Laut Nan Asam

By , Kamis, 31 Maret 2011 | 15:50 WIB

Karang, tentu saja, hanya salah satu jenis pengapur. Ada ribuan yang lain. Krustasea seperti teritip juga pengapur, dan demikian pula ekinodermata seperti bintang laut dan bulu babi, serta moluska seperti kima dan tiram. Ganggang karang—organisme kecil yang menghasilkan zat yang mirip lapisan cat jambon atau lila—juga pengapur. Kalsium karbonat yang disekresikannya membantu memperkokoh terumbu karang, tapi ganggang ini juga ditemukan di tempat lain—di lamun di Castello Aragonese, misalnya. Ketiadaannya di lamun dekat semburan vulkaniklah yang membuat lamun itu tampak begitu hijau.

Pengasaman membuat semua pengapur harus bekerja lebih keras, meskipun beberapa tampak lebih berhasil mengatasinya. Dalam percobaan, para peneliti di Woods Hole Oceanographic Institution menemukan bahwa walaupun kebanyakan pengapuran menurun akibat kenaikan karbon dioksida, ada yang justru menghasilkan kapur lebih banyak. !break!

"Organisme membuat pilihan," jelas Ulf Riebesell, pakar oseanografi biologi di Leibniz-Institut für Meereswissenschaften di Kiel, Jerman. "Makhluk hidup dapat merasakan perubahan lingkungan, dan beberapa di antaranya memiliki kemampuan untuk mengimbanginya. Hanya perlu mencurahkan energi lebih banyak untuk pengapuran. Mereka memilih, 'Baik, saya akan mengurangi reproduksi' atau 'Saya akan mengurangi pertumbuhan.'" Yang mendorong pilihan tersebut, dan apakah pilihan itu dapat bertahan lama, masih belum diketahui; kebanyakan penelitian sampai saat ini dilakukan pada makhluk yang hidup sebentar di dalam tangki, tanpa bersaing dengan spesies lain.

Sementara itu, para ilmuwan baru saja mulai mengeksplorasi pengaruh pengasaman laut terhadap organisme yang lebih kompleks seperti ikan dan mamalia laut. Perubahan di dasar jaring makanan—pteropoda pembentuk cangkang, misalnya, atau kokolitofor—pasti akan memengaruhi hewan-hewan yang lebih tinggi. Namun, perubahan pH air laut juga mungkin berdampak langsung pada fisiologinya. Misalnya, para peneliti di Australia menemukan bahwa ikan giru muda tidak bisa menemukan habitat yang cocok jika kadar CO2 meningkat. Rupanya air yang terasamkan mengganggu indra penciumannya.

Selama sejarah panjang kehidupan di Bumi, sering terjadi tingkat karbon dioksida atmosfer lebih tinggi daripada kadarnya saat ini. Namun, sangat jarang—kalaupun pernah—naik secepat sekarang. Untuk kehidupan di lautan, mungkin laju perubahanlah yang paling penting.

Untuk menemukan periode yang mirip dengan saat ini, kita harus mundur sekurangnya 55 juta tahun, ke masa yang dikenal sebagai Maksimum Termal Paleosen-Eosen atau MTPE. Selama MTPE, karbon dalam jumlah besar dilepaskan ke atmosfer, asalnya tidak diketahui dengan pasti. Suhu di seluruh dunia meningkat sekitar enam derajat Celsius, dan kandungan kimia air laut berubah secara drastis. Kedalaman laut menjadi sangat korosif sehingga di banyak tempat cangkang tak lagi menumpuk di dasar laut dan larut begitu saja. Teras-endapan periode ini terlihat sebagai lapisan tanah liat merah yang diapit dua lapisan putih kalsium karbonat. Banyak spesies foraminifera laut dalam yang punah.!break!

Anehnya, sebagian besar organisme yang hidup di dekat permukaan laut tampaknya melewati masa MTPE dengan baik-baik saja. Mungkin makhluk laut lebih tangguh daripada yang ditunjukkan hasil penelitian di tempat-tempat seperti Castello Aragonese dan Pulau One Tree. Atau mungkin MTPE, walaupun ekstrem, tidak seekstrem yang terjadi sekarang.

Lapisan sedimen tidak mengungkapkan kecepatan pelepasan karbon pada masa MTPE. Namun, penelitian dengan pemodelan menunjukkan bahwa kejadian itu berlangsung selama ribuan tahun—cukup lambat sehingga efek kimia dapat menyebar ke seluruh laut hingga ke bagian dalam. Laju emisi saat ini kira-kira sepuluh kali lebih cepat, dan tidak tersedia cukup waktu agar lapisan air dapat bercampur. Pada abad mendatang pengasaman akan terkonsentrasi di dekat permukaan, tempat tinggal sebagian besar pengapur bahari dan semua karang tropis. "Yang kita lakukan sekarang sangat istimewa secara geologi," ujar Andy Ridgwell, pakar iklim University of Bristol.

Masih mungkin untuk menghindari skenario pengasaman yang paling ekstrem. Namun, satu-satunya cara untuk melakukannya, atau setidaknya satu-satunya cara yang ditemukan orang sejauh ini, adalah memangkas emisi CO2 secara drastis. Pada saat ini, karang dan pteropoda harus berhadapan dengan ekonomi global yang dibangun dengan bahan bakar fosil murah. Bukan pertarungan yang seimbang