Evolusi Bulunggas

By , Rabu, 26 Januari 2011 | 17:09 WIB

Sebagian besar orang tidak memiliki kesempatan untuk menyaksikan keajaiban alam secara langsung. Kita tidak akan melihat sedikit pun mata cumi-cumi raksasa yang sebesar bola basket. Namun, ada satu keajaiban alam yang dapat dilihat oleh hampir semua orang, tinggal melangkah ke luar rumah: dinosaurus yang menggunakan bulunya untuk terbang.

Burung begitu lazim di mana-mana, sehingga kita mudah mengabaikan darah dinosaurusnya dan bulu unik yang membuatnya bisa terbang. Untuk menahan gaya udara, bulunggas terbang berbentuk asimetris, tepi depan tipis dan kaku, sementara tepi belakang panjang dan fleksibel. Untuk menghasilkan gaya angkat, burung tinggal memutar sayap, mengatur aliran udara di bawah dan di atasnya.

Sayap pesawat menggunakan trik aerodinamika yang sama. Akan tetapi, sayap burung jauh lebih canggih. Poros bulunggas di tengah ditumbuhi serangkaian ruit ramping, setiap ruit ditumbuhi anak ruit (barbul), seperti ranting yang tumbuh di dahan, dilengkapi dengan kait kecil. Ketika kait ini mencantol ke kait anak ruit di sampingnya, terciptalah jaringan struktural yang sangat ringan tetapi luar biasa kuat. Ketika burung menyelisik untuk membersihkan bulunya, ruit ini memisah dengan mudah, lalu kembali bercantum seperti semula.

Asal-usul mekanisme menakjubkan ini merupakan salah satu misteri evolusi yang paling bertahan lama. Pada 1861, hanya dua tahun setelah Darwin menerbitkan Origin of Species, pekerja tambang di Jerman menemukan fosil spektakuler burung seukuran gagak yang dinamai Archaeopteryx, yang hidup sekitar 150 juta tahun lalu. Hewan ini tidak saja memiliki bulunggas dan ciri khas lain burung masa kini, tetapi juga sisa-sisa keturunan reptil, seperti gigi dalam mulutnya, cakar pada sayapnya, dan ekor panjang yang bertulang. Seperti halnya fosil ikan paus berkaki, Archaeopteryx tampaknya mengabadikan suatu momen dalam metamorfosis evolusi yang penting. "Ini kasus besar bagi saya," aku Darwin kepada temannya.!break!

Kasus ini bisa lebih besar lagi andai saja ahli paleontologi dapat menemukan makhluk lebih purba dengan bulu yang lebih primitif—sesuatu yang tak berhasil mereka temukan selama hampir satu setengah abad berikutnya. Sementara itu, para ilmuwan lain berusaha menjelaskan asal mula bulunggas dengan meneliti sisik reptil modern, kerabat terdekat burung zaman sekarang. Baik sisik maupun bulunggas berbentuk datar. Jadi, mungkin sisik nenek moyang burung memanjang dari generasi ke generasi. Kemudian tepinya berjebai dan membelah, mengubahnya menjadi bulunggas sejati pertama.

Mungkin juga perubahan ini terjadi sebagai adaptasi untuk terbang. Bayangkan nenek moyang burung sebagai reptil kecil bersisik berkaki empat yang hidup di tajuk hutan, melompat dari pohon ke pohon. Jika sisiknya bertambah panjang, reptil ini akan memperoleh peningkatan gaya angkat, yang memungkinkan bakal-burung ini meluncur sedikit lebih jauh, kian lama kian jauh. Baru kemudian mungkin tangannya berevolusi menjadi sayap yang dapat digerakkan naik-turun, mengubah reptil ini dari peluncur menjadi penerbang yang sebenarnya. Singkat kata, evolusi bulunggas terjadi seiring dengan evolusi penerbangan.

Konsep bulunggas-menyebabkan-kemampuan-terbang ini mulai berkembang pada 1970-an, ketika ahli paleontologi Yale University John Ostrom menyadari kesamaan mencolok antara kerangka burung dan dinosaurus darat yang disebut theropoda, kelompok yang mencakup monster terkenal seperti Tyrannosaurus rex dan Velociraptor. Jelas, menurut Ostrom, burung adalah keturunan theropoda. Namun, kebanyakan theropoda memiliki kaki besar, lengan pendek, dan ekor yang besar panjang—tidak mirip dengan anatomi makhluk yang diperkirakan melompat dari pohon ke pohon. !break!

Pada tahun 1996 para pakar paleontologi Tiongkok mengajukan dukungan mengejutkan bagi hipotesis Ostrom. Mereka menemukan fosil theropoda kecil berlengan pendek yang berumur 125 juta tahun, Sinosauropteryx, yang memiliki satu fitur yang luar biasa: lapisan filamen tipis berongga yang meliputi punggung dan ekornya. Akhirnya ada bukti bulunggas primitif sejati—yang ditemukan pada theropoda darat. Singkatnya, asal mula bulunggas mungkin tidak berkaitan dengan asal mula kemampuan terbang.

Tak lama kemudian para ahli paleontologi menemukan ratusan theropoda berbulunggas. Dengan begitu banyak fosil yang dapat dibandingkan, mereka mulai menyusun sejarah bulunggas yang lebih terperinci. Pertama muncul filamen sederhana. Kemudian, berbagai keturunan theropoda mengembangkan berbagai jenis bulunggas, beberapa menyerupai bulu kapas pada burung masa kini, beberapa memiliki ruit yang simetris. Pada theropoda lainnya berkembang filamen lebar atau pita kaku panjang, tidak mirip dengan bulu burung mana pun yang ada saat ini.

Filamen panjang berongga pada theropoda ini mengundang pertanyaan. Jika ini merupakan bulunggas awal, bagaimana proses evolusinya dari sisik datar? Untungnya, di masa kini masih ada theropoda dengan bulu tipis: anak burung. Semua bulunggas pada anak burung awalnya berupa bulu kejur (keras, kaku) yang tumbuh di kulitnya, baru kemudian bulu itu terbelah menjadi bentuk yang lebih kompleks. Pada embrio burung, bulu kejur muncul dari petak kecil sel kulit yang disebut plakod (placodes). Sel-sel yang membentuk cincin yang tumbuh cepat di bagian atas plakod membentuk dinding silinder yang menjadi bulu kejur.

Reptil juga memiliki plakod. Namun, pada embrio reptil setiap plakod mengaktifkan gen yang menyebabkan hanya sel kulit di tepi belakang plakod yang tumbuh, yang akhirnya membentuk sisik. Pada akhir 1990-an Richard Prum dan Alan Brush mengembangkan gagasan bahwa transisi dari sisik ke bulu mungkin tergantung pada sakelar sederhana pada rangkaian perintah genetis dalam plakod, yang menyebabkan selnya tumbuh secara vertikal dari kulit alih-alih horizontal. Setelah kemunculan filamen pertama, hanya perlu modifikasi kecil untuk menghasilkan bulu yang jauh lebih rumit.!break!

Sampai baru-baru ini, diyakini bahwa bulunggas pertama muncul pada spesies awal dalam silsilah theropoda yang kemudian menurunkan burung. Namun, pada tahun 2009, para ilmuwan Tiongkok mengumumkan penemuan makhluk yang berbulu kejur di punggungnya, Tianyulong, termasuk cabang Ornithischia dalam silsilah dinosaurus—sangat jauh kekerabatannya dengan theropoda. Hal ini memunculkan kemungkinan menakjubkan bahwa leluhur semua dinosaurus punya bulunggas mirip rambut yang kemudian hilang pada sebagian spesies dalam evolusi. Asal mula bulunggas dapat ditarik lebih ke belakang jika "rambut kalong" yang ditemukan pada beberapa pterosaurus ternyata bulunggas, karena reptil terbang ini dan dinosaurus memiliki kesamaan leluhur yang lebih tua lagi.

Bahkan, ada kemungkinan lain yang lebih mencengangkan. Kerabat terdekat burung, dinosaurus, dan pterosaurus yang masih ada saat ini adalah buaya. Meskipun binatang bersisik ini sekarang jelas tidak punya bulunggas, penemuan gen buaya yang sama dengan gen burung yang terlibat dalam menumbuhkan bulunggas menunjukkan bahwa mungkin leluhur keduanya memiliki bulunggas, 250 juta tahun lalu, sebelum keluarga ini terpecah. Jadi, menurut beberapa ilmuwan, mungkin pertanyaan yang harus diajukan bukanlah bagaimana burung mendapatkan bulunggasnya, tetapi bagaimana buaya kehilangan bulunya.

Jika bulunggas awalnya tidak berkembang untuk terbang, apa keuntungan lain yang bisa diberikannya bagi makhluk yang memilikinya? Beberapa pakar paleontologi berpendapat bahwa mungkin awalnya bulu berfungsi sebagai penghangat tubuh.

Hipotesis lain yang semakin populer beberapa tahun terakhir: bahwa bulunggas awalnya berevolusi agar dilihat. Bulu burung saat ini sangat beragam warna dan polanya, dengan kilau warna-warni serta garis-garis dan bintik cerah. Dalam beberapa kasus, keindahannya berfungsi untuk memikat lawan jenis. Misalnya, merak membentangkan ekornya yang warna-warni untuk menarik sang betina. Kemungkinan bahwa bulunggas berkembang pada theropoda sebagai hiasan mendapat dukungan besar pada 2009, ketika para ilmuwan mulai meneliti strukturnya dengan lebih saksama. Mereka menemukan kantong mikroskopis di dalam bulunggas, disebut melanosom, yang bentuknya sama persis dengan struktur-struktur yang terkait dengan warna-warna tertentu pada bulu burung zaman sekarang. Melanosom itu terawetkan dengan sangat baik sehingga para ilmuwan benar-benar dapat merekonstruksi warna bulunggas dinosaurus. Ekor Sinosauropteryx, misalnya, tampaknya memiliki garis putih dan kemerahan.!break!

Apa pun tujuan awalnya, bulunggas mungkin sudah ada selama jutaan tahun sebelum salah satu garis keturunan dinosaurus mulai menggunakannya untuk terbang. Sekarang para pakar paleontologi meneliti kerabat theropoda yang terdekat dengan burung secara cermat, guna mengungkap proses transisi ini. Salah satu temuan terbesarnya adalah spesies ajaib yang ditemukan baru-baru ini, Anchiornis, yang berusia lebih dari 150 juta tahun. Hewan ini seukuran ayam, memiliki bulunggas loreng hitam-putih di lengannya. Di atas kepalanya terdapat jengger merah karat yang mencolok. Dalam hal struktur, kecuali bentuknya yang simetris, bulunggas Anchiornis nyaris identik dengan bulunggas untuk terbang. Karena tidak memiliki tepi depan yang tipis dan kaku, sayap ini mungkin terlalu lemah untuk terbang.Namun, kelemahan bulu ini diimbangi dengan jumlahnya.

Anchiornis memiliki bulu yang sangat banyak dan lebat, yang tumbuh di tangan, kaki, dan bahkan jari kakinya. Ada kemungkinan bahwa seleksi seksual mendorong evolusi bulu yang luar biasa ini, sebagaimana hal itu menyebabkan evolusi ekor merak saat ini. Dan sama seperti ekor yang panjang dan berat menimbulkan masalah bagi burung merak, bulu Anchiornis yang berlebihan mungkin juga menjadi beban, dalam arti harfiah.

Corwin Sullivan dan rekan-rekannya di Lembaga Paleontologi dan Paleoantropologi Vertebrata di Beijing menemukan cara Anchiornis mengatasi masalah ini. Pada theropoda yang berkerabat dekat dengan burung zaman sekarang, ada tulang pergelangannya yang berbentuk baji, sehingga tangannya dapat ditekuk. Karena bentuk baji pada tulang pergelangannya, Anchiornis dapat melipat lengan ke samping, sehingga bulunggas di lengannya tidak menyentuh tanah saat berjalan. !break!

Burung modern menggunakan tulang yang sama untuk terbang, menarik sayap mendekati tubuh saat mengangkat sayap. Jika Sullivan dan koleganya benar, fitur penerbangan yang penting ini berevolusi jauh sebelum burung mulai terbang. Ini merupakan contoh yang disebut ahli-biologi-evolusi sebagai eksaptasi: menggunakan bagian tubuh yang lama untuk fungsi baru.

Proses terjadinya transisi terakhir terus menjadi bahan perdebatan hangat. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa dinosaurus berbulunggas mulai terbang dari tanah, mengepakkan tangan berbulunggasnya sambil berlari. Yang lain menolak gagasan ini, beralasan bahwa "sayap kaki" pada Anchiornis dan kerabat dekat burung yang lainnya tidak cocok untuk berlari. Para peneliti ini menghidupkan kembali ide lama bahwa bakal-burung menggunakan bulunggasnya untuk membantunya melompat dari pohon, meluncur, dan akhirnya terbang.

Naik dari tanah, turun dari pohon—mengapa tidak keduanya? Kemampuan terbang tidak berevolusi di dunia dua dimensi, pendapat Ken Dial, peneliti penerbangan. Dial membuktikan bahwa pada banyak spesies, anak burung mengepakkan sayap sederhananya untuk menambah tenaga saat melarikan diri dari ßpemangsa, menaiki tempat curam, seperti batang pohon dan tebing. Namun, mengepakkan sayap juga membantu menstabilkan anak burung itu saat harus kembali ke tempat yang lebih rendah.

Seiring waktu, anak burung itu perlahan mengubah turun terkendali seperti itu menjadi terbang bertenaga. Mungkin, ujar Dial, jalur perkembangan anak burung hingga dewasa mengikuti jalur evolusinya—coba-coba saja, sampai akhirnya bisa terbang