Baghdad Selepas Badai

By , Senin, 4 Juli 2011 | 13:23 WIB

Saya kembali ke Baghdad bukan untuk menjadi “turis perang”, yang memandangi bayangan panjang yang dibentuk trauma. Akan tetapi, sulit untuk tidak melakukan itu. Saat terakhir kemari, saya mengenakan seragam loreng gurun dan membawa karabin M4 sebagai sersan di Angkatan Darat AS. Itu tahun 2003 dan 2004, ketika di Irak ada sekitar 150.000 tentara AS. Pada tahun-tahun setelahnya, saya sering bertanya-tanya seperti apa rasanya menjadi orang Irak yang berjuang untuk memperoleh kembali kehidupan mereka. Saya juga bertanya-tanya bagaimana rasanya menapaki jalan Baghdad tanpa rompi antipeluru tersandang di dada.

Waktu itu unit saya mengawal konvoi logistik yang panjang mengular di kota. Pemberontak melancarkan sergapan yang rumit, mengendarai mobil yang penuh peledak. Pemimpin pasukan kami pernah berseru kepada saya dan penembak bersenapan mesin agar tiarap di posisi kami di pintu belakang kendaraan Stryker—dan tiba-tiba peluru mortir meledak di udara, menimbulkan hujan pecahan peluru yang mematikan. Kendaraan kami menembus badai logam, dengan jantung bertalu-talu di. Ingatan seperti ini berputar kembali dalam benak saya sementara kami berkendara di kota, dan sesaat saya membayangkan kembali ke Baghdad seperti hantu yang gentayangan di dunia yang pernah ditinggalinya.

Tetapi, ini bukan Baghdad yang dulu saya kenal. Di tepi Jalan Abu Nuwas di dekat Sungai Tigris, yang dulu setiap hari diancam tembakan penembak jitu, bunyi perang telah digantikan suara anak-anak yang bermain sepak bola di lapangan rumput. Di Jalan Haifa, yang dilanda pertempuran sektarian yang sengit dari 2006 hingga 2008, para pemuda berhenti sejenak di pintu pasar setempat untuk menyelesaikan percakapan, sementara musik pop Irak terdengar ingar-bingar dari radio kompo. Di dekat universitas, beberapa gadis tertawa sambil mendekap buku teks dan buku tulis. Di mana-mana di Baghdad terdengar bebunyian kota yang memperoleh kembali suaranya.

Ketika turun dari pesawat, saya tidak tahu apa yang akan saya temukan. Saat itu Desember 2010. Benak saya dipenuhi berita tentang pembunuhan bertarget dengan pistol yang dilengkapi peredam. Saya tak bisa mengusir kemungkinan saya diculik. Tetapi, saya ingin tahu bagaimana nasib kota ini, tempat saya dulu berperang. Jika ingin bertemu Baghdad yang baru, saya harus menepiskan kebiasaan dan kenangan lama itu.!break!

Kota BertembokPada hari pertama kembali di sini, saya membentangkan peta kota di atas meja di pekarangan dalam yang teduh. Peta itu sudah tidak mutakhir lagi, bertaburan bulatan tempel warna merah dan biru di berbagai bagian kota. Banyak nama lingkungan yang berubah sejak serbuan. Misalnya Kota Saddam, demikian tercantum di peta tua saya, kini disebut Kota Sadr, menuruti nama mendiang pemimpin Syiah, Muhammad al Sadr.

Bulatan-bulatan itu membentuk pola umum ketika saya mundur untuk melihat gambaran besarnya: biru di satu sisi, merah di sisi lain; kaum Syiah mendominasi tepi timur Sungai Tigris, kaum Sunni berkumpul di barat. Kaum Sunni telah mendesak lebih jauh ke barat, sementara kaum Syiah menembus ke lingkungan-lingkungan di tepi sungai. Meski masih ada beberapa lingkungan campuran, Baghdad sudah bukan lagi kota sekuler teladan di Timur Tengah, seperti yang dulu disebut orang Irak dengan bangga. Kekerasan bertahun-tahun telah menciptakan lanskap baru yang dibatasi oleh suku dan agama.

Dengan penduduk hampir enam juta jiwa, Baghdad telah menjadi kota berisi kantong-kantong bertembok yang diatur oleh tentara Angkatan Darat Irak, polisi federal, polisi lokal, satpam swasta, dan kelompok lainnya seperti Sons of Iraq. Demarkasi dibentuk oleh tembok beton antibom yang dikenal sebagai tembok-T karena bentuknya mirip huruf T raksasa terbalik. Bendera agama berkibar dari atap, masjid, dan persimpangan di wilayah dominasi Syiah. Lingkungan Sunni ditandai oleh tak adanya bendera.Juru bahasa saya, Yousif al-Timimi, berkata “Amerika tidak mendatangkan demokrasi. Amerika membawa tembok.”!break!

Taksi SungaiSuatu pagi saya naik taksi air di Sungai Tigris bersama tukang perahu bernama Ismail, yang bercerita bahwa dia mewarisi pekerjaan ini dari ayahnya, dalam tradisi yang turun-temurun beberapa generasi. Sementara dia mengatur baling-baling dengan tangan kiri dan berkisah tentang hidupnya, saya berusaha tak menghiraukan kenyataan bahwa kami berada di tempat terbuka, tanpa perlindungan, dan bahwa penembak jitu bisa saja sedang bersembunyi, memperhitungkan faktor-faktor yang bisa memengaruhi tembakannya.

Jadi, saya berfokus pada Sungai Tigris yang berkelok-kelok menembus jantung Baghdad. Sungai itu lebar, dengan permukaan sederhana, sungai bersejarah yang tidak berkoar-koar tentang kepiluan kukuh yang mengalir di kedalamannya. Pada musim dingin 1258 M, ketika bangsa Mongol menjarah Baghdad di bawah Hulegu Khan, kota itu dan warganya diterpa kehancuran besar. Baitul Hikmah, atau Rumah Kearifan, dijarah, isinya dibuang ke Sungai Tigris—traktat dan risalah filsafat, seni, puisi, kitab sejarah, karya ilmiah dan matematika—kekayaan intelektual berabad-abad. Konon Sungai Tigris mengalir hitam karena tinta.

Baru-baru ini, aliran sungai itu membawa mayat. Pada musim dingin 2004 tentara dari batalion saya naik perahu berlunas datar untuk mencari pulau di hulu kota Mosul. Perahu itu terbalik, dan karena diberati perlengkapan, seorang tentara dan tiga orang polisi Irak menghilang ke dalam air. Kompi saya turut membatasi tepi sungai supaya perahu patroli dan penyelam Angkatan Laut dapat mengambil jenazah mereka. Sebelum menemukan keempat korban itu, tim pencari mengangkat jasad mahasiswa dari Kirkuk dan polisi Irak yang sebenarnya tidak sedang dicari. Sementara saya duduk di taksi air Ismail, saya ragu-ragu hendak mengulurkan tangan dan mencelupkan tangan ke air. Sungai Tigris telah menjadi semacam kuburan; layak diperlakukan dengan takzim.

Saya mengambil beberapa foto. Tiba-tiba beberapa tentara Irak muncul dari posnya di bawah pangkal jembatan dan menyuruh kami merapat. Kami hanya berpakaian dalam panjang dan merasa bingung, lalu ditahan sebentar dan ditanyai oleh komandan setempat. Dia me-larang kami memotret jembatan lagi, lalu membebaskan kami. Seorang tentara mendesak saya ikut makan telur orak-arik dari piringnya. Dia merobek rotinya jadi dua, lalu menjejalkan sepotong ke tangan saya sambil tersenyum.Setelah kembali di Sungai Tigris, Ismail bercerita bahwa minggu lalu ada peristiwa yang melibatkan bom “lengket” bermagnet, dan mungkin juga melibatkan taksi air. Militer Irak mengawasi sungai dengan waspada. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana Ismail bisa mencari nafkah dalam keadaan seperti itu.!break!

Jalan Al MutanabbiSeekor burung kecil bertengger dalam sangkar di luar pintu kafe Syahbandar di Jalan Al Mutanabbi, tempat penyair dan filsuf menampik tawaran bermain catur demi keasyikan berbincang, berdebat, dan memikirkan hal-hal intelektual. Sementara saya duduk di sebelah Mohammed Jawad, dosen biologi berusia 63 tahun, mau tak mau saya memerhatikan foto berpigura yang menampilkan korban pemboman 2007 yang menewaskan puluhan orang di dalam dan luar warung kopi itu. Ketika saya tanya tentang serangan itu, Jawad berkata, “Pemboman ini ibarat lingkaran di pohon. Apa namanya? Lingkaran tahun?” Saya mengangguk sementara dia melanjutkan. “Pohon mengalami kebakaran dan kekeringan. Ini masalah naik-turun zaman saja. Lingkaran tahun menunjukkan masa baik dan masa buruk. Sekarang ini masa buruk, tetapi semuanya bagian dari masa pertumbuhan pohon itu.” Dia berhenti sejenak, menyesap chai. “Sesungguhnya, sejarah dibentuk oleh perang.”

Kemudian, saat saya menapaki Jalan Al Mutanabbi, yang meja-mejanya memajang tumpukan buku puisi dan buku pelajaran untuk dijual, saya memerhatikan orang-orang yang beraktivitas di sana melirik saya sekilas dengan garang. Saat itu hari Sabtu, sekitar tengah hari, dan jalan itu ramai tetapi tidak berjubel. Meski mula-mula tak saya sadari, ada sesuatu dalam diri saya yang muncul kembali. Saya mendapati diri saya berputar perlahan dengan mulus sambil berjalan—saya mengamati pemandangan di belakang untuk mengetahui apakah ada ancaman. Kebiasaan yang sudah hampir saya enyahkan di Amerika. Saya berusaha tampak santai, seolah-olah hanya ingin tahu tentang buku yang baru saya lewati, tetapi sebenarnya secara naluriah saya telah kembali ke masa saat menjadi anggota patroli jalan kaki. Siapa yang ternyata saya pergoki sedang membuntuti saya? Seorang penyair, yang hanya ingin melanjutkan percakapan yang kami awali di kafe.