Tabib para pemberontak itu mengundang saya untuk bergabung dalam kelompoknya. Banyak yang tampaknya belum cukup umur untuk menjalani upacara tradisional pasca-remaja; dalam upacara itu, paman mereka menyatakan bahwa mereka sudah siap me-masuki dunia orang dewasa, lalu melilitkan sorban pertama ke kepala mereka.
Kami berkerumun mengelilingi sebuah mangkuk, menggunakan sendok yang sama untuk menyendok sesuap makaroni asin yang dibumbui rempah-rempah gurun. Di antara suapan, sang tabib bercerita bahwa dia pernah menjadi asisten dokter sebelum pemberontakan merebak. Mata kirinya, bulatan keputih-putihan yang tanpa ekspresi, cedera pada pertempuran pertamanya. Di sebelahnya duduk penembak senapan mesin berbahu tebal.Katanya, dia meninggalkan kuliah tekniknya di perguruan tinggi di Nigeria untuk bergabung dengan pasukan pemberontak. “Saya tidak dapat belajar sementara saudara-saudara saya dari suku Tuareg tengah berperang,” katanya.!break!
Saya menanyakan siapa yang termuda, dan sang tabib menunjuk ke seorang pemuda yang sangat pemalu bernama Bachir. Dengan nyaris berbisik, Bachir berkata bahwa dia mem-perkirakan usianya 17 tahun, tapi tidak yakin. Dia sedang menggembalakan ternak ke-luarganya di gunung ketika iring-iringan pemberontak lewat, dan dia meminta untuk ikut bergabung dengan mereka. Setelah dibujuk dengan halus, Bachir bercerita bahwa dia sedang menumpang di bagian belakang sebuah pikap ketika kendaraan itu menerjang ranjau. Dua orang tewas seketika, delapan orang cedera parah, tetapi Bachir terlontar sejauh 30 meter ke puncak pohon akasia.
Para pemberontak sedang mencari tubuhnya di antara reruntuhan yang berasap ketika Bachir berjalan menghampiri. “Dia bahkan tidak ter-gores sedikit pun oleh cabang pohon itu,” kata sang tabib. “Allah melindunginya.” Para lelaki lain mendecakkan lidah, ciri orang Tuareg untuk menyatakan bahwa mereka sependapat.
Saya bertanya kepada Bachir tentang apa yang akan dilakukannya setelah pemberontakan usai, dan jawabnya dia ingin menjadi tentara. “Dalam pasukan Niger?” tanya saya. Pada saat berakhirnya pemberontakan Tuareg yang terakhir pada 1995, banyak mantan pem-berontak yang direkrut menjadi anggota militer Niger sebagai kesepakatan perdamaian. Dia mengangkat bahu: “Kurasa, menjadi anggota militer adalah pekerjaan bagus.” Beberapa orang lainnya mendecakkan lidah.
Segera setelah makan malam, si tawanan di-bawa menemui saya, dan kami diizinkan berbicara empat mata. Dia berasal dari suku Fulani, salah satu suku etnik yang pernah di-serbu suku Tuareg untuk dijadikan budak. Kata-nya dia bernama Abdul Aziz, seorang letnan dalam pasukan Niger. Dia mengaku telah menembak kaki salah satu dari ketiga orang tua itu. “Perbuatan saya memang salah,” katanya. Atasannya marah karena dua kendaraan mereka menerjang ranjau yang dipasang para pemberontak sehingga me-newaskan dan mencederai beberapa orang. Untuk mengevakuasi korban cedera, pasukan tentara harus melewati lagi lapangan ranjau pemberontak, dan mereka yakin bahwa ketiga lelaki tua itu tahu di mana saja bahan peledak itu dipasang.
“Para perwira meminta ketiga lelaki tua itu bicara, tetapi yang dua orang tidak mau bicara apa-apa. Yang seorang yang ditembak mau bicara, tetapi informasi yang disampaikannya tidak berguna. Malam sudah semakin larut. Saat itulah saya pergi,” kata si tawanan. “Saya berani bersumpah dengan al-Quran bahwa saya tidak membunuh mereka.”Setelah dia dan tentara lain tertangkap, atasan-nya mengambinghitamkan dia, katanya. Suku Tuareg yang menawannya tidak pernah memukulinya dan mengizinkan dia menerima surat dari orang tuanya pada akhir Ramadhan.
“Kita semua orang Niger,” katanya. “Setanlah yang menciptakan masalah di antara manusia.”!break!
Di saat malam semakin larut, para pem-berontak yang lebih tua berkumpul di dekat api unggun sang pemimpin. Para lelaki berselonjor kaki di atas selimut dan mengedarkan rokok dan gelas-gelas kecil berisi teh manis panas. Salah seorang di antara mereka mengeluarkan gitar. “Anda tahu Tinariwen?” tanya si pemain gitar. Tinariwen adalah kelompok musik Tua-reg yang pendirinya berlatih bersama-sama di kamp militer Libia pada tahun 1980-an. Dia memainkan salah satu lagu mereka. Ceritanya tentang perjuangan orang Tuareg.
Beberapa orang di antara para lelaki yang mengelilingi api unggun ini pernah dilatih di Libia. Sebagai remaja, mereka mendengar siaran radio Qaddafi yang bersimpati atas keadaan genting yang dihadapi suku Tuareg dan mendesak mereka untuk datang ke Libia, dan dia berjanji akan membantu memperjuangkan hak mereka. Namun, segera setelah mengikuti kamp pelatihan itu, mereka menyadari bahwa diktator Libia itu hanya memperalat mereka. Ada yang dikirim untuk bertempur di Lebanon; yang lain dilibatkan dalam serbuan Libia ke Chad. “Kami juga memperalat Qaddafi,” kata salah seorang pemberontak yang menceritakan bahwa orang Tuareg dari Mali dan Niger menyelundupkan senjata dari kamp Libia untuk melawan pemerintah di negeri mereka.
Pada beberapa tahun terakhir ini, Qaddafi mengirimkan jutaan dolar AS berupa bantuan ekonomi kepada para pemimpin di Mali dan Niger, sambil sekaligus juga mengalirkan bantuan kepada kelompok Tuareg untuk melawan mereka. “Para pemimpin kami sekarang sedang berada di Tripoli,” kata sang pemimpin, mengacu ke Aghali Alambo, presiden MNJ.Beberapa pekan setelah saya meninggalkan Aïr, sang pemimpin membebaskan tawanan itu. Pada beberapa bulan berikutnya, pemberontak dan pemerintah mengumumkan gencatan senjata, dan tidak lama kemudian, pasukan Niger menggulingkan presiden diktator, Mamadou Tandja, lalu menyelenggarakan pemiu yang bebas. Februari yang lalu, tatkala unjuk rasa demokrasi memuncak di Tripoli, Qaddafi mengirimkan perekrut ke Niger dan Mali dengan tawaran, yang konon hingga seribu dolar sehari, kepada orang Tuareg yang bersedia berperang membela rezimnya di Libia.
Setelah mendengar berita ini, saya teringat pada percakapan terakhir saya dengan sang pemimpin pemberontak. Dia berkata bahwa jika dunia ingin menghentikan ancaman al Qaeda dan penyelundupan narkoba di Sahara, mereka harus mengikutsertakan suku Tuareg. “Orang Tuareg mengetahui kejadian sekecil apa pun yang terjadi di gurun,” katanya, me-ngutip pepatah lokal yang terkenal.