Bahtera Pangan

By , Senin, 4 Juli 2011 | 13:47 WIB

Tetapi revolusi hijau juga mendatangkan kerugian. Seiring waktu, para petani menjadi tergantung pada varietas tanaman unggul yang mu-dah beradaptasi, sehingga menganaktirikan varietas-varietas yang telah beradaptasi dengan kondisi setempat. Memang, menanami ladang yang luas dengan satu jenis benih yang secara genetis seragam dapat membantu menggenjot hasil panenan dan dengan cepat menangkal ancaman kelaparan. Tetapi varietas unggul juga lebih lemah secara genetis sehingga membutuhkan pupuk kimiawi yang mahal dan pestisida beracun. Masalah yang sama juga berlaku pada hewan ternak unggul, yang sering kali membutuhkan pakan dan perawatan medis mahal untuk bertahan dalam iklim asing. Dorongan untuk meningkatkan produksi telah menggusur varietas lokal, dan dalam prosesnya me-lemahkan keanekaragaman genetis hewan ternak. Sebagai hasilnya, suplai pangan dunia menjadi sangat tergantung pada daftar hewan ternak yang semakin pendek dan dirancang untuk memperoleh hasil maksimal: ayam Rhode Island Red, babi Large White, sapi Holstein. Singkat kata, dalam mencapai tujuan untuk meningkatkan produksi pangan kita saat ini, tanpa sengaja kita telah menempatkan diri kita dalam risiko kekurangan pangan di masa depan.

Upaya yang ada saat ini untuk meningkatkan produksi pangan di negara berkembang—terutama di Afrika, yang secara umum diterjang oleh revolusi hijau—hanya akan mempercepat laju lenyapnya bibit tanaman dan hewan ternak di masa depan. Di kantong-kantong Afrika, tempat benih dan bibit unggul diperkenalkan, hasilnya bermacam-macam. Neara-negara seperti Zimbabwe, Zambia, dan Malawi harus mengorbankan sebagian besar keanekaragaman pertaniannya untuk varietas impor yang lebih seragam dan unggul, hasil subsidi program-program pemerintah yang disediakan oleh organisasi-organisasi donor. Para petani dan peternak kecil terjerat utang untuk membayar “bahan asupan”—pupuk, pestisida, pakan kaya protein, dan obat-obatan—yang diperlukan untuk menanam bibit dan memelihara ternak pada kondisi iklim yang berbeda. !break!

Salah satu respons terhadap berkurangnya keanekaragaman hayati di ladang kita adalah dengan sebisa mungkin mengumpulkan dan me-nyimpan baik-baik benih berbagai varietas tanaman sebelum punah. Gagasan ini pertama kali diungkapkan oleh seorang ahli botani Rusia bernama Nikolay Vavilov, yang pada 1926 barangkali memperoleh firasat ilmiah tentang era modern. Sebagai putra pedagang Moskow yang dibesarkan di desa miskin yang berkali-kali mengalami gagal panen dan dikenai pembatasan makanan, sejak kecil Vavilov telah terobsesi un-tuk mengakhiri kelaparan di Rusia dan dunia. Pada 1920-an dan ’30-an, dia mengabdikan diri untuk mengumpulkan berbagai macam benih dari lima benua—dari tumbuhan liar hingga varietas yang tidak dikenal dari tumbuhan yang kita makan—dalam rangka melestarikan gen-gen yang memiliki ketahanan terhadap penyakit dan hama, dan kemampuan untuk bertahan di kondisi iklim yang ekstrem. Dia juga mendirikan sebuah institut (kini bernama Research Institute of Plant Industry, di St. Petersburg) untuk menyimpan koleksinya yang makin meng-gunung—yang dikenal sebagai bank benih global pertama.

Dalam salah satu ekspedisinya ke Abyssinia (kini Etiopia) pada 1926, Vavilov membayangkan dirinya berada di tempat yang cukup tinggi untuk melihat beberapa lokasi di Bumi, tempat varietas liar dari tumbuhan sumber pangan kita pertama kali didomestikasi. Sesudahnya, dia memetakan tujuh “pusat asal mula tanaman budi daya” yang digambarkannya sebagai tanah kelahiran pertanian tradisional. “Kita bisa me-nyaksikan di sana,” tulis Vavilov, “peran besar yang dimainkan manusia dalam memilih budi daya yang paling sesuai bagi setiap kawasan.”

Gagasan Vavilov mengalami modifikasi bertahun-tahun kemudian. Saat ini, para ilmuwan menganggap wilayah-wilayah yang ditandainya tidak sebagai asal muasal tetapi pusat keanekaragaman, karena tidak bisa dipastikan apakah praktik pembudidayaan pertama terjadi di sana. Tetapi, pendapat Vavilov mengenai wilayah-wilayah pusat keanekaragaman genetis yang menjadi tempat bergantungnya persediaan pangan di masa depan telah terbukti tepat.Saat ini, terdapat sekitar 1.400 bank benih di seluruh dunia. Yang paling ambisius adalah Svalbard Global Seed Vault, yang baru didirikan dalam suhu dingin abadi di bawah gunung kapur Pulau Spitsbergen di Norwegia, hanya 1,13 kilometer dari Kutub Utara. Dimulai oleh Cary Fowler bersama Consultative Group on International Agricultural Research, tempat yang bisa disebut sebagai bungker hari kiamat ini me-rupakan cadangan dari semua bank benih lainnya di dunia. Kopi dari koleksi mereka disimpan di suatu tempat yang terletak 122 meter di bawah permukaan laut, dengan suhu dingin permanen dan bebas-gempa, sehingga benih-benih di dalamnya akan tetap kering walaupun es di kutub mencair.

Fowler’s Global Crop Diversity Trust baru-baru ini mengumumkan hal-hal yang dibutuhkan untuk melakukan rekapitulasi terhadap ekspedisi-ekspedisi pengumpulan benih yang dilakukan Vavilov di seluruh dunia: rencana penyisiran Bumi selama sepuluh tahun guna mencari sisa-sisa terakhir varietas gandum, padi, jelai, lentil, dan kacang arab liar sebagai “penguatan bidang pertanian terhadap perubahan iklim.” Pencarian besar-besaran ini dilakukan dengan harapan agar para ilmuwan bisa menurunkan sifat-sifat vital dari varietas-varietas liar tersebut, seperti ketahanan terhadap kekeringan dan banjir, pada varietas tanaman kita yang rentan.Tetap saja, menyimpan benih di bank untuk menyelamatkan kita dari bencana besar di masa depan tidaklah cukup. Yang sama pentingnya untuk dilestarikan adalah pengetahuan para petani dan peternak di seluruh dunia, mereka yang menciptakan benih dan bibit yang sangat kita andalkan saat ini. Barangkali sumber daya yang paling berharga dan terancam punah adalah pengetahuan yang tersimpan dalam benak mereka.!break!

Jemal Mohammed, 40 tahun, memiliki ladang seluas dua hektare di punggung bukit, di luar sebuah desa kecil bernama Fontanina di wilayah Welo, dataran tinggi di utara Etiopia.

Melangkahkan kaki ke lahan milik Mohammed bagaikan kembali ke masa kejayaan pertanian tradisional. Pondok melingkar beratap jerami, dengan dinding yang terbuat dari lempung dan jerami kering sudah berabad-abad menjadi hunian warga pedesaan di Etiopia. Dua ekor kerbau berbaring di bawah pohon jacaranda di sebelah kanan gubuk. Tiga atau empat ekor ayam berjalan-jalan melintasi pekarangan depan yang kosong. Ladangnya, yang dibajak dengan bantuan seekor sapi dan ditanami dengan tangan kosong, berisi beraneka ragam tanaman: tomat, bawang merah, bawang putih, ketumbar, waluh, sorgum, gandum, jelai, kacang arab, dan teff, sejenis biji-bijian yang digunakan untuk membuat injera, roti tipis khas Etiopia.

Kehidupan petani kecil tradisional mencerminkan kesederhanaan. Tetapi, jika dibandingkan dengan kegiatan pertanian modern yang banyak menggunakan mesin, pekerjaan Mohammed terlihat lebih dinamis dan membutuhkan kelihaian untuk menghadapi ancaman kekeringan, hujan, dan penyakit yang hadir terus-menerus. Dia menanam kacang-kacangan dan biji-bijian untuk semaksimal mungkin memanfaatkan lahan yang terbatas. Sistem tumpang sari seperti ini juga merupakan cara pemupukan alami. Kacang-kacangan yang tumbuh di bawah sorgum memberikan asupan nitrogen ke tanah.

Welo adalah salah satu wilayah yang paling parah tertimpa bencana kelaparan di Etiopia, yang merenggut ratusan ribu jiwa pada 1984. Pengalaman itu masih tertinggal dalam kenangan Mohammed. Dia menunjukkan kepada saya sebuah buli-buli yang penuh berisi kerikil berwarna-warni. “Saya menyimpan ini sebagai jaminan keamanan saya, tabungan saya,” ujarnya, sambil menekuri buli-buli yang ternyata berisi benih. Dia memiliki benih dari semua tanaman yang tumbuh di ladangnya. Istri Mohammed melapisi benih-benih itu dengan abu untuk melindunginya dari kumbang penggerek. “Seandainya seluruh panenan kami gagal gara-gara kekeringan atau banjir,” katanya, “paling tidak saya masih bisa menanami ladang saya lagi.”

Mohammed membawa saya ke sebuah pertanian di seberang jalan. Di sana, dia dan tetangganya mengangkat sebuah tingkap batu untuk menunjukkan bilik berdinding lempung dengan lebar dan kedalaman sekitar dua meter: gudang penyimpanan pangan darurat di bawah tanah. Dalam beberapa minggu, ketika masa panen usai, mereka akan melapisi lantai bilik dengan jerami, mengisinya dengan biji-bijian, lalu menutupnya kembali dengan tingkap batu, membiarkan suhu dingin tanah menjaga kesegaran persediaan makanan mereka.

Ketika saya menanyakan seberapa besar mereka bergantung pada persediaan pangan darurat mereka selama bencana kelaparan 1984, mereka menunduk dan menggumamkan jawaban sebelum akhirnya diam seribu bahasa dengan mata berkaca-kaca. Dengan lambaian jarinya, penerjemah saya mengisyaratkan agar saya tidak bertanya-tanya lagi tentang topik ini kepada mereka. !break!