Secara intelektual, saya sudah lama memahami soal ledakan penduduk. Secara emosional, saya memahaminyapada suatu malam yang panas di Delhi dua tahun silam … Suhu udara jauh di atas 100 [sekitar 40 derajat Celsius] dan udara dipenuhi debu dan asap. Jalanan tampak hidup oleh manusia yang lalu-lalang. Orang sedang makan, orang sedang mencuci, orang sedang tidur. Orang bertamu, berdebat, dan berteriak. Orang mengulurkan tangan melalui jendela taksi, mengemis. Orang buang air besar dan kecil. Orang bergelantungan di bus. Orang menggembalakan ternak. Orang, orang, orang, orang.—Paul Ehrlich
Pada 1966 itu, ketika Ehrlich tengah naik taksi, penduduk India berjumlah setengah miliar jiwa. Sekarang jumlahnya 1,2 miliar. Penduduk Delhi bahkan bertambah lebih cepat lagi, menjadi sekitar 22 juta karena gelombang pendatang membanjir dari kota kecil serta pedesaan, dan semuanya menjejali kawasan “kota gubug” yang terus membengkak itu. Awal Juni silam di kota panas yang berbau busuk tersebut, musim hujan belum tiba untuk membasuh debu dari daerah pembangunan yang tak terhitung banyaknya, yang hanya menambah banyak debu yang berhembus dari gurun Rajasthan. Di jalan-jalan raya baru yang terbagi dua, yang menggiring orang memasuki kota tak terencana itu, gerobak sapi berjalan ke arah yang salah di jalur cepat. Keluarga-keluarga yang terdiri atas empat orang meluncur di atas sepeda motor, selendang perempuan berkibar-kibar seperti bendera, anak balita bergelantungan di lengan ibunya. Keluarga yang terdiri atas belasan orang berdesakan seperti ikan sarden di dalam bemo berwarna kuning-hitam yang berisik, yang dirancang untuk dua penumpang. Di jalanan yang macet, pengemis berkaki satu dan anak kecil bertubuh kurus kering meratap-ratap meminta derma. Delhi masa kini tumbuh berbeda dengan kota yang pernah dikunjungi Ehrlich, namun juga boleh dikatakan tetap sama.
Di Rumah Sakit Lok Nayak, di tepi jalanan kecil kawasan yang semrawut dan padat manusia yakni Old Delhi, gelombang manusia mengalir memasuki gerbang setiap pagi dan kerumunan orang memenuhi lantai lobi. “Siapakah yang menyaksikan ini yang tidak mengkhawatirkan populasi India?” tanya dokter bedah Chandan Bortamuly di suatu siang sambil berjalan menuju klinik vasektomi. “Populasi adalah masalah kami yang terbesar.” Sambil melepaskan gembok dari pintu klinik, Bortamuly melangkah masuk ke kamar operasi yang kecil. Di dalamnya, dua lelaki berbaring terlentang di tempat tidur untuk diperiksa, buah zakar mereka menonjol di atas lubang pada kain berwarna hijau. Kipas angin di langit-langit mengembuskan udara sejuk dari dua unit AC di kamar.!break!
Bortamuly berada di garis depan pertempuran yang sudah berlangsung di India selama hampir 60 tahun. Pada 1952, hanya lima tahun setelah meraih kemerdekaannya dari Inggris, India menjadi negara pertama yang menetapkan kebijakan pengendalian penduduk. Sejak itu, pemerintah India telah berkali-kali menetapkan sasaran yang ambisius—dan berulang kali pula gagal memenuhinya. Kebijakan nasional yang dianut pada 2000 menargetkan India mencapai angka kelahiran 2,1 pada 2010 dan ternyata target tersebut tidak akan tercapai setidaknya satu dasawarsa lagi. Dalam proyeksi moderat yang disampaikan PBB, penduduk India akan meningkat hingga lebih dari 1,6 miliar pada 2050. “Yang tak terelakkan adalah bahwa India akan melebihi China pada 2030,” kata AR Nanda, mantan kepala Yayasan Kependudukan India, sebuah kelompok penasihat. “Hanya malapetaka besar, bencana nuklir, dan sejenis itu sajalah yang dapat mengubahnya.”
Sterilisasi adalah bentuk pengendalian kelahiran yang dominan di India dewasa ini dan sebagian besar dilaksanakan terhadap kaum perempuan. Pemerintah sedang berusaha mengubah hal tersebut; vasektomi tanpa pisau bedah memerlukan biaya jauh lebih kecil dan lebih mudah dilakukan pada lelaki dibandingkan dengan pengikatan saluran Fallopia pada perempuan. Di kamar operasi, Bortamuly bekerja dengan cepat. “Tusukan jarum rasanya seperti gigitan semut,” dia menjelaskan ketika pasien pertama meringis saat disuntik obat anestetik lokal. “Setelah itu, boleh dikatakan tindakan pembedahan ini tidak terasa sakit dan tidak berdarah.” Dengan menggunakan ujung runcing alat tang, Bortamuly membuat lubang kecil di kulit skrotum, lalu menarik saluran vas deferens berupa tali putih berbentuk huruf U—saluran sperma dari buah zakar kanan si pasien. Dia mengikat kedua ujung tali berbentuk U itu dengan benang hitam halus, memotong kedua ujung itu, lalu memasukkannya kembali ke bawah kulit. Dalam waktu kurang dari tujuh menit—seorang perawat mencatat waktunya—pasien sudah berjalan keluar ruangan tanpa dipasangi apa-apa, bahkan juga tidak perlu diplester dengan tensoplas. Pemerintah akan member si pasien insentif sebesar 1.100 rupee (sekitar Rp250.000), upah seminggu yang biasa diterima seorang buruh.
Pemerintah India pernah menggalakkan vasektomi ketika kecemasan akan ledakan penduduk tengah memuncak pada 1970-an. Perdana Menteri Indira Gandhi dan putranya Sanjay menggunakan dekrit negara-dalam-keadaan-darurat untuk memaksakan peningkatan dramatis dalam pelaksanaan sterilisasi. Dari 1976 hingga 1977 jumlah operasi tersebut berlipat tiga, mencapai lebih dari delapan juta. Lebih dari enam juta di antaranya adalah vasektomi. Petugas program keluarga berencana ditekan untuk memenuhi kuota; di beberapa negara bagian, sterilisasi menjadi persyaratan untuk menerima rumah baru atau tunjangan pemerintah lainnya. Dalam beberapa kasus, polisi cukup mengumpulkan orang miskin dan menggiring mereka ke klinik sterilisasi. Tindakan yang berlebihan itu menyebabkan seluruh konsep keluarga berencana menyandang nama buruk. “beberapa pemerintahan selanjutnya tidak mau menyentuh perkara itu lagi,” ujar Shailaja Chandra, mantan ketua National Population Stabilisation Fund (NPSF). Namun, tetap saja angka kelahiran di India menurun, meski tidak secepat di Cina yang menukik sangat tajam bahkan sebelum kebijakan satu-anak yang kejam itu dilaksanakan. Angka rata-rata nasional di India sekarang adalah 2,6 anak per seorang perempuan, penurunan lebih dari 50 persen jika dibandingkan saat kunjungan Ehrlich dulu. Bagian selatan negara itu dan beberapa negara bagian di sebelah utara sudah berhasil mencapai angka keseimbangan atau lebih kecil lagi.
Di Kerala, pesisir barat daya India, investasi dalam bidang kesehatan dan pendidikan ikut menurunkan angka kelahiran hingga mencapai 1,7. Kuncinya, begitu kata para ahli demografi di sana, adalah angka melek huruf kaum perempuan: angkanya sekitar 90 persen, jelas yang tertinggi di India. Anak gadis yang bersekolah mulai melahirkan anak di usia yang lebih matang dibandingkan dengan anak gadis yang tidak bersekolah. Mereka lebih mudah menerima kontrasepsi dan cenderung lebih memahami pilihan mereka tentang metode keluarga berencana.!break!
Sampai sejauh ini pendekatan tersebut, yang disajikan sebagai model di ajang internasional, belum populer di sejumlah negara bagian di India utara—di kawasan “sabuk Hindi” yang terentang melintasi negeri, tidak jauh di selatan Delhi. Hampir separuh pertumbuhan penduduk India terjadi di Rajasthan, Madhya Pradesh, Bihar, dan Uttar Pradesh, dan di kawasan itu angka kelahiran masih bertengger antara tiga dan empat anak per seorang perempuan. Lebih dari separuh perempuan di kawasan sabuk Hindi buta huruf dan banyak yang sudah menikah saat usianya masih jauh di bawah usia yang sah untuk menikah, yakni 18 tahun. Mereka meraih status sosial dengan memiliki anak—dan tidak berhenti sampai memiliki sekurang-kurangnya seorang anak lelaki.
Sebagai alternatif model Kerala, ada yang menunjuk ke negara bagian Andhra Pradesh di selatan; di sana “tenda” sterilisasi—kamar operasi darurat yang sering dibangun di sekolah-sekolah—diperkenalkan pada 1970-an dan angka sterilisasi masih tetap tinggi ketika rumah sakit yang kemudian diperbaiki menggantikan tenda sterilisasi. Dalam kurun waktu satu dasawarsa yang dimulai pada awal 1990-an, angka kelahiran mulai turun dari sekitar tiga menjadi kurang dari dua. Tidak seperti di Kerala, separuh dari semua perempuan di Andhra Pradesh tetap buta huruf.
Amarjit Singh, direktur pelaksana NPSF saat ini, memperhitungkan bahwa jika keempat negara bagian terbesar di sabuk Hindi menerapkan model Andhra Pradesh, mereka bisa menepis 40 juta kelahiran—dan penderitaan yang berat. “Karena 40 juta bayi dilahirkan, 2,5 juta anak meninggal,” ujar Singh. Menurut pendapatnya, jika seluruh India melaksanakan program bermutu tinggi untuk menggalakkan sterilisasi, di rumah sakit dan bukan di tenda, penduduk negara itu bisa berjumlah 1,4 miliar jiwa pada 2050. bukan 1,6 miliar.
Para pengecam model Andhra Pradesh, misalnya Nanda dari Yayasan Kependudukan, mengatakan bahwa warga India memerlukan perawatan kesehatan yang lebih baik, terutama di daerah pedesaan. Mereka menentang target angka yang menekan pegawai negeri untuk mensterilisasi orang atau insentif uang tunai yang mendistorsi pilihan suami-istri tentang jumlah anak. “Itu adalah keputusan pribadi,” kata Nanda.!break!
Di sejumlah kota di India dewasa ini, banyak pasangan suami istri mengambil pilihan yang sama dengan rekan mereka di Eropa atau Amerika. Sonalde Desai, pejabat senior di New Delhi’s National Council of Applied Economic Research, memperkenalkan saya kepada lima wanita karier di Delhi yang menghabiskan sebagian besar gaji mereka untuk membayar uang sekolah swasta dan guru les; masing-masing punya satu atau dua anak dan tidak berencana punya anak lagi. Dalam survei nasional terhadap 41.554 rumah tangga, tim Desai mengidentifikasi kelompok kecil perintis yang semakin membesar, yang terdiri atas sejumlah keluarga beranak tunggal. “Kami benar-benar tercengang menyaksikan tekanan yang dibebankan para orang tua ini kepada anak mereka,” katanya. “Tiba-tiba saja kita jadi mengerti—itulah sebabnya angka kelahiran menurun.” Anak-anak India rata-rata berpendidikan lebih baik dibandingkan dengan orang tua mereka.