Era Manusia

By , Jumat, 25 Februari 2011 | 13:24 WIB

Jalan itu mendaki bukit, melintasi sungai yang aliran airnya deras, kembali melintasi sungai lain, kemudian melewati bangkai biri-biri. Dalam khayalanku, saat itu sedang turun hujan, namun di sini di Dataran Tinggi Skotlandia di Kawasan Selatan, menurut penduduk setempat, hujan seperti ini hanya dianggap gerimis ringan, atau smirr. Tepat di balik tikungan tajam yang terakhir, ada air terjun, separuh terlindung di balik tabir kabut, dan tonjolan bebatuan bergerigi. Bebatuan itu berlapis-lapis secara vertikal, seperti kue lapis legit dengan lapisan lebar dalam posisi miring. Pemandu saya, Jan Zalasiewicz, seorang pakar stratigrafi berkebangsaan Inggris, menunjuk ke lapisan lebar berwarna abu-abu. “Pernah terjadi kejadian buruk di sini,” katanya.

Lapisan lebar itu terbentuk sekitar 445 juta tahun yang lalu, tatkala sedimen perlahan-lahan bertimbun di dasar lautan purba. Di masa itu, kehidupan pada umumnya masih terbelenggu di perairan, dan dalam keadaan terancam. Di antara dua lapisan abu-abu yang masing-masing setebal satu meter, sekitar 80 persen biota laut berangsur mati, banyak di antaranya jenis makhluk yang sudah punah, seperti graptolit (Graptolithina). Kala kepunahan ini, yang dikenal sebagai akhir Ordovisium, adalah salah satu dari lima kala terbesar yang berlangsung dalam kurun waktu setengah miliar tahun terakhir. Kala itu berlangsung bersamaan dengan perubahan iklim yang ekstrem, di permukaan laut global, dan dalam kimia lautan—semuanya, mungkin, disebabkan oleh superbenua yang terseret ke Kutub Selatan.

Ahli stratigrafi seperti Zalasiewicz, biasanya, tidak mudah percaya. Tugas mereka adalah mengkaji sejarah Bumi dari sejumlah petunjuk yang dapat digali dari lapisan bebatuan, jutaan tahun setelah lapisan itu terbentuk. Mereka mengkaji kala yang berlangsung dalam kurun waktu lama—dalam hitungan jutaan tahun, dan hanya kala yang paling ganas sajalah yang kemungkinan besar meninggalkan tanda-tanda yang jelas dan tahan lama. Kala-kala inilah yang menandai kurun waktu teramat penting dalam riwayat Bumi yang berusia 4,5 miliar tahun, titik balik yang membagi-baginya menjadi beberapa bagian yang dapat dipahami.

Jadi, memang merisaukan saat mengetahui bahwa banyak ahli stratigrafi mulai percaya bahwa kitalah yang membentuk kala itu—bahwa umat manusia telah mengubah planet ini hanya dalam satu atau dua abad terakhir dengan begitu parah sehingga kita mendesakkan kala baru: Antroposen. Sambil berdiri dalam hujan gerimis, saya bertanya kepada Zalasiewicz, seperti apakah kala ini dalam pandangan para ahli geologi yang hidup berabad-abad yang akan datang, siapa pun mereka dan apa pun yang mereka kaji. Apakah transisi ke kala baru ini bersifat moderat, seperti puluhan kala lainnya yang tercatat dalam sejarah, atau apakah kala ini akan muncul sebagai masa yang ganas yang mencatat terjadinya hal-hal teramat buruk—seperti kepunahan besar-besaran yang terjadi di akhir Ordovisium?

Menurut Zalasiewicz, itulah yang sekarang sedang diselidiki.!break!

Kata “Antroposen” diciptakan oleh ahli kimia Belanda, Paul Crutzen, sekitar satu dasawarsa yang lalu. Suatu hari, Crutzen, pemenang-bersama Hadiah Nobel untuk penelitiannya dalam penemuan efek senyawa penipis lapizan ozon, sedang menghadiri konferensi ilmiah. Ketua konferensi terus-menerus merujuk ke Holosen, kala yang dimulai pada akhir zaman es yang terakhir, 11.500 tahun yang lalu, dan bahwa—setidaknya secara resmi—berlanjut sampai sekarang. “Sebaiknya kita berhenti menyebutnya begitu,’” Crutzen teringat ketika menyela sambil berseru. ‘“Kita tidak lagi berada di kala Holosen. Kita berada di kala Antroposen.’ Ruangan pun senyap sejenak.” Ketika para peserta konferensi rehat kopi, Antroposen menjadi bahan obrolan utama. Ada yang mengusulkan agar Crutzen menguruskan hak cipta kata tersebut.

Pada 1870-an,  ahli geologi Italia bernama Antonio Stoppani berpendapat bahwa manusia telah memasuki era baru, yang ditandainya sebagai antropozoik. Pendapat Stoppani dikesampingkan; ilmuwan lain memandangnya tidak ilmiah. Sebaliknya, Antroposen langsung mendapat sambutan hangat. Dampak manusia terhadap dunia telah menjadi semakin jelas sejak masa Stoppani, antara lain karena ukuran populasi secara kasar telah meningkat empat kali lipat, menjadi hampir tujuh miliar. “Pola pertumbuhan umat manusia pada abad kedua puluh lebih menyerupai pertumbuhan bakteri, bukan primata," begitu ditulis oleh ahli biologi E.O. Wilson. Dia memperhitungkan bahwa biomassa manusia sudah seratus kali lebih besar daripada biomassa spesies hewan besar lainnya yang pernah berjalan di muka Bumi.

Pada 2002, ketika Crutzen merumuskan gagasan tentang Antroposen dalam jurnal Nature, gagasan tersebut langsung ditelaah dan didiskusikan oleh para peneliti yang tengah mengkaji berbagai bidang kajian. Tidak lama kemudian, istilah itu mulai sering muncul dalam terbitan ilmiah. “Global Analysis of River Systems: From Earth System Controls to Anthropocene Syndromes” muncul sebagai judul makalah pada 2003. “Soils and Sediments in the Anthropocene” menjadi judul utama makalah lain yang terbit pada 2004.

Pada mulanya kebanyakan ilmuwan yang menggunakan istilah geologi baru ini bukan ahli geologi. Zalasiewicz, yang memang ahli geologi, menganggap diskusi itu membangkitkan minat. “Saya amati bahwa istilah ciptaan Crutzen itu digunakan dalam pustaka terkemuka, tanpa tanda kutip dan tanpa nada sinis,” katanya. Pada 2007 Zalasiewicz menjabat ketua Komisi Stratigrafi Masyarakat Geologi London. Dalam suatu rapat, dia memutuskan untuk bertanya kepada sesama ahli stratigrafi tentang pandangan mereka mengenai Antroposen. Sebanyak 21 dari 22 peserta rapat beranggapan bahwa konsep itu memiliki keunggulan.!break!

Kelompok pun sepakat memandang konsep itu sebagai istilah geologi yang patut dikupas tuntas. Apakah Antroposen memenuhi kriteria yang digunakan untuk menamai suatu kala baru? Dalam bahasa geologi, kala adalah kurun waktu yang relatif singkat, meskipun dapat sampai mencakup jutaan tahun. (Periode, seperti Ordovisium dan Cretaceous, berlangsung lebih lama, sementara era, seperti Mesozoik bahkan lebih lama lagi.) Batas antarkala ditetapkan oleh perubahan yang terawetkan di dalam bebatuan sedimen—kemunculan jenis organisme yang lazim menjadi fosil, misalnya, atau hilangnya jenis organisme lain.

Bukti bebatuan saat ini tentu saja belum ada. Jadi, pertanyaannya adalah: Saat nanti bebatuan itu sudah terbentuk, apakah dampak ulah manusia akan muncul sebagai sesuatu yang “signifikan dari segi stratigrafi”? Jawabannya, menurut kelompok Zalasiewicz, ya—meskipun belum tentu dengan alasan yang kita duga.

Mungkin cara paling kasat mata dalam hal ulah manusia yang mengubah Bumi adalah pembangunan kota, yang pada dasarnya menggunakan banyak sekali bahan buatan manuisa—baja, kaca, beton, dan batubata. Namun ternyata kebanyakan kota tidak dapat bertahan lama untuk jangka panjang karena alasan sederhana, yakni bahwa kota dibangun di atas tanah, dan tanah cenderung lebih cepat tergerus, bukan mengalami proses sedimentasi. Dari kajian geologis, pengaruh ulah manusia yang paling kasat mata di permukaan Bumi saat ini “mungkin dari segi tertentu merupakan pengaruh sementara,” begitu menurut pengamatan Zalasiewicz.

Manusia juga mengubah dunia melalui kegiatan di bidang pertanian; sekitar 38 persen tanah Bumi yang tidak tertutup es sekarang digunakan untuk pertanian. Di sini pun sebagian pengaruh yang tampaknya paling signifikan saat ini paling-paling hanya akan meninggalkan jejak yang sangat samar.!break!

Jalan itu mendaki bukit, melintasi sungai yang aliran airnya deras, kembali melintasi sungai lain, kemudian melewati bangkai biri-biri. Dalam khayalanku, saat itu sedang turun hujan, namun di sini di Dataran Tinggi Skotlandia di Kawasan Selatan, menurut penduduk setempat, hujan seperti ini hanya dianggap gerimis ringan, atau smirr. Tepat di balik tikungan tajam yang terakhir, ada air terjun, separuh terlindung di balik tabir kabut, dan tonjolan bebatuan bergerigi. Bebatuan itu berlapis-lapis secara vertikal, seperti kue lapis legit dengan lapisan lebar dalam posisi miring. Pemandu saya, Jan Zalasiewicz, seorang pakar stratigrafi berkebangsaan Inggris, menunjuk ke lapisan lebar berwarna abu-abu. “Pernah terjadi kejadian buruk di sini,” katanya.

Lapisan lebar itu terbentuk sekitar 445 juta tahun yang lalu, tatkala sedimen perlahan-lahan bertimbun di dasar lautan purba. Di masa itu, kehidupan pada umumnya masih terbelenggu di perairan, dan dalam keadaan terancam. Di antara dua lapisan abu-abu yang masing-masing setebal satu meter, sekitar 80 persen biota laut berangsur mati, banyak di antaranya jenis makhluk yang sudah punah, seperti graptolit (Graptolithina). Kala kepunahan ini, yang dikenal sebagai akhir Ordovisium, adalah salah satu dari lima kala terbesar yang berlangsung dalam kurun waktu setengah miliar tahun terakhir. Kala itu berlangsung bersamaan dengan perubahan iklim yang ekstrem, di permukaan laut global, dan dalam kimia lautan—semuanya, mungkin, disebabkan oleh superbenua yang terseret ke Kutub Selatan.

Ahli stratigrafi seperti Zalasiewicz, biasanya, tidak mudah percaya. Tugas mereka adalah mengkaji sejarah Bumi dari sejumlah petunjuk yang dapat digali dari lapisan bebatuan, jutaan tahun setelah lapisan itu terbentuk. Mereka mengkaji kala yang berlangsung dalam kurun waktu lama—dalam hitungan jutaan tahun, dan hanya kala yang paling ganas sajalah yang kemungkinan besar meninggalkan tanda-tanda yang jelas dan tahan lama. Kala-kala inilah yang menandai kurun waktu teramat penting dalam riwayat Bumi yang berusia 4,5 miliar tahun, titik balik yang membagi-baginya menjadi beberapa bagian yang dapat dipahami.

Jadi, memang merisaukan saat mengetahui bahwa banyak ahli stratigrafi mulai percaya bahwa kitalah yang membentuk kala itu—bahwa umat manusia telah mengubah planet ini hanya dalam satu atau dua abad terakhir dengan begitu parah sehingga kita mendesakkan kala baru: Antroposen. Sambil berdiri dalam hujan gerimis, saya bertanya kepada Zalasiewicz, seperti apakah kala ini dalam pandangan para ahli geologi yang hidup berabad-abad yang akan datang, siapa pun mereka dan apa pun yang mereka kaji. Apakah transisi ke kala baru ini bersifat moderat, seperti puluhan kala lainnya yang tercatat dalam sejarah, atau apakah kala ini akan muncul sebagai masa yang ganas yang mencatat terjadinya hal-hal teramat buruk—seperti kepunahan besar-besaran yang terjadi di akhir Ordovisium?

Menurut Zalasiewicz, itulah yang sekarang sedang diselidiki.

Kata “Antroposen” diciptakan oleh ahli kimia Belanda, Paul Crutzen, sekitar satu dasawarsa yang lalu. Suatu hari, Crutzen, pemenang-bersama Hadiah Nobel untuk penelitiannya dalam penemuan efek senyawa penipis lapizan ozon, sedang menghadiri konferensi ilmiah. Ketua konferensi terus-menerus merujuk ke Holosen, kala yang dimulai pada akhir zaman es yang terakhir, 11.500 tahun yang lalu, dan bahwa—setidaknya secara resmi—berlanjut sampai sekarang. “Sebaiknya kita berhenti menyebutnya begitu,’” Crutzen teringat ketika menyela sambil berseru. ‘“Kita tidak lagi berada di kala Holosen. Kita berada di kala Antroposen.’ Ruangan pun senyap sejenak.” Ketika para peserta konferensi rehat kopi, Antroposen menjadi bahan obrolan utama. Ada yang mengusulkan agar Crutzen menguruskan hak cipta kata tersebut.

Pada 1870-an,  ahli geologi Italia bernama Antonio Stoppani berpendapat bahwa manusia telah memasuki era baru, yang ditandainya sebagai antropozoik. Pendapat Stoppani dikesampingkan; ilmuwan lain memandangnya tidak ilmiah. Sebaliknya, Antroposen langsung mendapat sambutan hangat. Dampak manusia terhadap dunia telah menjadi semakin jelas sejak masa Stoppani, antara lain karena ukuran populasi secara kasar telah meningkat empat kali lipat, menjadi hampir tujuh miliar. “Pola pertumbuhan umat manusia pada abad kedua puluh lebih menyerupai pertumbuhan bakteri, bukan primata," begitu ditulis oleh ahli biologi E.O. Wilson. Dia memperhitungkan bahwa biomassa manusia sudah seratus kali lebih besar daripada biomassa spesies hewan besar lainnya yang pernah berjalan di muka Bumi.

Pada 2002, ketika Crutzen merumuskan gagasan tentang Antroposen dalam jurnal Nature, gagasan tersebut langsung ditelaah dan didiskusikan oleh para peneliti yang tengah mengkaji berbagai bidang kajian. Tidak lama kemudian, istilah itu mulai sering muncul dalam terbitan ilmiah. “Global Analysis of River Systems: From Earth System Controls to Anthropocene Syndromes” muncul sebagai judul makalah pada 2003. “Soils and Sediments in the Anthropocene” menjadi judul utama makalah lain yang terbit pada 2004.

Pada mulanya kebanyakan ilmuwan yang menggunakan istilah geologi baru ini bukan ahli geologi. Zalasiewicz, yang memang ahli geologi, menganggap diskusi itu membangkitkan minat. “Saya amati bahwa istilah ciptaan Crutzen itu digunakan dalam pustaka terkemuka, tanpa tanda kutip dan tanpa nada sinis,” katanya. Pada 2007 Zalasiewicz menjabat ketua Komisi Stratigrafi Masyarakat Geologi London. Dalam suatu rapat, dia memutuskan untuk bertanya kepada sesama ahli stratigrafi tentang pandangan mereka mengenai Antroposen. Sebanyak 21 dari 22 peserta rapat beranggapan bahwa konsep itu memiliki keunggulan.

Kelompok pun sepakat memandang konsep itu sebagai istilah geologi yang patut dikupas tuntas. Apakah Antroposen memenuhi kriteria yang digunakan untuk menamai suatu kala baru? Dalam bahasa geologi, kala adalah kurun waktu yang relatif singkat, meskipun dapat sampai mencakup jutaan tahun. (Periode, seperti Ordovisium dan Cretaceous, berlangsung lebih lama, sementara era, seperti Mesozoik bahkan lebih lama lagi.) Batas antarkala ditetapkan oleh perubahan yang terawetkan di dalam bebatuan sedimen—kemunculan jenis organisme yang lazim menjadi fosil, misalnya, atau hilangnya jenis organisme lain.

Bukti bebatuan saat ini tentu saja belum ada. Jadi, pertanyaannya adalah: Saat nanti bebatuan itu sudah terbentuk, apakah dampak ulah manusia akan muncul sebagai sesuatu yang “signifikan dari segi stratigrafi”? Jawabannya, menurut kelompok Zalasiewicz, ya—meskipun belum tentu dengan alasan yang kita duga.

Mungkin cara paling kasat mata dalam hal ulah manusia yang mengubah Bumi adalah pembangunan kota, yang pada dasarnya menggunakan banyak sekali bahan buatan manuisa—baja, kaca, beton, dan batubata. Namun ternyata kebanyakan kota tidak dapat bertahan lama untuk jangka panjang karena alasan sederhana, yakni bahwa kota dibangun di atas tanah, dan tanah cenderung lebih cepat tergerus, bukan mengalami proses sedimentasi. Dari kajian geologis, pengaruh ulah manusia yang paling kasat mata di permukaan Bumi saat ini “mungkin dari segi tertentu merupakan pengaruh sementara,” begitu menurut pengamatan Zalasiewicz.

Manusia juga mengubah dunia melalui kegiatan di bidang pertanian; sekitar 38 persen tanah Bumi yang tidak tertutup es sekarang digunakan untuk pertanian. Di sini pun sebagian pengaruh yang tampaknya paling signifikan saat ini paling-paling hanya akan meninggalkan jejak yang sangat samar.

Pabrik pupuk, misalnya, saat ini menghasilkan lebih banyak nitrogen dari udara, mengubahnya menjadi bentuk yang dapat digunakan secara hayati, jika dibandingkan dengan jumlah nitrogen yang dihailkan oleh semua tanaman dan mikroba di darat; limpasan dari ladang yang dipupuk memicu pertumbuhan ganggang yang mengancam kehidupan organisme di muara sungai di seluruh dunia. Namun, kerisauan dunia dalam hal daur nitrogen ini akan sulit terdeteksi, karena nitrogen sintetis sangat mirip dengan nitrogen alami. Para ahli geologi masa depan diperkirakan bisa lebih memahami skala pertanian industri abad ke-21 dari data serbuk sari—dari serbuk sari ekawarna yang dihasilkan jagung, gandum, dan kedelai yang menggantikan keragaman jejak serbuk sari yang ditinggalkan oleh hutan hujan ataupun prairie.

Pembabatan hutan dunia setidaknya akan mengirimkan dua pesan bagi para ahli stratigrafi masa depan, meskipun menafsirkan pesan yang pertama bisa cukup sulit. Sejumlah besar tanah yang terkikis dari lahan gundul meningkatkan sedimentasi di beberapa bagian dunia—namun, dalam waktu yang bersamaan, bendungan yang kita bangun di sebagian besar sungai besar di dunia ternyata menghalangi perjalanan sedimen yang sebenarnya bisa hanyut ke laut. Pesan kedua akibat penggundulan hutan tentu lebih jelas. Punahnya habitat hutan merupakan penyebab utama kepunahan margasatwa, yang saat ini berlangsung dengan laju ratusan atau bahkan ribuan kali lebih cepat daripada yang berlangsung pada setengah miliar tahun terakhir. Jika kecenderungan saat ini terus berlanjut, laju itu mungkin bisa segera menjadi puluhan ribu kali lebih cepat.

Mungkin perubahan paling signifikan, dari sudut pandang geologi, adalah perubahan yang tidak kasat mata—perubahan komposisi atmosfer. Emisi karbon dioksida tidak berwarna, tidak berbau, dan dalam jangka pendek tidak berbahaya. Namun, efek CO2 yang meningkatkan suhu dapat dengan mudah mendorong suhu global ke tingkat yang belum pernah terjadi selama jutaan tahun. Sejumlah tanaman dan hewan sudah mulai bermigrasi menghampiri Kutub, dan pergerakan ini akan meninggalkan jejak dalam sedimentasi fosil. Beberapa spesies bahkan sama sekali tidak akan mampu bertahan dalam suhu yang semakin menghangat ini. Sementara itu, kenaikan suhu pada akhirnya mungkin dapat meningkatkan permukaan air laut hingga enam meter atau lebih.

Lama setelah kelak mobil, kota, dan pabrik menjadi debu, konsekuensi akibat pembakaran miliaran ton batubara dan minyak kemungkinan akan tampak sangat jelas. Di saat karbon dioksida menghangatkan Bumi, senyawa itu juga menelus ke lautan dan membuatnya bersifat asam. Suatu saat dalam abad ini lautan mungkin menjadi begitu asam sehingga koral tidak sanggup lagi membentuk karang, yang akan tercatat dalam sejarah geologi sebagai “kesenjangan karang.” Kesenjangan karang merupakan ciri khas dari lima kemusnahan massal besar yang telah terjadi. Kepunahan massal yang terakhir, yang diyakini disebabkan oleh dampak asteroid, terjadi 65 juta tahun yang lalu, di akhir periode Kretaseus; kepunahan itu memusnahkan bukan hanya dinosaurus, tetapi juga plesiosaurus, pterosaurus, dan amonit. Besarnya ukuran bencana yang saat ini menimpa lautan, menurut para pakar, tidak tertandingi sejak saat itu. Bagi para ahli geologi masa depan, begitu kata Zalasiewicz, dampak ulah kita akan tampak begitu tiba-tiba dan sangat luar biasa sebagaimana dampak asteroid.!break!

Jika memang benar kita memasuki kala baru, kapankah tepatnya kala itu dimulai? Kapankah ulah manusia menjadi begitu signifikan sehingga menyebabkan perubahan geologis?

William Ruddiman, seorang ahli paleoklimatologi di University of Virginia, mengemukakan bahwa dimulainya kegiatan pertanian sekitar 8.000 tahun yang lalu, dan penggundulan hutan yang diakibatkannya, menyebabkan peningkatan CO2 di atmosfer yang cukup untuk menghindari awal zaman es baru; menurut pendapatnya, sejak kala Holosen, boleh dikatakan manusia merupakan kekuatan yang dominan di Bumi. Crutzen mengusulkan bahwa Atroposen dimulai pada akhir abad ke-18 ketika, sebagaimana ditunjukkan oleh inti es, kadar CO2 terbukti mulai meningkat secara ajek. Ilmuwan lain menetapkan awal kala baru ini pada pertengahan abad ke-20, ketika laju pertumbuhan populasi maupun konsumsi meningkat pesat.

Zalasiewicz sekarang mengepalai kelompok kerja di Komisi Internasional Stratigrafi (ICS) yang bertugas secara resmi menentukan apakah Atroposen layak dimasukkan sebagai skala waktu geologis. Keputusan akhir membutuhkan persetujuan dari ICS dan organisasi induknya, Uni Internasional Ilmu Geologi (International Union of Geological Sciences). Prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Dalam proses yang amat lambat ini, keputusana mungkin menjadi semakin mudah. Sejumlah ilmuwan mengemukakan bahwa kita masih belum mencapai awal kala Antroposen—bukan karena kita belum menghasilkan dampak besar pada Bumi, tetapi karena beberapa dasawarsa yang akan datang cenderung memberikan bukti yang jauh lebih signifikan secara stratigrafi daripada beberapa abad belakangan ini. “Apakah kita memutuskan bahwa kala Antroposen sudah tiba sekarang, atau apakah kita perlu menunggu 20 tahun lagi untuk menyaksikan bahwa dampak itu semakin parah?” kata Mark Williams, ahli geologi dan rekan Zalasiewicz  di University of Leicester, Inggris.

Crutzen, yang memulai perdebatan itu, berpendapat bahwa nilai nyatanya tidak ditentukan secara akademik. Tujuannya lebih jauh: Dia ingin memusatkan perhatian pada konsekuensi perbuatan manusia secara kolektif—dan bahwa kita masih bisa menghindarkan terjadinya hal yang terburuk. “Yang saya harapkan,” katanya, “istilah ‘Antroposen’ merupakan peringatan bagi dunia.”