulihat betapa Sahera Sharif menjadi inspirasi bagi putrinya yang berusia 15 tahun, Shkola, yang menyela ibunya untuk menunjukkan foto seorang wanita dalam majalah kepada saya. Perempuan itu menggeletak dengan leher tergorok, dibunuh oleh keluarga suaminya. Ibu perempuan itu, yang menanggung duka, memohon majalah itu memuat fotonya. "Foto ini mengganggu pikiranku," kata Shkola. "Terus terbayang-bayang."Shkola sedang belajar sejarah dan hukum Islam. Dia bercita-cita menjadi pengacara, guna membantu kaum wanita membela diri terhadap kekerasan dan ketidakadilan. Sementara itu, dia mencari-cari buku dari Iran untuk mendapatkan cerita anak "seperti yang ada di?Barat," katanya. "Di sini hampir tidak ada. Jadi aku menerjemahkannya ke bahasa Pashto, dan aku juga sedang menulis novel."

Di berbagai pelosok negara itu—di Khost dan Kandahar, di Herat dan Kabul —saya bertemu banyak gadis seperti Shkola. Mereka tidak menulis landay kuno, tetapi puisi dan novel, dan membuat film dokumenter dan hiburan. Inilah kisah-kisah baru yang dituturkan kaum perempuan tentang kehidupan mereka di Afghanistan.