Di Bawah Paris

By , Rabu, 26 Januari 2011 | 17:19 WIB

Taksi itu meluncur pada Sabtu pagi. Jalan raya lengang, pertokoan tutup. Aroma roti hangat melayang dari toko kue. Di lampu lalu lintas, ada gerakan yang mengundang perhatian saya. Seorang pemuda berbaju monyet warna biru keluar dari lubang di trotoar. Rambutnya bergaya gimbal, dan di kepalanya ada lampu. Kemudian muncul seorang gadis, membawa lentera. Kakinya panjang dan ramping, celananya sangat pendek. Keduanya bersepatu bot karet, tercoreng lumpur cokelat muda, seperti dekorasi suku tradisional. Si pemuda mendorong tutup besi kembali menutupi lubang dan menggandeng tangan gadis itu, dan mereka berlari di jalan bersama-sama sambil tersenyum lebar.

Paris memiliki hubungan yang aneh dan mendalam dengan dunia bawah tanahnya, melebihi hampir semua kota lain, dan dunia bawah tanah tersebut merupakan salah satu yang terkaya. Ribuan kilometer terowongan yang membentuk jaringan selokan dan kereta bawah tanah tertua dan terpadat di dunia, hanyalah permulaan. Di kolong Paris ada aneka jenis ruang: kanal dan waduk, kuburan dan lemari besi bank, gudang anggur yang diubah menjadi kelab malam dan galeri. Yang paling mencengangkan adalah carrière—tambang batu gamping tua yang menyebar dalam jaringan yang luas dan rumit di bawah tanah banyak lingkungan, sebagian besar di bagian selatan metropolis tersebut.

Pada abad ke-19, gua dan terowongan itu ditambang untuk memperoleh batu bangunan. Pada Perang Dunia II, kaum pejuang Perlawanan Prancis—gerakan bawah tanah—bersembunyi di sebagian tambang batu itu; bangsa Jerman membangun bungker di sebagian tambang lain. Di masa kini, terowongan itu dijelajahi oleh kelompok rahasia yang berbeda, suatu komunitas bebas tanpa pemimpin, yang anggotanya kadang sampai berhari-hari berada di kolong kota. Mereka disebut katafil, orang yang mencintai bawah tanah Paris.

Tambang batu itu dinyatakan terlarang dimasuki sejak 1955, jadi katafil cenderung merupakan anak muda yang melarikan diri dari dunia permukaan dan peraturannya. Menurut katafil berpengalaman, dunia bawah tanah itu berkembang pada tahun 1970-an dan 80-an, ketika sifat pemberontak Paris tradisional bangkit kembali akibat budaya punk. Pada waktu itu turun ke bawah tanah lebih mudah, karena jalan masuk yang terbuka lebih banyak. Di tempat-tempat yang hanya diketahui mereka, para katafil berpesta, mementaskan pertunjukan, menciptakan karya seni, dan mengonsumsi obat. Kebebasan berkuasa di dunia bawah tanah, bahkan anarki.

Pada akhir 80-an pemerintah kota dan pemilik properti pribadi telah menutup sebagian besar jalan masuk, dan unit polisi elite mulai berpatroli di terowongan. Namun, mereka tidak berhasil memadamkan katafilia. Pasangan muda yang terlihat memanjat keluar dari lubang got pagi itu adalah katafil. Mungkin mereka sedang berkencan; sebagian lelaki yang menemani saya menjelajahi tambang batu bertemu calon istri mereka di terowongan, bertukar nomor telepon dengan cahaya lampu senter. Katafil adalah pemandu terbaik soal dunia bawah tanah Paris. Sebagian besar orang Paris hanya punya gambaran samar tentang luasnya, meski saat naik Métro, mereka mungkin meluncur di atas tulang-belulang leluhur mereka.!break!

KatakombaPhilippe Charlier meletakkan kantong plastik di atas kursi reyot dan menggosok tangan. Makam ini sejuk dan gelap. Kami dikelilingi orang mati, yang ditumpuk seperti kayu bakar, membentuk dinding tengkorak dengan lubang mata menganga dan gelumpai tulang paha. Charlier merogoh ke dalam kantong plastik, yang penuh tulang yang akan dipinjamnya dan menemukan lempeng depan tengkorak—sebuah wajah. Kami menatapnya. Di bawah lubang mata, tulangnya berlubang-lubang kecil dan melesak. Lubang hidungnya besar dan membulat. Charlier adalah ahli arkeologi dan patologi forensik di Université de Paris. “Ini tanda-tanda lepra tingkat lanjut,” katanya dengan ceria. Dia memberikan wajah itu kepada saya, dan merogoh lagi ke kantongnya. Saya ingin sabun antibakteri. Pada hari biasa, katakomba itu penuh bunyi—gema suara dan tawa gelisah wisatawan. Namun, hari ini makam tutup. Charlier dapat melihat-lihat tulang dengan tenang.

Sekitar enam juta orang Paris menghuni tempat ini, hampir tiga kali lipat populasi kota di atasnya. Pada abad ke-18 dan ke-19 kerangka tulang mereka dikeluarkan dari pemakaman yang terlalu sesak dan dituangkan ke dalam terowongan tambang batu tua. Sebagian tulang yang lebih baru berasal dari Revolusi Prancis; yang tertua mungkin berasal dari era Merovingia, lebih dari 1.200 tahun yang lalu. Semuanya tak bernama, tercerai-berai. Semua ciri khas pribadi telah terlupakan.

Namun, Charlier dapat mengetahui penggal-penggal kisah hidup dari tulang mereka: penyakit dan kecelakaan yang mereka derita, luka yang sembuh atau tidak, makanan yang disantap, praktik pembedahan mereka. Dari bawah sini Charlier dapat melihat rupa kehidupan mereka dulu semasa masih terkena sinar mentari. Dia mengaduk-aduk kantong.“Ah!” katanya, sambil menyipitkan mata menatap lesi di sebuah tulang belakang. “Demam Malta!”Demam Malta, atau bruselosis, menyerang orang yang bersentuhan dengan hewan yang terjangkit atau sekresi hewan itu, seperti susu.“Orang ini mungkin pembuat keju,” kata Charlier.Saya memandang terowongan. Kami berdiri di semacam perpustakaan; di sini ada sepuluh ribu cerita lagi seperti kisah si pembuat keju itu. Ketika Charlier naik Métro kembali ke kantornya, beberapa di antaranya akan berada dalam kantong plastik di kakinya.!break!

Inspektur"Mereka sudah menyiapkan sebuah lubang kecil untuk Anda,” kata inspektur itu sambil memegang pintu van. Dia menyeringai. “Anda akan menderita!” Dia menggeser pintu itu hingga tertutup.

Kami meluncur di jalan sepi pada suatu pagi musim semi yang hangat. Orang-orang berjalan kaki ke kantor di bawah tajuk hijau tua pohon sarangan. Di pinggiran kota Arcueil, sopir menepi di sebuah jalan yang ramai. Di pinggir jalan, rekan-rekannya sedang mengenakan baju monyet biru dan sepatu bot karet tinggi, memakai helm. Kami bergabung di dekat lubang got di bawah tanggul yang penuh sulur. Terowongan gelap menukik di kaki kami.

Satu demi satu anggota tim itu menyalakan lampu kepala dan menuruni tangga. Mereka dari Inspection Générale des Carrières, IGC. Tugas mereka adalah memastikan Paris tidak runtuh ke dalam tambang batu yang bertebaran di fondasi kota itu. Di dasar tangga, kami berjongkok di lorong sempit sementara Anne-Marie Leparmentier, ahli geologi, mengukur tingkat oksigen. Hari ini oksigennya banyak.

Kami memasuki lorong itu, membungkuk seperti monster bongkok di bawah langit-langit yang rendah. Tembok batu gamping itu berkeringat, dan air berkecipak di sekitar sepatu bot kami. Fosil makhluk laut lepas dari batu.

Paris modern berada di atas formasi batu gamping dan gips raksasa. Orang Romawi adalah bangsa pertama yang memanen batu itu; rumah pemandian, patung, dan arena mereka masih ada di Île de la Cité dan di Quartier Latin. Berabad-abad kemudian, kota Lutetia era Romawi menjadi Paris, penambang menggali semakin dalam dan luas, menambang bahan untuk gedung-gedung besar kota itu—Louvre, misalnya, dan Notre Dame. Tambang terbuka berevolusi menjadi jaringan galeri bawah tanah.

Pada mulanya semua tambang itu terletak jauh di luar perbatasan kota. Tetapi, seiring pertumbuhan kota itu, beberapa bagian meluas persis di atas terowongan lama itu. Perkembangan ini terjadi selama beberapa generasi dan tanpa disadari. Penambang bekerja dalam dunia tanpa peraturan—dunia cahaya obor, debu yang mencekik, dan kecelakaan akibat terowongan runtuh. Setelah menguras isi suatu tambang, mereka mengisinya dengan berangkal atau menelantarkannya begitu saja. Di permukaan, tak ada yang memerhatikan. Tak ada yang menyadari bahwa fondasi Paris menjadi berongga-rongga.!break!

Keruntuhan besar pertama terjadi pada Desember 1774, ketika sebuah terowongan yang tidak stabil terban, menelan rumah dan manusia di sepanjang jalan yang kini menjadi Avenue Denfert-Rochereau. Selama beberapa tahun berikutnya, lubang-lubang lain yang menganga membuat rumah ambruk ke dalam bumi. Raja Louis XVI menugasi arsitek Charles Axel Guillaumot untuk menjelajahi, memetakan, dan menstabilkan tambang batu itu. Perlahan-lahan regu-regu inspektur bekerja di tambang itu, memasang penopang. Untuk memudahkan pekerjaan, mereka menggali terowongan lagi untuk menghubungkan jaringan-jaringan yang terpencil. Pada waktu yang hampir bersamaan, ketika raja memutuskan untuk menutup dan mengosongkan salah satu pemakaman kota yang sesak dan membusuk, Guillaumot diminta menyimpan tulang-belulangnya di suatu tempat—maka sebagian tambang batu Paris dijadikan makam.

Di zaman sekarang Leparmentier dan regunya melanjutkan pekerjaan para inspektur pertama Guillaumot. Sekitar tiga puluh meter di bawah jalan, kami berhenti di depan sebuah tiang, tumpukan lima atau enam batu besar dari awal 1800-an. “Jangan sentuh,” kata Leparmentier. “Agak rapuh.” Ada retakan besar warna hitam yang membelah-dua langit-langit yang masih ditopang tiang itu.

Dia memberi tahu saya bahwa longsor kecil masih terjadi beberapa kali setahun. Baru saja tahun 1961, bumi menelan satu lingkungan di pinggiran selatan kota, menewaskan 21 orang. Di bawah kami melintas sebuah terowongan lain. Suatu hari tiang ini bisa rusak, dan terowongan tempat  kami berdiri kini bisa saja runtuh ke terowongan di bawahnya.

Kami masuk semakin dalam. Di ujung koridor, kami duduk dan mencermati lubang gelap kecil yang diperingatkan kepada saya beberapa jam sebelumnya. Lebarnya tidak sampai sebahu. Tak ada yang tahu ke mana arahnya. Seorang anggota muda regu menjejalkan diri ke dalam lubang itu, kakinya menendang-nendang di udara. Saya melirik Leparmentier, dan dia menggeleng, seolah berkata, Saya tak sudi masuk ke sana. Tetap dia juga melambaikan tangan: Silakan saja kalau mau.!break!

KatafilSebagian katafil hanya turun ke bawah tanah sesekali dan menapaki jalur yang sudah dikenal baik. Katafil militan turun lebih sering dan lebih jauh. Saat bertemu pemandu berikutnya, dua pemuda berambut hitam dan berbaju monyet biru, mereka sedang bersantai sambil berjemur di bangku taman di lingkungan sepi, di sebelah tangki scuba dan peralatan selam lain. Para ibu yang mendorong kereta bayi melirik mereka dengan gelisah.Dominique adalah tukang servis; Yopie—dia hanya mau menyebutkan julukan katafil-nya—adalah perancang grafik, ayah dua anak, dan penyelam gua ulung. Kami mengangkut peralatan dan berjalan ke bawah jembatan. Di sana, udara sejuk berembus naik dari jalan masuk rahasia mereka. Saat kami mendekat, ada lelaki berlumur lumpur memanjat keluar seperti laba-laba. Dia baru selesai menyiapkan pesta bujang, katanya.

Sebagian besar terowongan bawah tanah telah dipetakan. Peta awal Guillaumot yang rumit telah diperbarui berulang kali, sementara kaum katafil membuat peta sendiri. Sebagian, seperti Yopie, bekerja keras untuk melengkapi bagian yang belum terpetakan. Kami mengarungi banyak terowongan sebelum menemukan tujuannya hari ini: sebuah lubang hitam.

Lubang dan sumur lama bertebaran di banyak terowongan. Sebagian dalam dan berisi air, sebagian menuju ruangan tersembunyi. Yopie telah menyelami berpuluh lubang, tetapi katanya belum ada orang yang masuk ke lubang satu ini. Airnya setenang es, tetapi cahaya senter kami tidak menembus jauh, buyar membaur dengan warna zamrud. Yopie memeriksa regulator, masker, dan tali-temali. Lalu dia mengikat tali helm, menyalakan dua lampu kepala, dan melompat masuk.Beberapa menit kemudian dia muncul ke permukaan bersama gelembung-gelembung udara. Lubang itu dalamnya hanya 5 meter, tak ada apa-apa di dasarnya. Tetapi, setidaknya petanya kini bertambah.

Kami berkeluyuran beberapa jam lagi di makam-makam penuh tulang berkecai dan galeri mural-mural besar dan cerah. Yopie membawa kami ke sebuah ruangan yang tidak ada di peta. Selama bertahun-tahun dia dan teman-temannya mengangkut semen dan mengatur balok batu gamping untuk membuat bangku, meja, dan balai-balai untuk tidur. Ruangan itu nyaman dan bersih. Relung untuk lilin terpahat di tembok. Batu putih kuam itu berpendar hangat. Aku bertanya kepada Yopie, apa yang membuatnya tertarik pada dunia bawah tanah.

“Tak ada atasan, tak ada majikan,” katanya. “Banyak orang turun ke sini untuk berpesta, ada yang datang untuk melukis. Ada yang bertujuan menghancurkan atau mencipta atau menjelajah. Kami bisa melakukan apa saja yang kami inginkan di sini. Kami tidak memiliki peraturan. Di permukaan…”

Dia mengibaskan tangan dan tersenyum. Menyulut rokok. “Pepatah kami, ‘Kalau mau senang, bersembunyilah.’”!break!

SelokanDalam novel Les Misérables, Victor Hugo menyebut selokan Paris sebagai “nurani kota”, karena dari selokan, semua manusia tampak setara. Dalam van kecil berisi pekerja selokan yang hendak mulai bekerja di 14th arrondissement, Pascal Quignon, seorang veteran yang berpengalaman 20 tahun, berbicara tentang hal-hal yang lebih konkret—kumpulan gas yang mudah meledak, penyakit, tikus raksasa yang konon tinggal di kolong Pecinan.Di samping toko buku di sebuah jalan sempit, kami mengenakan pakaian pelindung Tyvek putih dan sepatu bot sepinggang, sarung tangan karet putih, dan helm putih. Udara pengap dan hangat menyembur dari lubang got yang terbuka. Kata Quignon dan rekan-rekannya, mereka hanya menyadari baunya saat baru pulang dari berlibur.Dalam terowongan yang bentuknya agak mirip telur, arus air buangan yang tiada habis mengalir di sepanjang kanal di lantai. Di kedua sisi ada pipa air besar. Satu membawa air minum ke rumah dan apartemen, satu lagi membawa air yang tak bisa diminum untuk membersihkan jalan dan menyiram taman.

Sebagian terowongan di sini dibuat tahun 1859, saat Hugo sedang merampungkan Les Misérables. Saya merandai, sambil berusaha tidak memikirkan aliran hitam di kaki, berusaha agar buku catatan saya tidak terkena apa-apa, apa pun itu. Quignon dan rekannya, Christophe Rollot, menyorotkan lampu senter ke relung-relung dan mencatat letak pipa bocor pada komputer genggam.

Rollot menyeret sepatu botnya di dalam air dan mengangkatnya ke dinding. “Kalau mau memerhatikan, kita bisa menemukan banyak barang,” katanya. Pekerja selokan mengaku pernah menemukan perhiasan, dompet, pistol, dan tubuh manusia. Quignon pernah menemukan berlian. Di bawah Rue Maurice Ripoche, saya merasakan semburan air ke kaki saya. Semburan itu berasal dari salah satu pipa yang menurun. Ada orang yang baru saja membilas toilet ke sepatu bot saya.!break!

Harta KarunDi bawah Opéra Garnier, gedung opera lama, ada ruangan yang dianggap warga Paris sebagai desas-desus belaka. Saat fondasi diletakkan pada 1860-an, para insinyur berusaha menguras air dari tanah lembap dan akhirnya menyalurkannya ke waduk sepanjang 55 meter dan sedalam 3,5 meter. Kolam bawah tanah ini, yang disebutkan dalam kisah The Phantom of the Opera, dihuni beberapa ikan gemuk: Karyawan gedung opera memberi mereka makan kerang beku. Suatu sore saya menonton petugas pemadam kebakaran melatih penyelamatan bawah air di sana. Mereka keluar dengan berkilauan seperti anjing laut berbaju selam sambil membahas ikan raksasa.Tak jauh dari gedung opera, pada tahun 1920-an, sepasukan buruh bekerja siang-malam membuat ruang bawah tanah lain yang unik. Lebih dari 35 meter di bawah Banque de France, dan di balik pintu-pintu yang lebih berat daripada kapsul antariksa Apollo, mereka membangun brankas yang kini menyimpan cadangan emas Prancis, sekitar 2.600 ton.

Suatu hari saya dan fotografer Stephen Alvarez berdiri di dalam brankas itu. Di semua penjuru, aula itu penuh tumpukan emas di dalam kerangkeng baja tinggi. Saya teringat pada katakomba: Seperti setiap kerangka tulang, setiap batang emas memiliki kisah menarik, mungkin beberapa. Sejak dulu emas diincar, dicuri, dilelehkan. Satu batang di sini mungkin mengandung serpih cawan firaun dan emas lantak bangsa penakluk Spanyol.Petugas bank melempar salah satu batang itu kepada saya. Batang itu berat dan rusak, penyok di sepanjang bagian bawahnya, mirip belahan dagu. Di satu sudutnya ada cap segel U.S. Assay Office of New York dan tahun 1920. “Emas Amerika,” kata si petugas. “Yang paling jelek.”

Dia menunjuk batang lain yang dianggapnya lebih cantik. Batang itu ada yang sisinya agak miring atau atasnya cembung seperti bungkal roti. Setiap batang bernilai sekitar 4,5 miliar rupiah. Dia menjelaskan bahwa Prancis menjual sebagian hartanya sedikit demi sedikit.

Maret lalu, pencuri membuat terowongan ke dalam brankas bank tidak jauh dari sini. Mereka mengikat satpam, membongkar sekitar 200 kotak penyimpanan, dan membuat kebakaran saat pergi. Para petugas meyakinkan saya bahwa di bank sentral ini,  brankasnya tidak terhubung ke bagian bawah tanah Paris yang lain. Saya menanyakan apakah ada yang pernah mencoba merampok. Salah seorang dari mereka tertawa.“Itu mustahil!” katanya. Saya teringat pada Napoleon, yang mendirikan Banque de France pada 1800, dan konon mengutarakan perkataan terkenal: “Tak ada kata mustahil dalam bahasa Prancis.” Kami keluar melalui pintu baja dan naik lift sepuluh lantai, melewati pemindai retina, dan melalui ruang kaca berpintu geser yang mirip pintu kedap udara di kapal antariksa. Setelah akhirnya berada di jalan di luar, saya dan Alvarez masih terkesima oleh demam emas.

“Tas Anda diperiksa?” tanya saya.

“Tidak. Tas Anda?”

Kami berjalan. Tak jauh dari situ saya melihat lubang got. Pasti menuju terowongan. Terowongan itu mungkin paralel dengan jalan, atau mungkin menukik ke brankas. Benak saya mengikuti lorong itu, membayangkan jalurnya dan cabang-cabangnya. Kata para katafil, hal seperti itu normal saat kembali ke permukaan; tak terelakkan, kata mereka. Kebebasan bawah tanah yang sejuk dan tenang, dengan segala kemungkinannya terus terbayang-bayang