Bahtera Pangan

By , Senin, 4 Juli 2011 | 13:47 WIB

Dataran tinggi di wilayah timur tengah Etiopia pernah menjadi tempat yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya di muka Bumi. Namun, sejak 1970-an, para petani di sana hanya menanam teff dan beberapa varietas gandum yang didistribusikan kepada mereka karena sifat unggulnya. Sekarang, wilayah ini telah berubah: Sejumlah varietas kacang-kacangan dan gandum lokal kembali berjaya. Mengingat Etiopia dikenal sebagai negara yang rawan kelaparan, saya terkejut ketika mengemudi satu jam ke timur laut Addis Ababa dan melihat ladang-ladang yang sarat ditumbuhi gandum durum berbiji ungu, varietas yang hanya ditemukan dan bisa ditumbuhkan di seluruh Etiopia. Digunakan sebagai bahan baku pasta, durum memiliki ketahanan tinggi terhadap karat batang. Ladang lainnya ditumbuhi varietas lokal asli Etiopia lainnya, yaitu setakuri, yang berarti “kebanggaan wanita,” karena memiliki rasa termanis sebagai bahan baku roti. Varietas ini memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap karat batang.

Titik balik Etiopia sebagian merupakan upaya dari ahli genetika tumbuhan ternama, Melaku Worede, yang meraih gelar PhD dari University of Nebraska pada 1972, lalu kembali ke Etiopia dengan tujuan untuk melestarikan—dan membangun kembali—kekayaan keanekaragaman hayati di negerinya. Worede dan stafnya di Plant Genetic Resources Centre di Addis Ababa melatih generasi baru pembibit tanaman dan ahli genetika, dan mulai mengumpulkan dan menyimpan berbagai macam tanaman dan benih asli, yang disebut landrace, dari seluruh negeri. Pada 1989, Worede mencetuskan program Seeds of Survival, sebuah jaringan komunitas bank benih yang bertujuan menyelamatkan dan mendistribusikan kembali benih-benih dari para petani lokal.

Worede berharap usaha-usaha baru untuk meningkatkan produksi pangan—semacam Gates Foundation’s Alliance for a Green Revo-lution in Africa—tidak akan mengulangi kesalahan masa lalu. Mereka berusaha melibatkan para petani setempat dalam pengambilan keputusan. “Orang-orang yang merencanakan ini menyadari bahwa revolusi hijau pertama gagal seiring waktu. Ada beberapa ide cerdas,” kata Worede. “Tetapi mereka masih terlalu memberikan penekanan hanya pada segelintir varietas. Bagaimana dengan yang lainnya? Kita akan kehilangan semuanya. Percayalah, saya tidak melawan sains. Untuk apa? Saya sendiri ilmuwan. Tetapi kita harus menyesuaikan diri dengan konteks. Memadukan sains dengan pengetahuan lokal, sains para petani.”

Worede yakin bahwa melestarikan keanekaragaman wilayah sangatlah penting, tidak hanya di bank benih tetapi juga di lahan dan dengan melakukan diskusi menyeluruh bersama para petani setempat. Walaupun panenan melimpah sangatlah penting bagi petani, jauh lebih pen-ting mengurangi risiko mereka terpapar kelaparan, dengan cara menumbuhkan banyak tanaman, di berbagai musim, dan di banyak lokasi. Dengan cara ini, jika salah satu tanaman terkena penyakit, atau salah satu panenan gagal akibat kekeringan, atau salah satu kaki bukit dilanda banjir, mereka masih memiliki alternatif cadangan makanan.!break!

Tantangannya adalah menunjukkan bahwa meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan keanekaragaman mungkin dilakukan. Worede hendak membuktikan bahwa memilih untuk memiliki cukup makanan hari ini atau menyimpan beragam jenis pangan untuk masa depan adalah konsep yang salah. Dan itulah yang selama ini dilakukannya. Dia mengambil varietas-varietas yang dipilih para petani berkat kemampuan adaptasinya dan memutuskan benih mana yang menjanjikan hasil panen terbaik. Penggunaan bibit unggul lokal—dipadukan dengan pupuk alami dan teknik-teknik semacam tumpang sari—meningkatkan hasil panen hingga 15 persen di atas varietas impor yang berbiaya lebih mahal. Upaya serupa juga dijalankan pada jenis ternak lokal. Keith Hammond, pakar genetika satwa dari PBB, mengatakan bahwa di 80 persen area pedesaan seluruh dunia, gen yang telah beradaptasi pada kondisi lingkungan setempat lebih unggul daripada bibit impor.

Tetap saja, menurut para ahli, peningkatan 15 persen masih jauh dari pelipatgandaan jumlah persediaan pangan yang kita butuhkan pada dekade-dekade mendatang. Melestarikan keanekaragaman pangan hanyalah salah satu dari banyak strategi yang kita perlukan untuk men-jawab tantangan tersebut, namun itu sangat krusial. Selama suhu dunia semakin meningkat, dan lingkungan semakin tidak bersahabat bagi bibit dan benih yang kita andalkan, manusia akan membutuhkan gen-gen yang memungkinkan tumbuhan dan hewan untuk hidup di, katakanlah, suhu panas Afrika atau di tengah wabah penyakit. Menurut Worede, para ilmuwan akan bisa menemukan varietas tahan-Ug99 yang mereka cari di ladang-ladang Etiopia.

Mohammed dan tetangganya berdiri dalam keheningan di atas bank benih pribadi mereka siang itu di Welo. Sejak bencana kelaparan pada 1984, mereka tidak pernah berpikir untuk menjual biji-bijian apa pun hingga panenan mereka bisa dipastikan keberhasilannya. Saya menanyakan apakah memiliki simpanan di ladang membuat mereka merasa sedikit lebih aman dan optimistis.

“Mendapat tambahan penghasilan tentu menyenangkan,” kata Mohammed, “anak-anak kami bisa bersekolah dengan pakaian bagus, tapi…” Dia terdiam, menatap tetangganya, lalu memberikan jawaban yang menurut saya patut kita tiru untuk mengamankan persediaan pangan masa depan kita.“Meski amat rentan terhadap berbagai risiko, kami tetap berpikiran positif.”