Era Manusia

By , Jumat, 25 Februari 2011 | 13:24 WIB

Manusia juga mengubah dunia melalui kegiatan di bidang pertanian; sekitar 38 persen tanah Bumi yang tidak tertutup es sekarang digunakan untuk pertanian. Di sini pun sebagian pengaruh yang tampaknya paling signifikan saat ini paling-paling hanya akan meninggalkan jejak yang sangat samar.

Pabrik pupuk, misalnya, saat ini menghasilkan lebih banyak nitrogen dari udara, mengubahnya menjadi bentuk yang dapat digunakan secara hayati, jika dibandingkan dengan jumlah nitrogen yang dihailkan oleh semua tanaman dan mikroba di darat; limpasan dari ladang yang dipupuk memicu pertumbuhan ganggang yang mengancam kehidupan organisme di muara sungai di seluruh dunia. Namun, kerisauan dunia dalam hal daur nitrogen ini akan sulit terdeteksi, karena nitrogen sintetis sangat mirip dengan nitrogen alami. Para ahli geologi masa depan diperkirakan bisa lebih memahami skala pertanian industri abad ke-21 dari data serbuk sari—dari serbuk sari ekawarna yang dihasilkan jagung, gandum, dan kedelai yang menggantikan keragaman jejak serbuk sari yang ditinggalkan oleh hutan hujan ataupun prairie.

Pembabatan hutan dunia setidaknya akan mengirimkan dua pesan bagi para ahli stratigrafi masa depan, meskipun menafsirkan pesan yang pertama bisa cukup sulit. Sejumlah besar tanah yang terkikis dari lahan gundul meningkatkan sedimentasi di beberapa bagian dunia—namun, dalam waktu yang bersamaan, bendungan yang kita bangun di sebagian besar sungai besar di dunia ternyata menghalangi perjalanan sedimen yang sebenarnya bisa hanyut ke laut. Pesan kedua akibat penggundulan hutan tentu lebih jelas. Punahnya habitat hutan merupakan penyebab utama kepunahan margasatwa, yang saat ini berlangsung dengan laju ratusan atau bahkan ribuan kali lebih cepat daripada yang berlangsung pada setengah miliar tahun terakhir. Jika kecenderungan saat ini terus berlanjut, laju itu mungkin bisa segera menjadi puluhan ribu kali lebih cepat.

Mungkin perubahan paling signifikan, dari sudut pandang geologi, adalah perubahan yang tidak kasat mata—perubahan komposisi atmosfer. Emisi karbon dioksida tidak berwarna, tidak berbau, dan dalam jangka pendek tidak berbahaya. Namun, efek CO2 yang meningkatkan suhu dapat dengan mudah mendorong suhu global ke tingkat yang belum pernah terjadi selama jutaan tahun. Sejumlah tanaman dan hewan sudah mulai bermigrasi menghampiri Kutub, dan pergerakan ini akan meninggalkan jejak dalam sedimentasi fosil. Beberapa spesies bahkan sama sekali tidak akan mampu bertahan dalam suhu yang semakin menghangat ini. Sementara itu, kenaikan suhu pada akhirnya mungkin dapat meningkatkan permukaan air laut hingga enam meter atau lebih.

Lama setelah kelak mobil, kota, dan pabrik menjadi debu, konsekuensi akibat pembakaran miliaran ton batubara dan minyak kemungkinan akan tampak sangat jelas. Di saat karbon dioksida menghangatkan Bumi, senyawa itu juga menelus ke lautan dan membuatnya bersifat asam. Suatu saat dalam abad ini lautan mungkin menjadi begitu asam sehingga koral tidak sanggup lagi membentuk karang, yang akan tercatat dalam sejarah geologi sebagai “kesenjangan karang.” Kesenjangan karang merupakan ciri khas dari lima kemusnahan massal besar yang telah terjadi. Kepunahan massal yang terakhir, yang diyakini disebabkan oleh dampak asteroid, terjadi 65 juta tahun yang lalu, di akhir periode Kretaseus; kepunahan itu memusnahkan bukan hanya dinosaurus, tetapi juga plesiosaurus, pterosaurus, dan amonit. Besarnya ukuran bencana yang saat ini menimpa lautan, menurut para pakar, tidak tertandingi sejak saat itu. Bagi para ahli geologi masa depan, begitu kata Zalasiewicz, dampak ulah kita akan tampak begitu tiba-tiba dan sangat luar biasa sebagaimana dampak asteroid.!break!

Jika memang benar kita memasuki kala baru, kapankah tepatnya kala itu dimulai? Kapankah ulah manusia menjadi begitu signifikan sehingga menyebabkan perubahan geologis?

William Ruddiman, seorang ahli paleoklimatologi di University of Virginia, mengemukakan bahwa dimulainya kegiatan pertanian sekitar 8.000 tahun yang lalu, dan penggundulan hutan yang diakibatkannya, menyebabkan peningkatan CO2 di atmosfer yang cukup untuk menghindari awal zaman es baru; menurut pendapatnya, sejak kala Holosen, boleh dikatakan manusia merupakan kekuatan yang dominan di Bumi. Crutzen mengusulkan bahwa Atroposen dimulai pada akhir abad ke-18 ketika, sebagaimana ditunjukkan oleh inti es, kadar CO2 terbukti mulai meningkat secara ajek. Ilmuwan lain menetapkan awal kala baru ini pada pertengahan abad ke-20, ketika laju pertumbuhan populasi maupun konsumsi meningkat pesat.

Zalasiewicz sekarang mengepalai kelompok kerja di Komisi Internasional Stratigrafi (ICS) yang bertugas secara resmi menentukan apakah Atroposen layak dimasukkan sebagai skala waktu geologis. Keputusan akhir membutuhkan persetujuan dari ICS dan organisasi induknya, Uni Internasional Ilmu Geologi (International Union of Geological Sciences). Prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Dalam proses yang amat lambat ini, keputusana mungkin menjadi semakin mudah. Sejumlah ilmuwan mengemukakan bahwa kita masih belum mencapai awal kala Antroposen—bukan karena kita belum menghasilkan dampak besar pada Bumi, tetapi karena beberapa dasawarsa yang akan datang cenderung memberikan bukti yang jauh lebih signifikan secara stratigrafi daripada beberapa abad belakangan ini. “Apakah kita memutuskan bahwa kala Antroposen sudah tiba sekarang, atau apakah kita perlu menunggu 20 tahun lagi untuk menyaksikan bahwa dampak itu semakin parah?” kata Mark Williams, ahli geologi dan rekan Zalasiewicz  di University of Leicester, Inggris.

Crutzen, yang memulai perdebatan itu, berpendapat bahwa nilai nyatanya tidak ditentukan secara akademik. Tujuannya lebih jauh: Dia ingin memusatkan perhatian pada konsekuensi perbuatan manusia secara kolektif—dan bahwa kita masih bisa menghindarkan terjadinya hal yang terburuk. “Yang saya harapkan,” katanya, “istilah ‘Antroposen’ merupakan peringatan bagi dunia.”