Mimpi Hijau Sang Naga

By , Rabu, 25 Mei 2011 | 13:35 WIB

Rizhao, di Provinsi Shandong, adalah salah satu dari ratusan kota di China yang sedang bersiap untuk benar-benar tumbuh. Jalan ke kota itu lebarnya delapan lajur, kendati lalu lintasnya masih sepi. Pelabuhannya pun sangat ramai, banyak didatangi muatan bijih besi, membuat terminal kapal itu dijuluki “pangkalan Timur di jembatan baru antara Eropa dan Asia.” Sebuah poster besar mengimbau warga untuk “membangun kota beradab dan menjadi warga beradab.”

Dengan kata lain, Rizhao adalah jenis tempat yang sangat mencemaskan bagi ilmuwan di seluruh dunia. Pasalnya, ekspansi pesat dan kekayaan baru China kian melambungkan angka emisi karbon. Pertumbuhan seperti ini turut mendorong China menjadi sumber terbesar gas pemanasan global di dunia dalam dasawarsa terakhir, melampaui Amerika Serikat.

Namun, setelah makan siang di Hotel Guang­dian, kepala bagian teknis kota itu, Yu Haibo, mengajak saya ke atap restoran untuk memperoleh pemandangan lain. Pertama, kami memanjat ke atas sistem pemanasan surya hotel itu, deretan tabung vakum yang mengubah energi matahari menjadi air panas yang mampu mencukupi kebutuhan dapur dan 102 kamar. Lalu, dari tepi atap, kami menikmati pemandangan cakrawala kota yang meluas. Di atas setiap bangunan di sekitar kami, sejauh berblok-blok, ada deretan sistem pemanasan surya serupa. Sistem itu terpasang di setidaknya 95 persen bangunan, kata Yu dengan bangga. “Ada yang menyebut 99 persen, tapi saya sungkan mengatakan itu.”

Berapa pun persentasenya, hal itu me­ngesankan. China kini memimpin dunia dalam instalasi teknologi energi terbarukan—turbinnya paling banyak menangkap angin, dan pabriknya paling banyak memproduksi sel tenaga surya.Dulu kita memandang China sebagai “bahaya kuning” lalu “ancaman merah”. Kini warnanya hitam dan hijau. Sebuah lomba akbar telah dimulai, dan jika Anda tahu hasil lomba ini nanti berarti Anda tahu titik data terpenting abad ini. Hasil lomba itu akan menentukan separah apa pemanasan global kelak. Sekarang jawabannya masih di awang-awang.!break!

Pengunjung ke China tentu saja langsung tercengang melihat polusi yang menyelimuti setiap kota besar. Namun, perlahan-lahan langit kota sedikit lebih bersih, setidaknya di tempat seperti Beijing dan Shanghai, seiring industri berat dimodernkan atau dipindahkan keluar kota. Pemerintah juga telah menutup banyak pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang paling kecil dan kotor. Bahkan, negara itu kini terdepan di dunia dalam membangun hal yang dinamai insinyur sebagai pusat listrik superkritis, yang melepaskan asap jauh lebih sedikit daripada unit-unit raksasa yang masih beroperasi di AS. Agaknya China akan terus semakin bersih seraya semakin kaya.

Pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang paling efisien memang melepaskan lebih sedikit bahan partikel, belerang dioksida, dan nitrogen dioksida ke atmosfer, tetapi tetap menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah besar. Tak tampak, tak berbau, umumnya tak berbahaya bagi manusia—tetapi justru itulah yang memanaskan bumi. Semakin kaya China, semakin banyak pula karbon dioksida yang dihasilkannya karena barang-barang yang muncul seiring kekayaan biasanya memiliki tangki bensin atau steker listrik. Setiap kota di China dikelilingi toko peralatan rumah tangga; kalau dulu yang dijual kipas listrik, kini yang dipajang kursi pijat bergetar.

“Orang kini pindah ke apartemen yang baru direnovasi, jadi ingin kulkas baru yang cantik,” kata petugas toko kepada saya. Rumah tangga Shanghai rata-rata sudah memiliki 1,9 AC, belum lagi 1,2 komputer. Beijing menerima pendaftaran 20.000 mobil baru per bulan. Seperti yang disebutkan Gong Hui-ming, pejabat program transportasi di Energy Foundation nirlaba di Beijing: “Semua orang menginginkan kebebasan, kecepatan, dan kenyamanan mobil.”

Revolusi konsumen China itu baru saja dimulai. Pada 2007, China memiliki 22 mobil per 1.000 orang, dibandingkan dengan 451 di AS. Begitu meninggalkan kota besar, jalan raya biasanya lengang dan jalan kecil masih dipenuhi hewan yang menghela pedati. “Sejauh ini China berkonsentrasi terutama pada pengembangan industri,” ujar Deborah Seligsohn, yang bekerja di Beijing untuk World Resources Institute yang berpusat di Washington, D.C. Pabrik baja dan semen telah mengeluarkan banyak awan karbon, dan pemerintah berusaha menjadikan pabrik-pabrik itu lebih efisien. Seiring basis industri negara itu menjadi dewasa, pertumbuhannya pun akan melambat. Di sisi lain, tampaknya konsumen akan semakin cepat, dan tentunya orang Barat tak pantas mengecam itu.!break!

China telah memprioritaskan ekonomi rendah-karbon, namun semua orang tahu apa sebenarnya tujuan utama negara itu. Menurut kebanyakan perkiraan, ekonomi China perlu tumbuh sekurangnya delapan persen per tahun untuk menjamin stabilitas sosial dan kelanggengan kekuasaan komunis. Jika pertumbuhan menurun, warga China sangat mungkin memberontak; ada perkiraan bahwa setiap tahun sudah ada sampai 100.000 unjuk rasa dan mogok kerja. Sebagian besar memprotes pengambilalihan lahan, kondisi kerja yang buruk, dan upah rendah. Jadi harapan utama pemerintah adalah terus menyediakan pekerjaan bagus untuk menyerap penduduk yang masih mengalir dari provinsi

Namun, makin lama amarah warga China makin diarahkan ke rusaknya lingkungan yang diakibatkan pertumbuhan itu. Pada suatu perjalanan, saya berkendara melalui sebuah desa di utara Beijing dan melihat poster berjejer di jalan, mengutuk tambang emas baru yang merusak sungai. Beberapa kilometer kemudian saya sampai di tambang itu sendiri.

Sebelumnya pada hari itu kaum petani merusak lapangan parkir, memecahkan jendela, dan mencorat-coret dinding. Laporan yang disponsori pe­merintah China memperkirakan bahwa pe­nyalahgunaan lingkungan menurunkan pertumbuhan PDB negara itu sebesar hampir seperempat pada 2008. Angka resminya me­mang menyebutkan bahwa ekonomi China tumbuh kira-kira sepuluh persen per tahun, tetapi menangani udara dan air kotor serta ber­kurangnya lahan tani yang diakibatkan oleh pertumbuhan itu memangkas angkanya menjadi 7,5 persen. Pada 2005, Pan Yue, wakil menteri perlindungan lingkungan, berkata bahwa “mukjizat ekonomi China akan segera berakhir, karena lingkungan tak mampu lagi mengimbanginya.” Tetapi, upayanya untuk memasukkan angka “PDB hijau” ke dalam statistik resmi ditentang oleh Beijing.

“Pada dasarnya,” kata seorang pejabat di Beijing yang tak mau disebut namanya (mengingatkan kita betapa sensitifnya topik ini), “China mencari setiap tetes bensin—setiap kilowatt dan setiap kilojoule yang bisa diperolehnya—demi pertumbuhan.” Jadi se­karang pertanyaannya, seperti apa wujud pertumbuhan itu kelak?Salah satu wujudnya sekarang adalah: besar dan kosong. Ordos, di Mongolia Dalam, mungkin kota yang tumbuh tercepat di China. Menurut standar China pun, kota itu memiliki banyak derek konstruksi yang membangun banyak blok apartemen.!break!

Alun-alun kota tampak seluas Lapangan Tiananmen di Beijing, dan patung-patung Genghis Khan yang menjulang tinggi dari padang semen, membuat beberapa wisatawan yang berjalan ke sana tampak kerdil. Ada teater baru yang besar, museum modernis, perpustakaan luar biasa yang mirip buku bersandar. Dubai-di-stepa ini dibangun oleh batu bara. Wilayah ini memiliki seperenam total cadangan batu bara China, dan karenanya pendapatan per kapita kota itu naik menjadi $20.000 pada 2009 (pemerintah daerah menetapkan sasaran $25.000 sebelum 2012). Ini jenis tempat yang memerlukan ahli lingkungan.

Di Baotou, kota tetangga, pusat pembuatan baja yang tambangnya juga memasok setengah mineral tanah jarang di bumi (lihat halaman 118), saya mendapati Ding Yaoxian berada di kantor pusat organisasi nirlaba Baotou City Environment Federation, yang bermain bulu tangkis di mezanin. Direktur Ding adalah salah satu orang China paling ceria dan menarik yang pernah saya temui. Selama ini dia membutuhkan seluruh karismanya untuk membangun aso­siasinya menjadi kekuatan yang nyata, yang me­nurut perhitungannya beranggota sejuta warga di wilayah itu. Mereka, yang diberi kartu identitas hijau kecil, menjadi semacam kesatuan polisi sukarela. “Jika anggota asosiasi ini melihat orang membuang sampah sembarangan, dia duduk di ambang pintu pembuang sampah itu,” kata Ding. “Pemerintah tak bisa punya mata di semua tempat. Organisasi relawan bisa memberi tekanan lebih. Bisa menyentil rasa malu orang.”

Namun, kelompok itu paling sering meng­utamakan kampanye yang memperjelas bahwa kepedulian lingkungan di China masih sangat baru. Mereka membagikan sejuta kantong belanja pakai-ulang—tapi juga ratusan ribu gelas kertas lipat kecil, supaya orang berhenti meludah di jalan. Satu kemenangan kecil: Saat menunjukkan ratusan ribu unit kondominium baru, dulu agen real estat biasa memberi sepatu plastik kepada konsumen untuk melapisi sepatu kotor; kini mereka menyediakan kaus kaki kain yang bisa dicuci.

Asosiasi itu telah mencoba memperkenalkan konsep obral rumah, padahal negara itu memiliki stigma soal barang bekas. Anggota asosiasi berupaya keras mengajari orang Mongolia Dalam dengan tersenyum. “Di Barat, orang bahagia dan tersenyum, dan itu membuat orang merasa positif,” kata Ding. Wakilnya, Feng Jingdong, menambahkan, “Gunakan kepribadian Anda agar orang bersenang-senang sendiri, daripada menggunakan sumber daya.” Kami bertiga sedang makan siang di restoran dekat situ, dan setelah selesai, Ding memastikan sisa makanan kami dibungkus. “Ini salah satu kampanye kami. Sebelumnya, orang malu meminta itu.”!break!

Ada satu hal yang benar-benar menandakan bahwa kesadaran lingkungan sudah lama ada di wilayah itu: kampanye penanaman pohon besar-besaran yang dirancang untuk mempertahankan tanah yang rapuh. Truk bak datar yang ber­muatan bibit adalah pemandangan yang paling umum kedua di jalan daerah. Ding memperkirakan dia telah menanam 100.000 pohon dengan tangannya sendiri. “Dulu di sini sangat berdebu, sering dilanda badai pasir,” katanya. “Tetapi tahun lalu 312 hari di antaranya berlangit biru, dan tiap tahun makin banyak.”

Untuk lebih meyakinKAN diri bahwa pertumbuhan China yang meledak ini me­ngandung benih kesadaran lingkungan yang nyata, saya ber­kendara 275 kilometer ke selatan Beijing menuju kota Dezhou. Saat menyusuri jalan raya 104, tiba-tiba saya melihat salah satu gedung paling luar biasa di dunia, Sun-Moon Mansion. Gedung itu mirip pusat konvensi yang dikelilingi cincin Saturnus, jalur-jalur besar panel surya yang memenuhi kebutuhan air panas dan listriknya. Di belakang hotel itu, gedung serupa ditempati oleh kantor pusat Himin Solar Corporation, yang mengklaim telah memasang energi terbarukan lebih banyak daripada perusahaan lain di Bumi.

Produk utama Himin adalah tabung pemanasan surya sederhana yang menutupi atap-atap di Rizhao. Huang Ming, yang mendirikan perusahaan itu, memperkirakan bahwa mereka telah mendirikan lebih dari 14,5 juta meter persegi pemanas air surya. “Itu berarti 60 juta keluarga, mungkin total 250 juta orang—hampir sebanyak penduduk Amerika Serikat,” katanya. Huang, mantan insinyur minyak yang ceria dan bercelana hitam pudar gaya Dockers, menjual sebagian sistem pemanasan surya terbaik di China, tetapi dia pun mengakui bahwa teknologinya cukup sederhana. Menurutnya, kunci kesuksesan perusahaannya adalah membuka pikiran orang melalui kampanye pemasaran yang membangkitkan semangat. “Kami melakukan promosi keliling, penyuluhan, dan presentasi PowerPoint,” ujarnya.

Ruang peraga perusahaannya menangkap beberapa kontradiksi. Panel surya memanaskan air untuk bak mandi dan masing-masing memiliki TV layar datar raksasa di atasnya. Namun, itulah satu-satunya cara menjual gagasan energi terbarukan, Huang bersikeras saat menjelaskan menara apartemen raksasa yang akan dibangunnya di pinggir kota, dengan rak-rak panel surya yang melengkung bak punggung naga. “Begitu banyak pengembang datang ke Solar Valley kami untuk meniru kami, belajar dari kami. Itulah yang saya inginkan.”!break!

Dia senang bahwa sebagian pengunjung itu berasal dari luar negeri. Dezhou menyelenggarakan International Solar Cities World Congress 2010, dan dia menyiapkan rumah pakar-internasional bagi tokoh-tokoh yang berkunjung. “Jika semua warga AS menikmati air panas surya, Obama pasti menang lima Penghargaan Nobel!” katanya. Tetapi, itu perlu waktu lama. Sebagian besar kapasitas AS yang kecil digunakan untuk memanaskan kolam renang.

Bukan sekali ini saja orang China men­contoh keunggulan Amerika kemudian mengembangkannya sendiri. Suntech muncul sebagai salah satu dari dua pembuat panel fotovolta surya terdepan di dunia. Setiap minggu ada karyawan baru. Seorang pemandu muda yang mengantar saya berkeliling kantor pusat perusahaan di Wuxi, dekat Shanghai, berhenti di samping foto panel surya di kamp kaki Gunung Everest dan foto atasannya, Shi Zhengrong, “pahlawan lingkungan” versi majalah Time. “Ini bukan cuma pekerjaan,” katanya dengan mata berlinang. “Saya punya... misi!”

Tentu saja, air mata itu mungkin disebabkan sebagian oleh udara. Wuxi termasuk kota terkotor yang pernah saya kunjungi: Udara sepanas 38 derajat Celsius hampir mustahil digunakan bernapas. Deretan panel surya yang membentuk bagian depan kantor pusat Suntech berposisi miring agar menangkap sinar matahari. Gara-gara udara yang kotor, alat itu hanya beroperasi 50 persen dari potensi yang sesungguhnya dimilikinya.!break!

Pada akhirnya, anekdot hanya memberi informasi terbatas. Di China, data pun biasanya men­curigakan karena pejabat setempat men­dapat insentif besar untuk mengirim laporan yang berbunga-bunga ke Beijing. Tetapi, inilah yang kita ketahui: China sedang tumbuh dengan laju yang belum pernah dialami negara besar, dan pertumbuhan itu membuka peluang-peluang nyata bagi kemajuan lingkungan. Karena membangun begitu banyak gedung dan pembangkit listrik baru, negara itu lebih mudah memanfaatkan teknologi baru daripada negara yang ekonominya lebih dewasa. Misal­nya, sekitar 25 kota kini membangun atau memperluas jalur kereta bawah tanah, dan jalur rel kecepatan tinggi menyebar ke segala arah. Semua pertumbuhan itu memerlukan banyak baja dan semen yang melepaskan karbon.

Namun, upaya pelestarian lingkungan ini terkalahkan oleh skala pertumbuhan berbahan bakar batu bara yang tinggi. Jadi, sementara ini, emisi karbon China akan terus membubung. Saya berbicara dengan puluhan pakar energi, dan tak satu pun meramalkan emisi akan mencapai puncak sebelum 2030. Apakah ada hal yang dapat mempercepat datangnya 2030 itu secara drastis? Saya menanyai seorang pakar yang memimpin program energi bersih. “Semua orang mencari jalannya, tapi belum ada yang melihatnya,” katanya.

Bahkan, mencapai puncak 2030 pun mungkin tergantung sebagian pada kecepatan adopsi teknologi yang menyingkirkan karbon dioksida dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Ketika saya bertanya kepada seorang ilmuwan yang ditugasi mengembangkan teknologi seperti itu, dia berkata bahwa sebelum 2030 China mungkin menguburkan dua persen karbon dioksida yang dihasilkan pembangkit listriknya. Ini berarti, menimbang ramalan para ilmuwan sekarang tentang kerangka waktu perubahan iklim, kesadaran lingkungan di China mungkin akan terlambat untuk mencegah pemanasan yang lebih drastis, serta pelelehan gletser Himalaya, kenaikan permukaan air laut, dan kengerian lain yang telah lama ditakuti ahli cuaca China.Gambarannya suram. Untuk mengubah secara nyata diperlukan perubahan di luar China—yang terpenting, semacam ke­sepakatan internasional yang mengubah ekonomi karbon.

Saat ini China melakukan perlindungan lingkungan yang cocok dengan ekonominya. “Buat apa mereka membuang energi?” tanya Deborah Seligsohn dari World Resources Institute. Ia menambahkan bahwa jika AS mau berubah secara fundamental—berkomitmen melakukan reduksi besar—China akan melihat ke luar kepentingan dalam negerinya dan mungkin melangkah lebih jauh. Mungkin China akan menyambut perubahan yang lebih mahal dan cepat. Sementara ini, pertumbuhan China akan terus melesat maju, nyala api memercikkan warna hijau, tetapi berkobar dengan panas amat besar. “Mengubah pikiran orang itu tugas besar,” kata Huang Ming kala kami duduk di gedung Sun-Moon Mansion. “Kita perlu waktu, kita perlu bersabar.

Tapi situasinya tak mau memberi kita waktu.” Di lantai bawah, dia telah membangun museum patung-patung torso dan lukisan tokoh dunia favoritnya: Voltaire, Brutus, Molière, Michelangelo, Gandhi, Pericles, Sartre. Jika dia—atau orang lain—entah bagaimana dapat membantu hijau mengalahkan hitam dalam lomba akbar China ini, dia layak diberi tempat agung hampir di jajaran depan tokoh-tokoh itu.