Segera! Tujuh Miliar Jiwa di Dunia

By , Selasa, 28 Desember 2010 | 15:01 WIB

Pada suatu hari musim gugur 1677 di Delft, Belanda, Antoni van Leeuwenhoek, saudagar kain yang konon berperan sebagai model berambut panjang bagi dua lukisan karya Johannes Vermeer—lukisan “Ahli Astronomi” dan “Ahli Geografi”—mendadak berhenti mencumbui istrinya dan tergesa menuju meja kerjanya. Kain memang bidang usaha Leeuwenhoek, tetapi mikroskopi adalah minatnya.

Dia sudah punya lima anak dari istri pertamanya (meskipun yang empat orang meninggal saat masih bayi), dan bukan soal menjadi ayah yang memenuhi pikirannya. “Sebelum enam kali denyutan,” (begitu yang dia tulis kemudian kepada Royal Society of London) Leeuwenhoek memeriksa sampel air maninya sendiri—zat yang mudah rusak itu—melalui kaca pembesar yang kecil ukurannya. Lensanya, yang tidak lebih besar daripada setetes kecil air hujan, dapat memperbesar benda sampai ratusan kali. Kaca pembesar itu juga dia buat sendiri dan saat itu tak seorang pun yang memiliki lensa sekuat lensa miliknya.

Pada masa itu, para cendekiawan di London masih berusaha meneliti keabsahan klaim Leeuwenhoek sebelumnya yang menyatakan bahwa jutaan “animalkul” (animalcules, istilah Leewenhoek bagi mikroorganisma) yang tidak kasat mata hidup dalam setetes air danau dan bahkan dalam setetes anggur Prancis. Di hari itulah Leewenhoek memiliki satu hal lain yang lebih rumit untuk dilaporkan. Yaitu, air mani manusia juga mengandung animalkul. “Kadang lebih dari seribu dalam sejumput materi yang ukurannya sebesar satu butir pasir,” tulis Leewenhoek.

Sambil menempelkan kaca pembesar ke matanya seperti seorang pandai perhiasan, Leeuwenhoek melihat animalkul miliknya berenang-renang sambil mengibas-ngibaskan ekornya yang panjang. Bayangkan cahaya matahari menerobos melalui kerai kaca jendela, berlabuh di wajah yang tercenung, seperti pada lukisan Vermeers. Sungguh kasihan sang istri.!break!

Setelah itu, Leeuwenhoek menjadi agak terobsesi. Lubang intipnya yang sangat kecil itu memberi Leewenhoek hak istimewa dalam mengakses dunia mikroskopik yang belum pernah dilihat orang lain dan dia menghabiskan banyak sekali waktu mengamati spermatozoa, itulah nama yang kita gunakan sekarang. Namun yang sungguh terasa ganjil, justru cairan mani yang dia peras dari seekor ikan cod-lah yang kemudian mengilhaminya untuk menaksir, hampir secara sambil lalu, berapa banyak manusia bisa menghuni Bumi.

Tidak seorang pun paham apa yang Leewenhoek maksudkan, antara lain karena belum banyak sensus dilakukan pada waktu itu. Leeuwenhoek memulainya dengan taksiran bahwa sekitar satu juta orang tinggal di Belanda. Dengan menggunakan peta dan sedikit ilmu geometri bidang lengkung,  dia menghitung bahwa kawasan daratan yang berpenghumi di Bumi luasnya 13.385 kali luas Belanda. Waktu itu sungguh sulit membayangkan Bumi yang seluruhnya sepadat negeri Belanda, yang bahkan di masa itu pun sepertinya sudah sangat padat.

Jadi, Leeuwenhoek menyimpulkan dengan penuh rasa kemenangan, Bumi tidak mungkin dihuni lebih dari 13.385 miliar orang—jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan 150 miliar sel sperma yang menghuni seekor ikan cod! Hasil perhitungan yang riang gembira tersebut, begitu tulis ahli biologi populasi Joel Cohen dalam bukunya How Many People Can the Earth Support?, mungkin merupakan upaya pertama yang memberikan jawaban kuantitatif terhadap pertanyaan yang kini kian mengecilkan hati jika dibandingkan pada masa abad ke-17. Pasalnya, kebanyakan jawaban di masa sekarang ini sama sekali tidak menggembirakan.

Kini para ahli sejarah memperkirakan bahwa di masa Leeuwenhoek hanya ada sekitar setengah miliar manusia di Bumi. Saat itu, jumlah manusia baru saja melesat setelah peningkatan yang sangat lambat selama ribuan tahun. Satu setengah abad kemudian, ketika penemuan sel telur manusia dilaporkan,  penduduk dunia telah bertambah lebih dari dua kali lipat menjadi lebih dari satu miliar jiwa. Satu abad setelah itu, sekitar 1930, jumlah manusia kembali berlipat dua menjadi dua miliar. Akselerasi pertambahan sejak itu sungguh mencengangkan. Sebelum abad ke-20, belum pernah ada manusia yang di  masa hidupnya menyaksikan penduduk Bumi bertambah dua kali lipat, padahal banyak orang yang hidup sekarang menyaksikan jumlah manusia bertambah sampai tiga kali lipat. Kelak di akhir 2011, menurut Divisi Populasi PBB, akan ada tujuh miliar manusia.!break!

Ledakan penduduk itu sama sekali belum usai, meski kini tengah melambat. Penyebabnya bukan saja karena manusia hidup lebih lama, tetapi karena banyak sekali perempuan di seluruh dunia yang sekarang ini berada dalam usia subur—1,8 miliar—sehingga penduduk dunia bakal terus tumbuh setidaknya selama beberapa dasawarsa mendatang. Hal itu akan berlangsung meski setiap perempuan memiliki lebih sedikit anak dibandingkan dengan satu generasi yang lalu. Pada 2050 jumlah total manusia bisa mencapai 10,5 miliar atau mungkin juga berhenti di angka delapan miliar—perbedaannya ada pada satu anak per seorang perempuan. Para ahli demografi PBB menganggap angka di tengah-tengah merupakan perkiraan terbaik: mereka sekarang memperkirakan penduduk Bumi dapat mencapai sembilan miliar sebelum 2050—pada 2045. Angka akhir akan bergantung pada pilihan masing-masing pasangan ketika mereka melakukan kegiatan antarmanusia yang paling intim itu, kegiatan yang secara serampangan dihentikan Leeuwenhoek demi ilmu pengetahuan.

Dengan penduduk yang masih terus bertambah sekitar 80 juta jiwa per tahun, sulit rasanya untuk tidak merasa prihatin. Saat ini di Bumi, air tanah harus dicari semakin dalam, tanah terus terkikis, gletser terus meleleh, dan jumlah ikan kian menyusut. Hampir satu miliar orang kelaparan setiap hari. Beberapa puluh tahun dari sekarang, mungkin akan ada dua miliar manusia yang butuh makan, kebanyakan di negara miskin. Akan makin banyak orang, dalam jumlah miliaran, yang ingin dan layak mengentaskan diri dari kemiskinan. Jika mereka mengikuti jalan yang dirintis oleh negara kaya—membuka hutan, membakar batubara dan minyak, dengan bebas menebarkan pupuk dan pestisida—mereka pun akan memanfaatkan habis-habisan sumber daya alam planet ini. Bagaimanakah caranya untuk mendapatkan makanan?

Mungkin agak melegakan hati saat mengetahui bahwa sesungguhnya sudah lama orang mengkhawatirkan masalah populasi. Beberapa di antara tulisan awal tentang demografi ditulis oleh Sir William Petty, pendiri Royal Society, hanya beberapa tahun setelah penemuan Leeuwenhoek. Dia memperkirakan, penduduk dunia akan tumbuh 12 kali lipat menjelang hari kiamat yang diperkirakan sekitar 2000 tahun lagi. Pada sat itu jumlah manusia akan lebih dari 20 miliar—lebih dari yang bisa diberi makan oleh Bumi. “Dan, menurut ramalan Alkitab, pasti ada peperangan, pembantaian besar-besaran, dan sebagainya,” begitu tulis Petty. Memang sejak awal, begitu dikatakan ahli demografi  asal Prancis Hervé Le Bras, demografi terperosok dalam diskusi perihal “hari akhir”.

Di saat ramalan agama tentang akhir dunia mulai mereda, Le Bras menyatakan, persoalan pertumbuhan penduduk saja sudah memunculkan mekanisme semu tentang kiamat. “Hal tersebut mengkristalkan ketakutan purba dan mungkin harapan purba tentang hari akhir,” tulis Le Bras. Pada 1798, pendeta Inggris yang juga ahli ekonomi Thomas Malthus mengemukakan hukum populasinya: populasi memang perlu tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan pasokan pangan, sampai perang, penyakit, dan wabah kelaparan tiba untuk mengurangi jumlah manusia. Kenyataannya, wabah cukup besar yang menurunkan populasi manusia secara signifikan sudah pernah terjadi saat Malthus menuliskan pendapatnya. Sejak peristiwa Kematian Hitam di abad ke-14 itu, penduduk dunia belumlah lagi berkurang, begitu menurut para ahli sejarah.!break!

Dalam kurun dua abad setelah Malthus mengumumkan bahwa populasi tidak mungkin terus tumbuh pesat, justru yang sebaliknyalah yang terjadi. Prosesnya dimulai di kawasan yang sekarang kita sebut sebagai negara maju, yang saat itu tengah berkembang. Penyebaran hasil bumi dari benua Amerika seperti jagung dan kentang, sejalan dengan ditemukannya pupuk kimia, membantu mengakhiri wabah kelaparan di Eropa. Kota-kota yang terus berkembang pada mulanya masih tetap merupakan kawasan kumuh penyebar penyakit, tetapi sejak pertengahan abad ke-19, saluran pembuangan mulai mengalirkan limbah manusia menjauhi sumber air minum yang kemudian disaring dan diklorinasi; hal itu secara dramatis mengurangi penyebaran kolera dan tifus.