Baghdad Selepas Badai

By , Senin, 4 Juli 2011 | 13:23 WIB

“Tentu saja, saya penyair,” katanya. “Di negara seperti ini, apa lagi yang dapat dikerjakan selain menulis puisi?”

Di Lapangan Firdos, hantu Saddam Hussein melayang di atas alas, tempat patungnya ditumbangkan. Itulah peristiwa yang begitu terkenal di Irak. Begitu banyak orang di sini yang mengatakan bahwa meski ingin Saddam digulingkan, mereka merindukan cita-cita besar semasa kepemimpinannya, ketika hal-hal sulit terasa mungkin diraih. Setelah sebuah jembatan di Sungai Tigris dibom pada serangan udara 1991 saat Perang Teluk, misalnya, Saddam bersumpah bahwa jembatan itu akan berfungsi lagi dalam waktu sebulan. Tenggat yang berani, yang menurut warga setempat berhasil dipenuhi oleh tim konstruksi. Sebaliknya, masjid Saddam di kota tidak kunjung selesai setelah sepuluh tahun lebih. Tiang beton besar dan besi tulangan menjulang, sementara kubah yang semestinya ditopang di situ hanya ada di cetak biru.

Klub Privat Malam ini saya mendapati diri saya mengisap syisya, atau hokah, yang diisi tembakau rasa mentol, di Klub Al Alawiyah di dekat Lapangan Firdos. Mewah. Setelah melewati labirin tembok antibom dan petugas satpam yang bosan, saya duduk di gazebo besar di dekat air mancur yang diterangi lampu berfilter biru. Seorang lelaki berpakaian necis dan berwajah serius mengisap syisya dua meja dari saya. Menurut gosip, dia jenderal Angkatan Darat Irak yang lebih suka mengisap syisya sendirian daripada pulang ke istrinya. Saya diberi tahu ini oleh Rawaa al-Neaami, wanita pengusaha yang mengundang saya ke klub ini.

Al-Neaami memakai celana jin yang dimasukkan ke sepatu bot kulit hitam, blus berumbai, dan anting besar. Rambutnya dipotong pendek dan diwarnai macam-macam. Dia telah mendirikan LSM di Baghdad untuk memberdayakan kaum muda. Kelas di sekolahnya termasuk yoga, tari dramatis, pembuatan film, desain grafis, dan penulisan kreatif. “Saya meyakini bahwa keterampilan memiliki peran penting dalam pengembangan diri murid. Bahkan, keterampilan adalah jiwa hidup kita,” katanya. “Inilah jihad sesungguhnya. Jihad sejati tidak berarti saya harus memanggul senjata dan membunuh.” Dia bercerita, proyek terbarunya melibatkan kunjungan ke pusat tahanan remaja di Baghdad untuk menyemangati kaum muda melalui seni. Usia tahanan di sana berkisar 5 hingga 18 tahun. Banyak anak yatim-piatu yang dihasilkan oleh kekerasan sektarian bertahun-tahun. !break!

Tempat Pangkas RambutSuatu malam saya ingin memangkas rambut di Jalan Al Karradah. Sewaktu saya di sini sebagai tentara, kami bertiga pernah meninggalkan rumah tempat kami mendirikan pos pengamatan, untuk membeli satu balok es dari truk antar. Waktu itu bulan Agustus, dan kami tidak melihat truk. Tetapi, dalam perjalanan kembali ke rumah, kami melewati tempat pangkas rambut, dan saya berkata bahwa rambut saya sudah waktunya dipangkas.

Dengan situasi keamanan pada 2004, duduk di tempat pangkas rambut yang berjendela kaca adalah tindakan konyol. Tetapi, saya masuk sementara pemimpin regu dan rekan saya berjaga di trotoar. Satu-satunya pelanggan lain adalah dosen pengangguran yang fasih berbahasa Inggris. Saya menyandarkan senjata dalam jangkauan, duduk, dan berbincang hangat dengan dosen itu, sementara si tukang pangkas bekerja.

Meski perbincangan kami hangat, di sudut benak saya terbayang beraneka ragam skenario berbahaya. Jendela kaca yang menghadap jalan adalah undangan bagi kami semua untuk masuk berita obituari di kampung halaman. Ketika tukang pangkas mengerik rambut di tengkuk dengan pisau cukur, saya waspada terhadap setiap nuansa yang ada saat itu. Ketegangan yang teredam tapi nyata itu terasa memenuhi udara. Sekarang, saya duduk di tempat pangkas rambut yang ramai dan terang-benderang. Suasananya santai, bahkan ceria. Saat itu matahari telah terbenam, dan di luar, lelaki dengan gerobak dorong mengiris daging tipis-tipis dari alat panggang untuk membuat shawarma, semacam roti lapis. Asap harum melayang di sepanjang trotoar yang ramai. Sementara rambut berjatuhan ke lantai, saya sangat menyadari bahwa bagi sebagian orang di situ, saya mulai semakin mirip tentara, seperti sosok diri saya dahulu.!break!

Baghdad yang BaruSebelum meninggalkan Baghdad, saya singgah di distrik Al Karradah untuk membeli hokah buatan Irak. Sambil menyeberangi lalu lintas awal petang, saya menyadari betapa bergairahnya kehidupan jalan. Pintu toko dibiarkan terbuka. Pengecer busana kelas atas menampilkan lini produk pakaian terbaru pada maneken tak berkepala di etalase. Toko mainan, toko perangkat keras, toko ponsel, toko bahan makanan setempat—kegiatannya sibuk dan meriah, tidak hanya di antara pedagang kaki lima tetapi juga di kalangan pedagang mapan.

Meski demikian, baru kemarin sebuah regu mortir menyerang acara Syiah di Baghdad, melukai lima orang. Ada bom meledak di dekat masjid di distrik Al Utayfiyah, mencederai tiga orang. Di Mosul, ada jenazah perempuan ditelantarkan di jalan. Ketika berbicara dengan orang-orang di sini, saya mengenali rasa frustrasi yang menumpuk bertahun-tahun dalam suara mereka. Namun, saat melihat-lihat di ber-bagai lingkungan kota, di balik tembok T dan helikopter Huey yang berpatroli di angkasa, saya juga melihat pembaruan dan pertumbuhan.

Dalam diri saya juga ada yang berubah. Seiring berlalunya hari, adrenalin yang menyertai saya telah mereda. Sekarang saya dapat melihat lebih jelas bahwa Baghdad sedang berubah menjadi versi baru—bukan tempat yang didefinisikan oleh perang, tempat wartawan dan pecandu bahaya menjajakan barang, melainkan tempat yang lebih mudah dihuni. Meskipun jelas akan perlu waktu, dan konsekuensi perang akan meninggalkan jejak yang tak pernah luntur, Baghdad telah mulai menciptakan kembali dirinya sebagai kota yang agung.