Laga Sang Kesatria Penantang Api

By , Kamis, 31 Maret 2011 | 15:49 WIB

Leonard tinggal bersama anak dan istrinya di Tangerang, sekitar 35 kilometer dari tempatnya bekerja. Ia bertugas di kantor pemadam tingkat kelurahan yang berkekuatan empat petugas setiap harinya dan satu mobil pompa berkapasitas empat ribu liter.

Lelaki tamatan SMA ini telah menekuni pekerjaan sebagai pemadam sejak dua puluh tahun yang lalu. Ia adalah salah satu dari sekian banyak pemadam yang mengikuti jejak keluarga. Kakeknya pernah bertugas di “Brandweer Batavia”, pasukan pemadam zaman kolonial di Jakarta. Kala kakeknya pensiun, lembaga pemadam masih bernama “Barisan Pemadam Kebakaran”. Sedangkan ayahnya pernah bertugas di pasukan dinas pemadam sejak 1970-an hingga wafat jelang pensiun 1991.

Meski dari keluarga pemadam kebakaran, menjadi seorang pemadam bukanlah cita-cita Leonard. Tadinya ia bercita-citanya sebagai pelaut. “Ayah saya dulu sebelum menjadi pemadam adalah seorang pelaut, sering pergi berbulan-bulan,” tuturnya. Khawatir akan meninggalkan keluarga dalam waktu lama, Leonard mengurungkan niatnya menjadi pelaut dan memantapkan pengabdian yang telah dirintis kakek dan ayahnya. Sepertinya jejak keluarga itu terus lestari karena ia berharap anak sematawayangnya yang lulusan SMA turut menapaki pekerjaan sebagai pemadam.

Salah satu yang membuat Leonard tetap nyaman sebagai pemadam adalah kesempatan libur dua hari setelah 24 jam piket jaga. Sejatinya bukan dua hari penuh libur yang ia dapat. Pada libur hari kedua ia wajib piket selama tiga jam. Ia menggunakan hari libur itu untuk lebih dekat dengan keluarganya. Bagi petugas lain, mungkin libur dua hari sangat berarti untuk mencari tambahan penghasilan di luar dinas.

Alasan menjadi pemadam bisa jadi berbeda untuk setiap petugas. Wahyudi, petugas dari Suku Dinas (Sudin) Jakarta Pusat punya alasan sendiri. Lelaki yang telah berkeluarga sejak tiga tahun yang lalu ini mempunyai pandangan bahwa pekerjaan termulia di dunia ini hanya ada tiga: guru, pemadam kebakaran, dan tukang pos.

Berangkat dari pemikiran itulah Wahyudi awalnya bercita-cita jadi guru. Setamat SMA ia melanjutkan ke UNJ Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan Bahasa Jerman. Namun, bahasa Jerman tak semudah yang ia bayangkan. Akibatnya tiga tahun berturut-turut indeks prestasinya di bawah cukup, sehingga ia dikeluarkan.

Suatu hari lowongan pemadam di harian ibu kota membulatkan impiannya untuk menjadi ksatria biru. Setelah serangkaian uji masuk dilalui, akhir 2004 ia sudah bertugas sebagai pasukan pemadam. Salah satu pekerjaan yang dianggapnya termulia itu sudah di bahu Wahyudi, menunggu darma menjaga ibukota.

Teman satu kompi dan satu angkatan Wahyudi, Jemi Berahim (31), berprinsip bahwa modal sukarelawan itu adalah ketulusan. Namun, ia terus terang bahwa untuk hidup orang perlu bekerja untuk mendapatkan uang. Lelaki yang bertugas di mobil ambulans dan masih berstatus sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI) ini berkisah tentang sosok pemadam kebakaran yang menginspirasinya waktu bertugas bersama saat bencana kebakaran. “Pemadam dan sukarelawan PMI sama-sama bertugas atas dasar prinsip kemanusiaan dan ketulusan,” imbuh Jemi sambil menatap tajam. !break!

Ketika berstatus pegawai tidak tetap, Wahyudi dan Jemi mencoba menerima apa adanya makna kehidupan dan menjalani dengan ikhlas. Saat itu mereka mendapat gaji sekitar Rp925 ribu per bulan. Bagi pegawai tidak tetap, satu-dua bulan tidak menerima gaji mungkin adalah hal biasa. “Waktu masih honorer, saya sering telat  terima gaji, tunjangan telat. Kadang gaji Januari baru dibayarkan Maret,” kenang Wahyudi.

Sejak pertengahan tahun lalu Wahyudi dan Jemi telah diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Kesejahteraan pun jadi lebih baik karena ada penyesuaian tunjangan. Pegawai yang telah menikah dan berstatus CPNS berkesempatan bermukim di asrama. Selain dekat dengan tempat bertugas, tinggal di asrama yang diresmikan pembangunannya oleh Gubernur Ali Sadikin awal 1970-an ini dirasa lebih sejahtera. Kini tak kurang dari 327 kepala keluarga mendiami banjar-banjar asrama dinas pemadam Jakarta Pusat dengan bangunan rumah dua lantai seluas tujuh puluh meter persegi.

Ada aturan tak tertulis bagi calon penghuni asrama. Setiap keluarga yang bermaksud ingin menempati asrama harus memberikan uang sekitar Rp3-5 juta kepada pemilik yang akan meninggalkan asrama itu. ”Yah, itung-itung membantu mereka yang sudah pensiun,” tukas Wahyudi ikhlas.

Petugas pemadam kebakaran adalah pekerjaan unik. ”Orang lain bekerja menghindari bahaya, tapi pemadam justru bekerja menghadang bahaya”, kata Wahyudi. Pendapatnya bukan tanpa alasan. Setiap menjalani tugas, seorang pemadam bak bergadai nyawa sejak berada dalam perjalanan, risiko konflik dengan warga atau preman setempat, hingga pemadaman di lokasi kebakaran.