Perang Opium

By , Rabu, 26 Januari 2011 | 17:23 WIB

Kepala polisi itu memiliki cara yang mengesankan untuk menunjukkan bahwa dia tidak gentar menghadapi para penyelundup narkoba. Dia mengangkat tangan kanannya, menunjukkan bahwa dia sudah tidak punya jari tengah. Empat tahun silam, Brigjen Aqa Noor Kintuz menjabat sebagai kepala polisi Provinsi Badakhashan di timur laut Afghanistan dan ditugasi memusnahkan ladang opium yang jumlahnya banyak sekali. “Setelah menyelesaikan salah satu prakarsa pemusnahan pertama,” katanya, “kendaraan saya diledakkan oleh bom jarak jauh.” Digulungnya lengan kemeja kanannya. Lengan bawahnya cacat parah. Bertahun-tahun sejak kejadian itu, dia sering sekali menerima ancaman pembunuhan. Kaum wanita dan anak-anak petani opium melontarkan batu kepada anak buahnya. Salah satu traktornya untuk memusnahkan ladang opium dibakar.

Realitas suram yang menyelimuti Afghanistan dewasa ini, yang 85 persen warganya petani, adalah bahwa perekonomiannya digerakkan oleh dua sumber yang saling bertentangan. Dana pertama mengalir dari sumber di dunia Barat, dengan harapan negara itu menyingkirkan Taliban. Dana lainnya berasal dari perdagangan opium yang didukung oleh Taliban, yang menggunakan keuntungannya untuk membiayai serangan terhadap pasukan Barat. Baru belakangan inilah pemerintah Afghanistan tampaknya menyadari situasi nyata yang dihadapinya: Agar bantuan dari luar terus mengalir, ketergantungan perekonomian negara pada opium harus diakhiri. Ladang opium harus dimusnahkan. Namun, sebagaimana halnya negara Muslim yang taat ini tidak begitu saja menjadi pemasok terbesar opium di dunia, mencerabut pola pikir Afghanistan dalam hal opium pun bukanlah tugas sederhana.

Di Badakhshan, kepala polisi Kintuz tampaknya memperoleh kemajuan dalam upayanya memusnahkan opium. Lima tahun silam, provinsi itu penghasil opium terbesar kedua di Afghanistan, setelah provinsi Helmand yang berada di bawah kekuasaan Taliban. Untuk kurun waktu yang singkat setelah Taliban melarang petani menanam opium pada 2000, Badakhshan bahkan memimpin dalam pembudidayaan opium, karena provinsi itu dikuasai milisia Aliansi Utara, bukan Taliban. Ketika Kintuz mengawali tugasnya pada 2007, sekitar 3.650 hektare lahan ditanami opium. Dua tahun kemudian, yang tersisa kurang dari 600 hektare.

Upaya pemusnahan memaksa petani opium pindah ke daerah pedesaan terpencil. Ladang mereka, secara disengaja, boleh dikatakan tidak terlihat. Untuk menemukannya, kita harus berkendara selama berjam-jam melalui jalan pegunungan tersembunyi yang sudah rusak, ditemani orang yang mengenal wilayah itu dan, jika perlu, menjelaskan alasan kehadiran kita di situ. Kita harus mencari di tempat yang jauh dari tepi jalan, memandangi daerah pedesaan yang tanahnya bergelombang di kawasan Afghanistan utara—mengamati tumbuhan berwarna seragam, mencari semburat warna yang berbeda, yang tampak seperti tumbuhan yang lugu dan sekaligus sarat dosa, yang akhirnya menyerukan tanda yang amat jelas: ladang opium. !break!

Seorang petani berjongkok membelakangi bunga opium itu, menyiangi ladang di sebelahnya. Dia lelaki berusia 37 tahun dengan ciri khas sosok orang Mongol, mengenakan kemeja panjang cokelat, turban, dan senyum penuh keraguan. Dia memperkenalkan dirinya, Mohamad Khalid. Dia mengakui bahwa ladang opium itu memang miliknya.

“Ayah saya mengajari saya cara menanam opium sepuluh tahun yang lalu,” katanya. “Sebelum tahun ini, saya mampu menghasilkan 27 kg opium dari ladang saya.” Dengan tubuh membungkuk sambil berjongkok, sementara ujung jarinya mengais-ngais tanah yang sudah dibajak, Khalid bercerita betapa para penyelundup mengijon opiumnya dan bahwa enam orang anggota keluarganya membantunya menyiangi, memangkas, dan akhirnya menyadap pasta opium berwarna gelap itu dari umbinya—musim membosankan yang berlangsung selama empat bulan yang tidak disesalinya mengingat keuntungannya yang besar. Bongkahan opium berbentuk batu bata yang dibungkusnya dengan plastik dan dibawanya ke pasar cukup untuk membeli makanan yang dibutuhkan keluarganya. “Opium banyak manfaatnya,” katanya.

Mengingat gencarnya pemusnahan, Khalid menyusun strategi baru. Lahan pertaniannya yang paling kentara, kawasan yang sekarang sedang disianginya, sejak saat ini digunakan untuk menanam gandum dan melon. Hanya lahan yang sempit sajalah, yang nyaris tak terlihat dari jalan, akan tetap digunakan untuk menanam tanaman berharga mahal itu. “Dari ladang kecil itu,” katanya sambil menoleh sekilas ke hamparan tumbuhan berwarna ungu, merah muda, dan putih itu, “saya bisa mendapatkan sekitar 1 kg opium. Mungkin bernilai Rp800.000.”

Dengan hanya paham secara samar-samar bahwa petani seperti dia menjadi penentu arah masa depan Afghanistan dan keamanan nasional Amerika, Khalid mengerutkan kening dan berkata, “Saya tidak tahu mengapa ladang opium dimusnahkan. Saya hanya petani miskin, dan yang selalu saya pikirkan adalah bagaimana saya bisa menghidupi keluarga saya.”!break!

Pada suatu pagi, saat musim panen, Kepala Polisi Kintuz dan timnya memusnahkan ladang opium di distrik Badakhshan di Argo, hanya dua hari setelah sembilan anggota pasukan anti-narkobanya tewas oleh bom jalanan di Darayem. Pada saat subuh, iring-iringan pasukan itu berangkat dari ibukota provinsi Feyzabad—berkendara melewati kelompok rumah yang relatif masih baru yang dibangun pada masa sebelum kegiatan pemusnahan yang menyebabkan terhentinya pembangunan perumahan tersebut. Berkat upaya Kepala Polisi Kintuz, pedesaan yang berbukit-bukit ini tidak lagi menampilkan pemandangan berupa hamparan luas tanaman opium.

Jalan sepanjang 14 kilometer menuju Argo rusak parah—penghancuran ladang opium menyebabkan kondisinya sekarang lebih buruk daripada dulu sebelum kontraktor AS dibayar Rp250 miliar untuk mengaspalnya. Sambil berkendara melintasi pusat distrik, melewati puluhan toko yang sudah tidak beroperasi lagi, yakni tempat penjualan opium secara terang-terangan di masa lalu, iring-iringan itu disambut dengan tatapan tajam penduduk desa. Beberapa kilometer setelah melewati Argo, dekat desa Barlas, sekitar 30 orang petugas anti-narkoba bersenjata turun dari kendaraan. Mereka berjalan kaki menuju perbukitan, mencari ladang opium yang sudah ditandai untuk dimusnahkan.

Ladang itu ada di mana-mana: puluhan ladang berwarna-warni, semuanya dengan luas masing-masing di bawah satu acre. Para petugas menuruni ladang dengan membawa batang bambu dan membabat bunga opium dengan penuh semangat seperti seorang penyabit. Sang kepala juga ikut membabati tanaman itu. Seorang pengamat dari Badan Narkoba dan Kriminal PBB (UNODC) dengan cermat mencatat setiap ladang yang dimusnahkan di buku catatannya. Seorang petani muda memperhatikan pemusnahan sistematis ini sambil berjongkok di ladangnya. “Lahan itu milik tetangga saya, Israyel,” katanya. “Tampaknya dia tahu para petugas akan datang dan tidak ingin menyaksikan pemusnahan ini. Tahun lalu polisi sudah memperingatkan kami untuk tidak menanam opium. Jadi, saya beralih menanam melon. Tetapi, semua ini lahan tadah hujan, jadi di musim kemarau, saya kesulitan."

Saya tanyakan apakah dia atau tetangganya menerima sebagian dari dana jutaan dolar yang disalurkan ke Provinsi Badakhshan dari Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) dan berbagai organisasi Barat lainnya dalam upaya membujuk petani Afghanistan untuk tidak menanam opium. “Mereka berjanji kepada gubernur distrik Argo bahwa mereka akan memberi kami benih gandum dan pupuk dalam karung,” jawabnya. “Tapi, sampai sekarang belum kami terima.” Jawaban ini sama dengan yang diberikan oleh seorang tua di dekat distrik Tashkan: “Pemerintah berkata, ‘Kami akan membangun jalan, jembatan, dan saluran, dan kalian pasti melupakan opium untuk selamanya.’ Itu diucapkan lima tahun yang lalu. Pada kenyataannya Pemerintah tidak melakukan apa-apa.”!break!

Namun, sebenarnya ada beberapa hal yang sudah dilakukan Pemerintah—jalan raya yang baru diaspal dari Feyzabad ke Kabul, sejumlah proyek pembangunan jalan di Tashkan, ladang saffron di Baharak, dan 18 kantor polisi distrik yang baru. Namun, meskipun ada proyek yang bermanfaat, dapat ditemukan juga desa semacam desa Sar Ab di distrik Yamgan, yang bertebaran di seluruh provinsi yang luas itu. Di desa seperti itu tidak tersedia klinik kesehatan sehingga penduduk menggunakan opium sebagai satu-satunya obat; akibatnya, separuh dari 1.800 orang penduduk desa menjadi pecandu narkoba. Atau desa Du Ghalat di Argo; di situ seratus orang anak berjejalan seperti hewan ternak di lantai tanah sebuah bangunan sekolah butut yang dibangun dengan uang opium yang sekarang sudah mengering saat dimulainya pemusnahan ladang opium. Atau dana jutaan dolar yang berasal dari setoran para wajib pajak di AS yang dialokasikan untuk membiayai berbagai proyek pertanian di Badakhshan, yang menurut salah seorang petugas anti-narkoba “tidak pernah sampai—menguap di jalan.”