Sang Kampiun di Kutub Selatan

By , Kamis, 25 Agustus 2011 | 15:24 WIB

“12 September—Selasa. Visibilitas rendah. Angin kencang dari S. -52°C. Anjing terpengaruh udara dingin. Orang yang kaku dalam baju membeku, kurang-lebih puas menghabiskan malam dengan bunga es… cuaca diragukan membaik.”

Penulis catatan singkat buku harian ini adalah Roald Amundsen, penjelajah Norwegia yang meraih kemasyhuran lima tahun sebelumnya karena menjadi orang pertama yang melayari Jalur Barat Laut yang melegenda di Arktika: dari Samudra Atlantik ke Samudra Pasifik. Kini ia berada di ujung dunia yang berlawanan yaitu Antartika, menuju incaran paling bergengsi yang masih tersedia di dunia penjelajahan: Kutub Selatan. Petualangan berani ini, yang direncanakan dengan ketelitian khas dirinya, juga merupakan hasil kebetulan.

Dua tahun sebelumnya Amundsen tenggelam dalam rencana memperpanjang penjelajahannya di Samudra Arktika dan mengapung melewati Kutub Utara, saat mendapat berita (yang di kemudian hari dipertanyakan) bahwa Robert Peary sudah melakukan klaim atas Kutub itu. Amundsen ingat bahwa pada detik itu juga, “Aku memutuskan arah perjalanan—berbalik 180 derajat dan menghadap ke Selatan.” Menurut perhitungan Amundsen, jika ia yang pertama sampai di Kutub Selatan, ketenaran maupun pendanaan penjelajahan selanjutnya akan jatuh ke tangan. Meski di mata publik sedang bersiap ke utara, diam-diam dia merencanakan perjalanan ke selatan.

Namun, memenangi Kutub Selatan tidak bisa dianggap remeh. Pihak lain yang juga menuju selatan adalah British Antarctic Expedition yang dipublikasikan dengan baik, di bawah pimpinan Kapten Robert Falcon Scott. Amundsen sangat sadar tentang pesaingnya itu, seperti yang terungkap dalam buku hariannya tanggal 12 September. Tersiksa membayangkan Scott dapat mengalahkannya, Amundsen pun mencuri start, berangkat sebelum tibanya musim semi kutub dan cuaca yang mudah dihadapi. Akibatnya adalah kematian anjing yang berharga dan frostbite pada kaki anak buahnya, yang membutuhkan waktu satu bulan untuk sembuh.!break!

Kesalahan gamblang ini patut direnungi, bukan untuk mencari cacat Amundsen, tetapi untuk meruntuhkan mitos yang telah lama melekat pada dirinya: Bahwa prestasinya mencapai Kutub hanyalah penerapan keahlian dan ambisi dingin tanpa perasaan, dan ia adalah seorang profesional yang kurang menarik. Perwatakan ini bertolak belakang dengan pandangan orang tentang Scott, bersama tim Inggrisnya yang gagah, gigih, dan berani, memperjuangkan setiap kilometer, kemudian tewas dengan tragis di atas es.

Gagalnya keberangkatan pada September 1911 mengingatkan kita bahwa tidak ada hasil yang pasti dalam kegiatan penjelajahan kutub yang berisiko itu. Meski tertata dan cermat, Amundsen juga pria berambisi tinggi, penuh mimpi dan desakan hati berbahaya yang mendorong penjelajah mempertaruhkan nyawa di tempat ganas. Kehebatan Amundsen adalah ia mampu menguasainya—sebagaimana ditunjukkan oleh buku hariannya. Empat hari setelah keberangkatannya yang prematur, Amundsen menilai situasi kelompoknya dengan kepala dingin dan memutuskan untuk “segera pulang dan menunggu musim semi. Mempertaruhkan manusia dan hewan karena keras kepala ingin melanjutkan semata-mata karena sudah telanjur berangkat, bukan hal yang perlu kupertimbangkan. Kalau ingin memenangi permainan ini, pion harus digerakkan dengan benar; jika ada satu langkah saja yang salah, semua akan sia-sia.” Kemampuan memperoleh dan menjaga perspektif saat mengejar hal yang memabukkan seperti impian pribadi adalah aset yang langka. Seperti penjelajah besar lain, ia tahu kapan harus mengurungkan sesuatu.

Ada riwayat yang memukau di balik perjalanan Roald Engelbregt Gravning Amundsen ke Kutub Selatan. Lahir pada 1872 dalam keluarga pelaut kaya pemilik kapal, ia berlayar pada usia 25 tahun sebagai mualim dua di kapal Belgica, sebagai bagian ekspedisi ilmiah ke Antartika. Saat Belgica terperangkap di tengah es padat, krunya tanpa sengaja meraih prestasi sebagai manusia pertama yang melewati seluruh musim dingin di Antartika. Kelompok yang runtuh semangat dan sakit-sakitan ini dipersatukan oleh ahli bedah kapal, Frederick Cook (terkenal karena menjadi “orang pertama” di Kutub Utara dan puncak Denali atau McKinley tanpa bukti), dan oleh Amundsen, yang buku hariannya memperlihatkan bahwa dia sepenuhnya menyadari keadaan di sekelilingnya. “Soal tenda, dalam segi bentuk dan ukuran, tenda itu nyaman tetapi tidak kuat menahan angin,” ia mengamati pada Februari 1898. Bertahun-tahun berikutnya, dia menyempurnakan peralatan ekspedisi kutub.!break!

Sejak membacanya semasa kecil, Amundsen terpesona oleh pencarian Jalur Barat Daya oleh orang Inggris John Franklin yang berujung malapetaka. Meskipun Amundsen melanjutkan karier baharinya, dia juga mulai merencanakan ekspedisi ke Arktika. Pada 1903 ia naik kapal Gjøa ke utara dengan awak hanya enam orang (Franklin membawa 129) untuk mencari Jalur Barat Daya serta posisi terbaru kutub magnet utara. Setelah tiga musim dingin tinggal dan bekerja di Arktika, Amundsen akhirnya berhasil melintasi jalur di antara pulau, beting, dan es kepulauan Arktika Kanada hingga ke Laut Beaufort dan akhirnya Laut Bering—pertama dalam sejarah. “Misi Jalur Utara-Barat tuntas,” tulis Amundsen dalam buku hariannya, 26 Agustus 1905. “Cita-cita masa kecilku tercapai.”

Ekspedisi Gjøa tak hanya memberi Amundsen keberhasilan geografis pertamanya. Melalui ekspedisi itu dia berkenalan dengan orang Eskimo Netsilik serta adaptasi mereka yang luar biasa dengan kerasnya dunia Arktika. Amundsen bukanlah penjelajah Eropa pertama yang belajar dari pribumi. Penjelajah kutub Fridtjof Nansen belajar cara berpakaian, berjalan, dan makan dari suku Sami utara di Norwegia. Sekarang Amundsen melengkapi pengetahuan itu dengan alat bertahan hidup yang pernah dipelajari dan dialaminya sendiri: pakaian longgar kulit rusa kutub yang hangat dan berdaya ventilasi, sepatu bulu, kereta anjing, sepatu salju, gua es, igloo.

Ketika Roald Amundsen mendirikan kemah induk di Teluk Whales, Antartika pada Januari 1911, dia telah berusia 38 tahun dan adalah seorang veteran kutub yang berpengalaman. Dia berada di wilayah yang tak dikenal, tetapi sudah akrab dengan lanskap salju dan es.Amundsen dan krunya memanfaatkan bulan-bulan sebelum perjalanan kutub untuk menyiapkan depot perlengkapan, serta menilik dan menyempurnakan setiap makanan, pakaian, dan peralatan. Setiap detail dipertimbangkan dengan sangat serius, berdasarkan penghormatan Amundsen yang mendalam terhadap lingkungan yang dihadapinya sekarang.

Perjalanan hampir 1.300 kilometer itu akhirnya dimulai pada 20 Oktober. Amundsen dan empat rekannya berski di belakang empat kereta luncur penuh muatan, masing-masing 400 kilogram dan dihela oleh 13 anjing. Di depan mereka, di medan tak dikenal, terbentang perjalanan berat melintasi (dan kadang-kadang masuk) celah, mengitari jurang dan es Pegunungan Ratu Maud, lalu masuk ke Plato Kutub, dengan cuaca berbahaya yang tak bisa ditebak. Namun, petualang Norwegia itu mencapai tujuan sesuai jadwal tanpa kecelakaan yang berarti. “Dan akhirnya kami sampai di tujuan,” tulis Amundsen dalam buku hariannya pada 14 Desember 1911, “dan memancangkan bendera kami di Kutub Selatan geografis, dataran tinggi Raja Haakon VII. Syukurlah!”!break!

Sebelum meninggalkan Polheim, kemah kutub, Amundsen meninggalkan surat untuk Raja Norwegia, Haakon VII, pada kertas surat khusus, “dan beberapa patah kata untuk Scott, yang saya kira akan menjadi orang pertama yang menyusul ke sini.” Surat itu untuk memastikan adanya laporan tentang keberhasilannya andai terjadi bencana, dan cara elegan untuk memberi tahu Scott, “Saya menang.” Bahwa Scott menyimpan surat ini dengan takzim akan menjadi bukti keberhasilan Amundsen.Dalam perjalanan pulang, mereka meninggalkan kelebihan persediaan (beberapa di antaranya dimanfaatkan dengan penuh syukur oleh kelompok Scott). Sepanjang perjalanan, anjing-anjing ditembaki dan—bersama dengan anjing yang sudah mati sebelumnya—menjadi makanan mereka dan anjing yang hidup. Pada pagi 26 Januari 1912, pemenang kutub ini tiba kembali di Framheim.

Sulit membandingkan kontras antara operasi Amundsen yang disebut “serius” oleh Apsley Cherry-Garrard, penulis sejarah legendaris tentang ekspedisi Inggris dan “tragedi kelas atas” Scott. Namun perbedaan itu menyoroti masalah yang masih jadi perhatian penjelajah masa kini. Amundsen menggunakan anjing; Scott menggunakan kereta motor dan kuda. Amundsen berski, yang dikuasainya dan krunya dengan mahir; Scott tak pernah belajar ski sampai mahir, jadi dia dan anak buahnya tertatih-tatih menarik kereta salju sendiri. Amundsen menyimpan persediaan tiga kali lipat Scott; Scott kelaparan dan menderita penyakit kurang vitamin C. Beberapa kesalahan fatal Scott dapat dipahami mengingat ia mencontoh pengalaman sebelumnya—toh pesaing dan rekan senegaranya, Ernest Shackleton, juga menggunakan kuda poni dan hampir mencapai Kutub. Sebagian taktik Amundsen merisaukan, seperti pembantaian terencana anjing-anjingnya, yang telah dinamai dan diperlakukan sebagai sahabat.