Para petugas beranjak ke ladang opium milik seorang janda. Dia sedang duduk di atas keledai, menangis terisak-isak ketika para petugas mengobrak-abrik hasil kerja almarhum suaminya—yang menurut pengakuannya seorang mujahidin yang ikut berperang melawan Soviet dan belum lama ini melawan Taliban sebagai anggota Angkatan Bersenjata Nasional Afghanistan sebelum tewas akibat ledakan bom jalanan pada musim dingin yang lalu. Saat kami melangkah maju, tampak umbi opium di ladang yang sudah rata dengan tanah itu bergores-gores, pertanda bahwa getah opiumnya sudah disadap sebelum kami tiba. Saya juga mengamati ada ladang yang terlihat dengan jelas, tetapi dibiarkan saja. Apakah terlewat? Atau ada yang menerima suap? Saat sang kepala dan anak buahnya beristirahat di bawah pohon setelah menikmati makan siang mewah berisi daging kambing, ayam, yogurt, dan sayuran segar yang dicuri dari ladang terdekat, saya bertanya kepadanya apakah ada anak buahnya yang mungkin terlibat dalam perdagangan narkoba. ”Ya, memang ada beberapa orang,” katanya perlahan. “Tapi, kita bicarakan nanti saja.” Ketika saya mengingatkannya akan janji itu pada minggu berikutnya, sang kepala mengatakan bahwa dia sudah membersihkan departemennya dari polisi yang menerima suap.
Katanya, dia tidak tahu apakah ada pejabat pemerintah di Badakhshan yang terlibat dalam penyelundupan—“kalau saya tahu, pasti sudah saya tahan.” Saya tidak menceritakan kepadanya bahwa sumber lain mengatakan ada pejabat tinggi yang berperan sebagai penyelundup, di samping penyelundup lain yang merupakan calon anggota parlemen, menawarkan imbalan untuk membeli suara dan mengatakan kepada para petani bahwa jika dia terpilih, dia akan memastikan produksi opium akan berlanjut. Bahkan di saat Badakhshan bebas opium, para pemimpin dan pejabat pemerintah daerah diduga mencapai kesepakatan pembagian kekuasaan mengenai rute narkoba yang membawa opium melintasi batas utara menuju Asia Tengah. Perekonomian Afghanistan, bahkan juga di sini di wilayah yang dikuasai oleh non-Taliban di utara, masih tetap mengandalkan perdagangan narkoba.!break!
Selama berabad-abad, opium hanya berperan kecil di Afghanistan sebelum akhirnya menguasai negara itu sepenuhnya. Meskipun Aleksander Agung tidak sepenuhnya berhasil menaklukkan sisi samping Kerajaan Persia di bagian timur laut yang berbukit-bukit ini pada abad keempat S.M., dia berhasil mewariskan narkoba sehingga pada akhirnya boleh dikatakan berhasil menaklukkan kawasan itu. Pembudidayaan opium muncul dalam sejarah tertulis Afghanistan sekitar 300 tahun yang lalu. Tanaman ini cocok untuk tanah lempung Badakhshan dan bagian timur Provinsi Nangarhar, tempat tanaman itu pertama kali dibudidayakan—memerlukan pupuk dan curah hujan sedikit, musim tanam singkat, dan tidak memerlukan keahlian khusus, cukup kemampuan menebarkan benih dengan tangan dan menyayat umbi sampai terbuka sedikit. Opium berperan kecil, namun menguntungkan, dalam masyarakat petani negeri itu sepanjang abad ke-18 dan ke-19, bahkan juga ketika kekuasaan India dalam perdagangan opium di kemudian hari membuka jalan bagi Turki dan kemudian kawasan dataran tinggi Asia Tenggara, berkat semakin besarnya pasar untuk heroin di Eropa dan Amerika Serikat.
Barulah pada pertengahan abad ke-20 Afghanistan menjadi pengekspor opium. Atas permintaan PBB, yang dianggotai Afghanistan pada 1946, Raja Mohamad Zahir Shah untuk sementara menghentikan pembudidayaannya. Kondisi petani opium di Badakhshan dan Nangarhar meluluhkan hatinya sehingga dia membatalkan keputusannya. Sementara itu, hasil bumi yang menyebabkan para petani Afghanistan terkenal adalah kacang pistachio (Pistacia vera L., Anacardiaceae), kenari (Prunus dulcis, syn. Prunus amygdalus), delima, kapas, dan anggur.
Begitulah keadaannya sampai terjadi penyerbuan Soviet pada Desember 1979 yang secara radikal mengubah pola pertanian Afghanistan. Penjajah baru ini menutup pasar buah-buahan negara itu dan menutup pengoperasian mesin pemisah kapas agar menguntungkan ekspor Uzbekistan. Perang sepuluh tahun berikutnya antara Soviet dan kaum mujahidin yang didukung AS menyebabkan rusaknya beberapa fasilitas pertanian, seperti jalan dari ladang ke pasar, saluran irigasi, silo, dan pabrik pengolah makanan. Pertanian Afghanistan hancur. Antara kurun waktu penarikan pasukan U.S.S.R. pada 1989 dan kebangkitan Taliban pada 1994, negara itu terpuruk dalam kekacauan karena para pemimpin perang gadungan saling bersaing memperebutkan kekuasaan. Para petani Afghanistan, yang berjuang untuk memperoleh kembali posisi mereka di pasar, mendapati bahwa India dan Pakistan telah mengembangkan produk sendiri dan tidak lagi tertarik untuk mengimpornya dari Afghanistan. Kedua negara itu berhasil menghentikan produksi opium di dalam negeri—dan para penyelundup narkoba mulai membidik kawasan baru yang tidak stabil, tempat tumbuh suburnya perdagangan gelap.
Pebisnis narkoba dari Pakistan bermunculan di Nangarhar, kemudian Badakhshan, lalu bagian selatan Provinsi Helmand. Sebagaimana yang dijelaskan oleh konsultan pertanian Jonathan Greenham tentang kajiannya di Pakistan untuk membasmi produksi opium, “Para penguasa Pakistan hanya mengalihkan masalah dengan melintasi garis perbatasan.”!break!
Inilah antara lain alasan mengapa pangsa produksi opium Afghanistan meroket dari 19 persen pada 1986 menjadi 90 persen dua dasawarsa kemudian. Namun, faktor paling berpengaruh adalah Taliban. Ketika mulai menguasai Afghanistan pada 1996, pemerintah Islam baru ini menggalang dukungan dari para pemimpin suku dengan menyetujui untuk tidak mengganggu pembudidayaan opium. Pemimpin besarnya, Mullah Omar, menerima dana secara teratur dari kelompok organisasi penyelundup opium, yang diizinkannya beroperasi dengan bebas. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah Afghanistan yang baru mengenakan 10 persen pajak terhadap semua keuntungan dari pertanian. Pada 1999 produksi opium Afghanistan melesat ke angka lebih dari 5.000 ton, dan ini memunculkan tekanan dari UNODC agar dilakukan upaya gencar untuk melarang penanamannya.
Pada Juli 2000 Mullah Omar menerbitkan fatwa yang mengumumkan bahwa produksi opium melanggar ketentuan Islam. Taliban menegakkan larangan itu dengan cara kejam, sebagaimana yang diceritakan oleh salah seorang mantan petani opium kepada saya, “dengan mengancam akan membakar rumah kami.” Hasilnya sangat mengesankan, yakni menurunnya penanaman opium sebanyak 91 persen dalam waktu satu tahun.
Setelah penyerbuan yang dipimpin AS ke Afghanistan dan kejatuhan Taliban pada 2001, para pemimpin perang gadungan di tingkat wilayah sekali lagi mendongkrak produksi opium. Karena sudah tidak lagi berkuasa, sekarang Taliban melihat opium sebagai cara untuk membiayai pemberontakan mereka. “Mereka melihat ada peluang untuk menghasilkan pendapatan yang sangat besar tanpa mengorbankan kehidupan rakyat,” kata Wes Harris dari Departemen Pertanian AS, opium adalah tanaman musim dingin, sehingga setelah dipanen di akhir musim semi, petani dapat menanam jagung, kapas, atau kacang-kacangan di lahan yang sama. Pada tahun-tahun ketika permintaan tinggi, seorang petani dapat berpenghasilan enam kali lipat dari opium daripada hasil bumi lainnya. Ketika harga opium turun, petani cukup membungkus produk yang tahan lama itu dalam plastik dan menyimpannya sampai pasar lebih menguntungkan.
Tatkala Taliban menguasai bagian selatan Afghanistan selama beberapa tahun terakhir, menanam opium menjadi jauh lebih mudah. Para pedagang narkoba memberikan uang muka kepada petani untuk biaya panen, kemudian datang pada waktunya untuk mengambil barangnya. Mafia narkoba memastikan jalur ke laboratorium pengolahan heroin di daerah perbatasan dan kemudian keluar dari Afghanistan terjaga dengan aman dan para petugas yang tepat sudah disuap—karena, seperti yang dikatakan salah seorang veteran penegak hukum Afghanistan, “Afghanistan dikuasai oleh mafia narkoba. Bagaimana bisa para pejabat pemerintah bergaji kecil itu mampu membeli rumah mewah di Dubai dan AS dalam beberapa tahun terakhir ini?”!break!
NATO memperkirakan para pemberontak mendapatkan separuh dana mereka dari narkoba, hampir setengah miliar dolar. Namun, mengingat perekonomian Afghanistan dari opium berjumlah hingga empat miliar dolar setahun, Taliban hanya menguasai sebagian kecil saja dari dana yang sangat besar itu.
Keputusan berat masih ditunggu para petani opium: Opium itu haram, sebagaimana difatwakan oleh Taliban ketika untuk sementara waktu mereka menghentikan penanamannya. Ataukah sebenarnya tidak haram? Sebagian mullah Afghanistan menyatakan bahwa haram menggunakan opium, tetapi tidak haram menanamnya. Mullah yang lain menyitir Quran yang menyatakan bahwa orang yang kelaparan diperbolehkan makan daging yang haram untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi, pemuka agama Provinsi Badakhshan, Maulawi Abdul Wali Arshad berkata, “Dalam hukum Islam, jika sesuatu dinyatakan haram, maka ketentuan haram itu berlaku dari awal sampai akhir. Jika pembudidayaan opium dinyatakan haram, bagaimana kita bisa mengendalikan penyelundupannya? Atau penggunaannya? Yang dilakukan Taliban itu tidak Islami. Keterlibatan Taliban dengan mafia narkoba menunjukkan bahwa mereka tidak benar-benar menginginkan pemerintahan yang benar-benar Islami. Mereka hanya menginginkan kekuasaan.”