Laga Sang Kesatria Penantang Api

By , Kamis, 31 Maret 2011 | 15:49 WIB

Sesampainya di lokasi kadang petugas disambut umpatan kekecewaan warga karena dianggap terlambat datang dan bekerja sangat lamban. Tak jarang petugas harus berhadapan dengan kepanikan warga yang cenderung brutal dan membahayakan jiwa petugas. ”Kalau pekerjaan berhasil tidak mendapat pujian, tetapi kalau pemadaman tidak berhasil dianggapnya kelalaian petugas, kurang cekatan, tidak bawa air,” ujar Widodo Ngadono (54) lelaki mantan pasukan pemadam yang kini menjadi polisi khusus pemadam.

Gatot Santoso (31) seorang pengemudi mobil pompa satuan Bantuan Operasional pernah dipaksa warga memasuki gang sempit. Awalnya lelaki mantan satpam ini menolak, namun seorang warga tiba-tiba mengancamnya dengan kalungan celurit. Gatot berat hati menyanggupi permintaan warga. Mobil pompa berhasil masuk ke permukiman meski rusak parah setelah menerobos gang sempit, melibas kandang ayam, dan merubuhkan gapura.

Kepanikan warga ketika kebakaran memang bisa dimaklumi para petugas. Namun kadang warga yang panik tersebut mengganggu usaha pemadaman dengan cara merebut selang dari tangan petugas. Kadang terjadi pertikaian antarwarga sendiri karena saling berebutan selang. Mereka yang berebut adalah warga yang rumahnya belum terbakar. Akibatnya selang dengan tekanan delapan bar terlepas dan meliuk-liuk tak terkendali, malah menimbulkan bahaya baru.

Tak hanya itu, kejadian lain yang menguji samudra kesabaran para pemadam adalah seringnya panggilan bencana kebakaran palsu. Sepanjang tahun lalu, setidaknya 8 kasus panggilan palsu per bulan di DKI Jakarta telah membuat petugas kerepotan. Operator radio di pusat komando kini lebih teliti jika menerima berita panggilan kebakaran yang masuk dari nomor 113. Untuk memperoleh data kejadian kebakaran yang valid, para petugas operator selalu menanyakan dengan detail  nama pelapor, nomor telepon yang bisa dihubungi, lokasi kebakaran, dan pokok benda yang terbakar.

Setimpalkah apa yang mereka terima dari perlakuan warga dibanding dengan darma yang telah mereka tunaikan? Jawabnya, petugas tak pernah berpikir tentang balasannya. Mereka hanya menjawab panggilan kemanusiaan untuk menolong. Ketulusan sudah menjadi tekad mereka. Namun masih saja ada warga yang mengira untuk memanggil bantuan petugas pemadam dibutuhkan biaya. Sikap warga tersebut membuat hati sebagian petugas sedih dan mengelus dada.

Tentu saja tak semua warga Jakarta bertabiat beringas dan susah diatur. Masih banyak warga di belahan Jakarta lainnya yang bekerja membantu pemadam. Contohnya saat warga Jatibaru memberikan beberapa kardus air mineral untuk meredakan rasa haus para petugas. Wahyudi juga mengisahkan ketika ia dan pasukannya tengah duduk letih di pinggir jalan usai pemadamaman di daerah dekat Stasiun Tanah Abang. Tiba-tiba seorang perempuan sebayanya menghampiri sambil memberikan sebungkus ongol-ongol, jajanan khas betawi. “Seorang gadis cantik memberikan bungkusan sambil mengucapkan terima kasih kepada saya dan berlalu begitu saja,” kenang Wahyudi. “Di tengah cacian warga yang tak puas dengan kinerja pemadam kebakaran, masih ada saja orang yang peduli dengan kami,” ucapnya haru.

Selain api, masih ada lagi musuh bebuyutan para ksatria. Seperti kisah pemadaman tragis yang hampir merenggut nyawa Solihin (24) di pagi buta empat tahun lalu. Derasnya air pancaran nozzle merobohkan atap seng dan tepat jatuh mengenai badan Solihin. Seketika itu pula timbul percikan api. Lelaki malang itu tersengat listrik dan langsung tak sadarkan diri. Tubuhnya jatuh menjuntai di rawa. Untuk beberapa saat jantungnya tak berdenyut. Pencurian listrik di perkampungan itu adalah penyebab kecelakaan yang dialami Solihin. Ia koma selama dua hari dan dokter telah memvonis hidupnya tak bertahan lama, kalau pun hidup ia akan mengalami cacat.

Solihin bersyukur, kini ia sudah kembali hidup sehat seperti sediakala. Pengalaman itu tak menyurutkan niatnya untuk kembali bertugas menjadi pemadam. ”Jujur saja, saya lebih suka ditugaskan di pasukan pemadam, senang membantu sesama meski nyawa taruhannya,” ujar lelaki yang kini dipindahkan ke staf bidang sarana.

Nyaris tewas dalam darma membuat Solihin menjadi salah satu petugas yang cukup beruntung. Dalam sepuluh tahun terakhir ini sudah enam orang petugas gugur dalam tugas. Sebagian besar dari mereka gugur ketika proses pendinginan setelah kobaran api berhasil dikuasai.

Mata berkaca-kaca selalu tampak di wajah seorang ibu ketika memandangi lemari yang memajang perlengkapan dinas almarhum putra tersayang, Sulistiyo Putranto. Lemari kaca itu diletakkan di teras rumah supaya siapa saja bisa menyaksikan dan mengenang laga terakhir Uwis, panggilan akrab Sulistiyo. Di dalamnya terdapat lukisan wajah almarhum, buku, kliping koran yang memuat berita tentang tragedi almarhum, seperangkat kemeja dinas lapangan, baret, jaket oranye khas pemadam yang tahan panas, helm, sepasang sepatu bot dan sepatu karet pemadam yang terakhir dipakai Uwis.

Upacara pemakaman Uwis dihadiri handai taulan hingga pejabat pemerintah DKI Jakarta. Jenazahnya diberangkatkan usai upacara penghormatan arwah yang diiringi lolongan nelangsanya terompet dan derap snare drum Korps Musik Pemadam Kebakaran. Kelabunya langit Jakarta dan layunya bunga wijayakusuma siang itu mengiringi Sang Ksatria Biru ke peristirahatan terakhirnya lebih setahun lalu.  Mendiang Uwis adalah anak laki-laki satu-satunya buah kasih pasangan Titin Sunarsih (47) dan Soegeng Warsoredjo (59). ”Yang namanya anak memang ngga bisa dilupain”, kata Titin di tengah isaknya. Sampai saat ini, perempuan ini mencoba untuk ikhlas. Sejak kecil Uwis memang bercita-cita mengikuti jejak ayahnya. ”Waktu kecil, sering pakai sepatu dinas bapaknya, ingin jadi pemadam seperti bapaknya,” kenang Titin yang dibesarkan di asrama pemadam.

Lelaki yang dikenal pendiam, sopan, dan suka menolong itu gugur di usia 24 tahun ketika sebuah bangunan semipermanen berlantai tiga di sebuah perkambungan kumuh Tambora runtuh menimpanya. Ayahnya yang melihat kondisi Uwis di lokasi kejadian tak kuasa menahan tangis. ”Pelipis terbakar, kepala memar, dan helm belakang pecah,” kenang Soegeng sedih.