Menaklukkan Sebuah Gua Tak Berujung

By , Selasa, 28 Desember 2010 | 15:27 WIB

"Melewati cakar anjing, awas ada dinosaurus," kata sebuah suara dari dalam kegelapan. Aku mengenali aksen Inggris Jonathan Sims yang tegas tetapi tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan. Lampu di helmku menyorotinya, dengan cambang lebat berwarna abu-abu melingkar keluar dari helm bututnya, ia duduk sendirian di dalam kelam di dekat dinding gua.

"Lanjutkan, bung," erang Sims. "Hanya mengistirahatkan pergelangan kakiku yang nyeri."

Kami berdua telah menyeberangi sungai bawah tanah Rao Thuong yang bergemuruh dengan menggunakan tali dan mendaki bilah dinding batu kapur setinggi 6 meter hingga mencapai tumpukan pasir. Aku meneruskan perjalanan sendirian, mengikuti sorot lampu helm menyusuri jejak kaki berusia satu tahun lamanya. Pada musim semi tahun 2009, Sims merupakan salah seorang anggota ekspedisi pertama yang masuk ke dalam Hang Son Doong, atau "gua sungai gunung," di sebuah daerah terpencil di Vietnam tengah. Tersembunyi di dalam Taman Nasional Phong Nha-Ke Bang yang liar di dekat perbatasan dengan Laos, gua itu merupakan bagian dari jaringan 150 atau lebih gua, banyak di antaranya yang belum dijelajahi, di Pegunungan Annamite.

Selama ekspedisi pertama, tim menjelajahi Hang Son Doong sepanjang empat kilometer sebelum dinding kalsit berlumpur setinggi 60 meter menghentikan langkah mereka. Mereka menamakannya Tembok Besar Vietnam. Di atasnya, mereka bisa melihat dengan samar celah terbuka dan secercah cahaya, tetapi mereka tidak tahu ada apa di sisi lain. Setahun kemudian, mereka kembali lagi - tujuh penjelajah gua Inggris militan, beberapa ilmuwan, dan serombongan kuli—untuk memanjat dinding, bila hal itu bisa dilakukan, mengukur panjang lorong dan meneruskan perjalanan, jika memungkinkan, hingga mencapai ujung gua tersebut.

Jalur itu menghilang di hadapanku ditelan reruntuhan—batu sebesar bangunan yang jatuh dari langit-langit dan menghantam lantai gua. Aku mendongakkan kepala namun tinggi gua itu menelan cahaya lampu helmku yang kecil, seolah-olah aku sedang menatap langit malam tanpa bintang. Aku sudah diberitahu bahwa kini aku sedang berada di dalam ruangan yang cukup besar untuk memarkir sebuah pesawat Boeing 747, tapi saya tidak bisa memastikannya; kegelapan terasa bagaikan kantong tidur yang dikatupkan di sekeliling kepala.!break!

Saya mematikan lampu hanya untuk merasakan pekatnya kegelapan itu. Pada awalnya tidak terasa apa-apa. Namun saat mata saya mulai bisa menyesuaikan, saya terkejut saat melihat cahaya samar-samar di depan. Saya berhati-hati berjalan melalui puing-puing, hampir berlari akibat kegairahan, batu-batuan berhamburan di bawah kaki  dan menggema di dalam ruangan yang tidak kasatmata itu. Naik melintasi sebuah lereng curam, saya membelok di sebuah punggungan, seakan-akan sedang berada di lereng gunung dan langkah saya terhenti.

Sorotan sinar matahari menghunjam ke dalam gua bagaikan air terjun. Lubang di langit-langit yang dilalui cahaya itu ternyata luar biasa besarnya, setidaknya memiliki diameter sepanjang 90 meter. Cahaya itu, menyorot jauh ke dalam gua, untuk pertama kalinya mengungkapkan dimensi yang sangat mengejutkan dari Hang Son Doong. Ruang gua ini mungkin memiliki lebar 90 meter, langit-langit setinggi hampir 240 meter: cukup besar untuk menempatkan seluruh blok New York City yang terdiri dari sejumlah bangunan setinggi 40 lantai. Bahkan tampak awan tipis di dekat langit-langit.

Cahaya yang menyorot dari atas mengungkap menara kalsit dari lantai gua yang menjulang lebih dari 60 meter tingginya, diselimuti oleh pakis, palem, dan tanaman hutan lainnya. Stalaktit bergantung di sekeliling lubang di langit-langit yang luas bagaikan tetesan es yang membatu. Akar menggantung beberapa ratus meter dari permukaan; Burung layang-layang menukik dan melesat di bawah kolom cahaya matahari yang benderang. Tablo itu bisa saja dibuat oleh seorang seniman yang membayangkan bagaimana dunia terlihat jutaan tahun yang lalu. Jonathan Sims menyusul saya. Di antara kami dan gua yang diterangi matahari di depan berdiri sebuah stalagmit yang dari samping menyerupai cakar anjing.

"Tangan Tuhan sepertinya terlalu klise," katanya, menunjuk pada formasi itu. "Tapi Cakar Anjing cukup cocok, bukan begitu? "

Dia mematikan lampu di helmnya dan mengalihkan beban tubuh dari pergelangan kakinya yang sakit.!break!

"Ketika kami pertama kali tiba di dolina yang runtuh itu, lubang di langit-langit sana, saya sedang bersama dengan seorang penelusur gua lainnya dan kami berdua sama-sama memiliki anak berusia empat tahun, jadi kami ahli dalam dunia dinosaurus, dan pemandangan itu mengingatkan kami kepada sesuatu yang keluar dari novel Sir Arthur Conan Doyle, The Lost World," katanya. "Ketika partner saya menjelajahi daerah yang terkena sorotan matahari, saya menyuruhnya untuk 'awas, ada dinosaurus,' dan nama itu pun menempel sejak saat itu."

Dua dekade yang lalu, pemimpin ekspedisi ini, Howard Limbert dan istrinya, Deb, menjadi penelusur gua pertama yang mengunjungi Vietnam sejak tahun 1970-an. Saat itu, gua-gua di negara ini cukup legendaris tapi belum pernah ditelusuri. Pada 1941, Ho Chi Minh telah merencanakan revolusi melawan Jepang dan Prancis di Gua Pac Bo, sebelah utara Hanoi, dan selama Perang Vietnam ribuan warga Vietnam bersembunyi dari serangan bom Amerika di dalam gua-gua ini.

Pasangan Limbert, penjelajah gua berpengalaman dari lembah Yorkshire di Inggris utara, menghubungi University of Science di Hanoi dan, setelah memperoleh setumpuk izin, melakukan sebuah ekspedisi pada tahun 1990. Sejak saat itu mereka telah melakukan 13 ekspedisi, tidak hanya menemukan salah satu gua sungai terpanjang di dunia—Hang Khe Ry sepanjang 19 kilometer, tidak jauh dari Son Doong—tapi juga membantu bangsa Vietnam menciptakan Taman Nasional Phong Nha-Ke Bang seluas 857,5 kilometer persegi, yang sekarang menarik seperempat juta warga Vietnam dan pengunjung asing setiap tahunnya. Wisatawan, yang secara dramatis meningkatkan pendapatan penduduk desa, datang untuk melihat isi gua, Hang Phong Nha, yang telah diterangi oleh para pekerja bagaikan konser rock dengan lampu berwarna warni.

Karena hutan yang padat, pasangan Limbert mungkin tidak akan pernah menemukan gua itu tanpa bantuan dari penduduk setempat. "Bapak Khanh telah bersama kami sejak awal," ujar Howard, menganggukkan kepala kepada pria kurus yang sedang merokok di samping api unggun. Kami berjongkok di sekeliling api tepat di jalan masuk menuju Hang En, terowongan sepanjang satu setengah kilometer yang terdapat di bawah serangkaian gunung menuju dunia yang yang hilang. "Tidak mungkin melakukan semua ini tanpa bantuannya," kata Howard. Pasangan Ho Khanh tinggal di desa tetangga. Ayahnya tewas dalam perang, memaksa Khanh pada usia muda untuk mengurus dirinya sendiri di dalam hutan. Selama sekian tahun lamanya dia berburu di seluruh perbatasan negara ini, mencari perlindungan di dalam sejumlah gua saat turun hujan, atau dihujani bom.!break!

"Butuh tiga ekspedisi untuk menemukan Hang Son Doong," ujar Howard. "Khanh menemukan pintu masuk sewaktu kecil tetapi sudah lupa tempatnya. Dia baru saja menemukannya kembali tahun lalu."

Rumpunan bambu dan tanaman lainnya menutupi gundukan batu kapur, membuat tempat itu tidak bisa ditembus. Di bawah tanah, bagian dari Vietnam ini terdiri dari sebuah blok kapur yang sangat besar, kata Darryl Granger, seorang ahli geomorphologi dari Universitas Purdue. "Seluruh daerah menyeruak ke atas ketika sub-benua India menghantam benua Eurasia 40 sampai 50 juta tahun yang lalu,” ujarnya. Hang Son Doong terbentuk dua sampai lima juta tahun yang lalu, ketika air sungai yang mengalir di atas batu kapur menembus patahan, menciptakan terowongan raksasa di dalam pegunungan. Di berbagai tempat di mana gugus batu kapur cukup rapuh, langit-langit runtuh ke dalam gua, menciptakan lubang di langit-langit berukuran raksasa.

Anette Becher, seorang penjelajah gua dan ahli biologi Jerman, telah menemukan kutu kayu, ikan, dan kaki seribu berwarna putih, yang biasanya ditemui di habitat dalam kegelapan. Selain itu, Dai Inh Vu, seorang ahli botani dari Akademi Sains dan Teknologi Vietnam, yang telah mengidentifikasi tanaman yang tumbuh di bawah lubang cahaya, menyimpulkan bahwa pada dasarnya tanaman ini sama dengan yang tumbuh di hutan di atasnya. Tetapi ilmu pengetahuan semacam ini bukanlah fokus utama dari ekspedisi ini, yang bertujuan untuk melakukan eksplorasi. Untuk penjelajah gua seperti pasangan Limbert, menemukan sebuah gua sebesar Hang Son Doong bagaikan menemukan Gunung Everest di bawah tanah yang belum pernah diketahui sebelumnya. "Kami hanya baru menemukan permukaannya saja, " kata Howard tentang taman nasional, yang diangkat menjadi situs Warisan Dunia pada tahun 2003 berkat hutan dan gua-guanya. "Ada sedemikian banyak hal yang harus dilakukan."

Ketika Howard dan Deb pertama kali melihat ruangan raksasa ini, mereka merasa yakin telah menemukan gua terbesar di seluruh dunia—dan mereka mungkin benar. Masih ada gua yang lebih panjang dibandingkan Hang Son Doong sistem Gua Mammoth di Kentucky, dengan panjang 590 kilometer, yang memegang rekor itu. Ada gua-gua yang jauh lebih dalam - Krubera-Voronja, "gua gagak," dengan kedalaman 2.191 meter di Pegunungan Kaukasus di Georgia barat. Namun untuk gua raksasa, tidak banyak yang bisa dibandingkan dengannya. Pada saat penemuan Hang Son Doong oleh pasangan Limbert, gua terbesar saat itu adalah Gua Rusa di Taman Nasional Gunung Mulu Borneo Malaysia, yang baru-baru ini diukur memiliki panjang dua kilometer, lebar 150 meter, dan ketinggian 120 meter. Namun akhirnya para penjelajah menyimpulkan, dengan menggunakan instrumen laser yang akurat, Hang Son Doong, lebih panjang 4 kilometer dengan serangkaian lorong yang memiliki lebar 90 meter dan, serta di beberapa tempat, memiliki ketinggian hampir 200 meter.!break!

"Kami sebenarnya tidak sedang mencari gua terbesar di dunia," kata Deb. Namun dia senang bahwa ketenaran baru gua itu mungkin bisa memperbaiki kehidupan penduduk desa setempat.

Setelah lima hari mendaki, memanjat, dan merangkak, ekspedisi itu baru setengah jalan ke dalam gua. Menghitung semua penjelajah gua, ilmuwan, kru film dan fotografi, dan kuli, maka kami adalah sebuah tim dengan anggota lebih dari dua lusin orang, yang sepertinya telah memperlambat jalan. Selain itu, keadaan akan semakin berbahaya saat mendaki reruntuhan di daerah Awas Ada Dinosaurus: Tergelincir saat menginjak batu-batuan yang licin bisa berarti jatuh meluncur lebih dari 30 meter dalamnya.

Ketika kami mencapai lubang cahaya berikutnya, Taman Edam (istilah konyol lainnya), lubang itu tampak lebih besar dari yang pertama, hampir selebar atap Superdome di New Orleans. Di bawah lubang itu tampak tumpukan reruntuhan lain dengan hutan terdiri dari pohon setinggi 30 meter, akar gantung, dan jelatang. Saat waktu dan persediaan kami mulai menipis, Howard memutuskan sudah saatnya untuk mengirim tim pendahulu menuju Tembok Besar Vietnam, untuk melihat apakah ada jalan yang bisa dilalui. Dinding tersebut terletak lebih dari satu setengah kilometer jauhnya di ujung terowongan dengan bentuk seperti V dengan parit berisi air sedalam setengah meter di bagian bawahnya. Dinding lumpur, lengket seperti selai kacang, menjulang 12 meter di kedua sisi. Tidaklah mungkin untuk berjalan di dalam parit, kami pasti selalu tersandung. Pada saat mencapai dinding, kami akan tertutuplumpur sehingga akan terlihat bagaikan baru berenang di dalam puding cokelat. Para penjelajah gua menamakan bagian ini Passchendaele, mengikuti nama parit pertempuran pada Perang Dunia I, tempat sekutu kehilangan 310.000 tentara hanya untuk mendapatkan daerah sepanjang delapan kilometer di dekat desa Belgia, Ypres.

Memanjat dinding lumpur setinggi 60 meter mengandung resiko teknis yang besar sehingga membutuhkan orang yang benar-benar gila untuk melakukannya. Untungnya, Howard telah memilih Gareth "Sweeny” Sewell dan Howard Clarke sebagai tim pendahulu. Kedua orang itu telah bersama-sama menjelajah gua selama 20 tahun lamanya di dalam sejumlah lubang yang paling berbahaya di Inggris. Clarky adalah pedagang air mani banteng, dan Sweeny adalah spesialis hukum yang entah bagaimana telah meyakinkan istrinya bahwa mereka harus menjual satu-satunya mobil yang mereka miliki sehingga dia bisa terus melanjutkan ekspedisi menjelajahi gua.!break!

Hari pertama di dasar dinding, Clarky menjaga tali yang digunakan oleh Sweeny yang dengan gagah berani mulai memanjat ke atas, mengebor lubang demi lubang. Hampir semua lubang terlalu berongga untuk menahan sekrup tempat digantungkannya tali.

Selama 12 jam mereka menceracau dengan ocehan Yorkshire-nya yang dihiasi sumpah serapah—"Dasar sampah yang ditutupi lumpur sialan," ujar Sweeny pada satu titik. Namun keduanya mengatakan apapun tentang bahaya yang sesungguhnya dari tugas tersebut. Bila salah satu sekrup berukuran 15 sentimeter itu terlepas maka tali yang digantungi Sweeny akan kehilangan tambatan dan kemungkinan besar semua sekrup di bawahnya akan lepas, mengirimkannya kepada kematian.

Pada hari kedua pendakian, setelah mendirikan bivak di dasar dinding untuk malam itu, Sweeny kembali ke titik tertinggi sebelumnya, Clarky kembali menjaga talinya. Tak lama kemudian deru bornya bergema di dalam kegelapan, Sweeny telah mendaki sedemikian tingginya sehingga kami hanya bisa melihat lampu helmnya secara samar. Pada pukul dua siang—tentu saja tidak masalah jam berapa sekarang, saat kegelapan menyelimuti 24 jam 7 hari lamanya--setelah mengebor lubang dan mendaki lebih tinggi selama 20 jam, Sweeny pada akhirnya menghilang ke atas dinding dan beberapa menit kemudian kami mendengar: "AAIIOOOOO!!"

Clarky menjadi orang berikut yang memanjat tali,  kemudian berteriak kepadaku, kata-katanya memantul di dalam gua: "Nah, kamu mau naik atau bagaimana? "

Di puncak Tembok Besar Vietnam kami benar-benar dapat melihat cahaya di ujung terowongan dan mulai berteriak sekeras mungkin. Setelahnya, anggota ekspedisi yang lain memberitahu kami bahwa teriakan kami terdengar lebih dari satu kilometer jauhnya di gua. Pengukuran yang dilakukan di puncak dinding menunjukkan bahwa jarak dari dasar Passchendaele ke langit-langit hampir 200 meter tingginya. Kini hanya kami bertiga yang melakukan penjelajahan. Tidak ada seorang pun manusia yang pernah ke sini sebelumnya. Kami meluncur turun di bagian belakang Tembok Besar itu dan mulai menaiki tangga batu menuju pintu keluar.!break!

"Coba kalian lihat ini!" Seru Clarky, berlutut di samping sebuah kolam kering. Sweeny dan aku berjongkok di sekelilingnya. Di dalam kolam renang, diterangi oleh lampu helm kami, tampak mutiara gua.

Mutiara gua terbentuk ketika setetes air dari langit-langit menghantam lantai batu kapur dan memecahnya menjadi butiran-butiran kecil. Butiran ini bertubrukan di dalam cangkir kecil batu setiap kali setetes air menghantamnya. Setelah proses selama ribuan tahun, terciptalah mutiara kalsit berbentuk hampir bulat sempurna.

Mutiara gua cukup langka dan di kebanyakan gua berukuran tidak lebih besar dari kelereng. Mutiara gua di dalam gua ini sebesar ukuran bola baseball, lebih besar dari mutiara mana pun yang pernah dilihat penjelajah gua lainnya. (Ukuran mereka yang luar biasa mungkin disebabkan karena jarak jatuh air dari langit-langit yang sangat tinggi.)

"Dengan ini saya membaptis lorong ini sebagai Pearl Harbor," ujar Clarky mengumumkan.

Dua puluh menit kemudian kami kembali mendaki dan keluar dari gua. Hujan deras turun membasahi hutan. Kami membuka jalan cukup jauh ke dalam hutan agar bisa melihat cakrawala dan menentukan bahwa ini bukan hanya sekadar lubang langit lainnya tetapi kami telah menemukan ujung Hang Son Doong. Sweeny dan Clarky terlalu rendah hati untuk dengan terbuka menyatakan bahwa kami baru saja menyelesaikan penjelajahan pertama melalui lorong yang mungkin menjadi gua terbesar di seluruh dunia.