Penguasa Sahara nan Perlina

By , Jumat, 2 September 2011 | 04:10 WIB

Sang pemimpin pemberontak yang wajahnya tersembunyi di balik sorban berwarna gelap, berjalan di depan melintasi pasir halus; beberapa tempat tampak legam terkena serpihan ledakan mortir, dan kotor oleh reruntuhan sisa-sisa perang yang berkobar di sini, di lapangan sepak bola anak-anak.

Pada hampir setiap langkah terdengar suara gemerisik saat kaki kami menginjak kelongsong peluru bekas. “Injaklah bekas pijakan saya,” katanya, memperingatkan bahwa pasukan Niger memasang banyak ranjau di situ, yang di masa lalu merupakan tempat sekolah orang Tuareg.Hari sudah sore di musim kemarau itu, dan suhu udara akhirnya turun hingga di bawah 40°C. Gundukan pasir cokelat muda yang terbentang ke utara mulai menampakkan semburat warna merah muda, dan bayangan punggung bukit terjal ke barat daya. Di lembah terpencil bernama Tazerzaït inilah, tempat bertemunya Aïr Massif dengan lautan pasir Sahara yang luas, anak buah sang pemimpin meraih kemenangan terbesar mereka dalam pemberontakan yang berlangsung selama dua tahun melawan pemerintah Niger.

Para pemberontak itu, semuanya orang Tua-reg, keturunan kaum nomaden bengis yang selama berabad-abad menguasai perniagaan kafilah yang sangat menguntungkan dengan berdagang emas, rempah-rempah, dan budak. Kafilah mereka lalu-lalang melintasi wilayah Afrika Utara yang terpencil ini. Setelah berjuang di bawah bendera Gerakan Keadilan Niger (Movement of Nigeriens for Justice, MNJ) yang antara lain didukung oleh pemimpin Libia Muammar Qaddafi, mereka berhasil menangkap 72 orang tentara pemerintah di Tazerzaït dan memperbarui tuntutan mereka bahwa pemerintah harus berbagi keuntungan yang diperoleh dari sumber daya alam: uranium yang ditambang di kawasan milik suku Tuareg. Untuk menunjukkan niat baik, mereka membebaskan semua tawanan—kecuali satu orang. “Dia penjahat perang ,” kata sang pemimpin.

Saat kami berjalan, sang pemimpin men-ceritakan bahwa suku Tuareg di tempat itu membangun sekolah di Tazerzaït karena ber-dekatan dengan sebuah sumur yang pen-ting artinya bagi beberapa padang gem-bala yang lokasinya saling berjauhan di kawasan itu. Sekolah itu memungkinkan keluarga mengunjungi anak mereka sambil menggembalakan ternak.“Ayah saya hanya tahu bagaimana hidup di gurun,” kata sang pemimpin. “Dia tahu cara menuntun kafilah pengangkut garam ke Bilma, menemukan padang rumput di gurun, berburu antelop dan biri-biri liar. Dan itu pulalah yang kuketahui. Tetapi kehidupan gurun akan segera berakhir. Anak-anak kami butuh sekolah.”!break!

Kami mencapai puncak karang kecil yang terjal; tampak tiga bangunan kelas dari bata-lumpur yang dindingnya penuh lubang bekas tembakan peluru, sementara atapnya tidak ada. Papan tulisnya dipenuhi gambar corat-coret peninggalan tentara Niger.

Empat orang pemberontak yang menyandang senapan Kalashnikov membawa orang yang diduga penjahat perang itu turun dari gua di gunung tempatnya ditawan. Tubuhnya mem-bungkuk, dan berulang-ulang dia menyilangkan tangan, lalu melepaskannya lagi, dan matanya menatap tajam ke orang-orang di sekelilingnya. Lengan kemeja kamuflasenya dipotong pendek dan tali sepatu lars-nya tidak ditalikan. Dia mengaku berusia 27 tahun, namun wajah-nya yang bulat dan sikapnya yang kikuk menye-babkannya tampak jauh lebih muda.

Hari semakin senja, dan para pemberontak itu merasa tidak nyaman berada di ruang terbuka seperti itu. Tentara Niger meng-imbangi kekalahan di darat dengan membeli helikopter, dan belum lama ini para pemberontak dikagetkan oleh serangan udara yang menewaskan beberapa orang, termasuk salah seorang pemimpin mereka. “Mereka mam-pu membeli helikopter untuk melawan kami, tetapi tidak sudi membangun sekolah atau sumur untuk kami,” kata sang pemimpin. Sang pemimpin berhenti di suatu tempat , dan tampak bongkahan batu tersusun di pasir halus, menandai tiga makam.

“Tiga orang lelaki tua dimakamkan di sini,” katanya. “Ketika tentara menyerang,” dia menunjuk ke salah satu makam itu, “orang ini, yang matanya buta, tidak mau menyelamatkan diri.” Dia menunjuk ke dua makam yang lain. “Kedua orang ini tidak sampai hati mening-galkannya. Malam itu, mereka menyiksa ke-tiganya di belakang kelas. Kami bersembunyi di gunung, di sana tepatnya,” katanya sambil menunjuk ke punggung bukit di atas kami. “Kami bisa mendengar jeritan ketiga orang tua itu.” Dia berkata dengan suara lirih. “Yang ini,” dia menunjuk ke makam yang di tengah, “adalah makam ayahku.”!break!

Untuk mencapai sudut terpencil gurun ter-luas di dunia ini, kami harus melintasi ben-tang alam primordial yang amat luas—tempat yang dicirikan oleh lumbung garam yang memerlukan sepanjang hari untuk me-lintasinya, lapangan gundukan pasir yang naik dan turun seperti samudra yang ganas, dan tonjolan batu berukuran raksasa dari pualam dan batuan hitam mengilap yang menyeruak dari pasir seperti makhluk laut yang sudah punah. Beberapa generasi pejuang suku Tuareg memerintah kawasan ini, menuntut upeti dari para saudagar yang menggunakan rute kafilah dan menyergap suku yang hidup menetap di sepanjang Sungai Niger, berburu hewan dan budak. Dengan berpedoman pada peribahasa “Berdamailah hanya dengan orang yang tidak dapat kautaklukkan,” suku Tuareg meraih re-putasi sebagai kaum yang bengis dan suka berkhianat, sering kali merampok kafilah yang justru menyewa mereka untuk mendapatkan per-lindungan, dan melancarkan serangan men-dadak kepada para sekutu mereka.

Pada awal abad ke-20, suku Tuareg adalah bangsa Afrika Barat terakhir yang ditaklukkan bangsa Prancis, dan tanah mereka dipecah-belah menjadi Niger, Mali, Aljazair, dan Libia. Keempat pemerintahan ini pada umumnya me-ngabaikan suku Tuareg yang tercerai-berai dan merupakan minoritas sehingga mereka terpaksa mengembara di gurun bersama kawan-an unta dan kambing. Namun, pada be-berapa dasawarsa terakhir, dengan semakin jarangnya hujan turun di musim penghujan, keluarga suku Tuareg harus berjuang untuk bisa mempertahankan hewan gembalaan mereka yang jumlahnya banyak. “Hewan gembalaan adalah segalanya bagi orang Tuareg,” begitu kata seorang nomaden yang sudah uzur kepada saya. “Kami minum susunya, kami menyantap dagingnya, kami menggunakan kulitnya, kami memperdagangkannya. Apabila hewan itu mati, mati pulalah orang Tuareg.”

Karena jumlah hewan gembalaan mereka se-makin menyusut, banyak orang Tuareg di Niger mulai mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memberi mereka bagian kekayaan yang diambil dari deposit uranium yang berlimpah yang selama puluhan tahun ditambang dari padang gembala mereka. Pada tahun 1990-an, milisia Tuareg melawan pasukan Niger dengan mempersoalkan masalah tersebut. Kesepakatan damai ditandatangani, tetapi tidak banyak yang berubah. Pada 2007, pemerintah merundingkan kontrak dengan Prancis yang dicanangkan untuk membuat Niger menjadi penghasil uranium kedua terbesar di dunia.Semakin banyak kesepakatan yang mengizinkan perusahaan asing mengeksplorasi gurun untuk mencari sumber daya lain. Karena penduduk dilanda kemiskinan dan pemerintah menolak melakukan investasi yang berarti di daerah yang dikuasai orang Tuareg, kaum nomaden ini pun memberontak lagi. Sementara itu, pe-nye-lundup narkoba dan cabang al Qaeda di Afrika Utara memantapkan diri di wilayah itu, dan pemerintah Niger menuduh suku Tuareg bersekutu dengan mereka.!break!

Para pemberontak berkemah dan bermalam di lapangan gundukan pasir, beberapa kilometer dari sekolah, menyembunyikan kendaraan pikap yang sudah usang di bawah rindangnya pohon akasia yang rendah. Beberapa orang membasuh wajah dan tangan dengan air dari teko, lalu melakukan salat magrib dengan berkiblat ke Mekkah. Kemudian, mereka membentuk be-be-rapa kelompok, setiap kelompok berlindung di balik gundukan pasir dan membuat api unggun.

Beberapa orang pemberontak menunggu sampai gelap untuk melepaskan sorban. Kain yang berlapis-lapis itu bukan saja melindungi mereka dari terik matahari dan angin kencang, tetapi sekaligus menyembunyikan perasaan mereka. Wajah mereka yang cerah muncul dalam cahaya api, menampilkan janggut halus serta seringai kekanak-kanakan. Sebagian pipi mereka diwarnai zat pewarna nila dari sorban mereka, lambang kuno suku Tuareg yang meng-ilhami para pengunjung untuk menjuluki mereka “orang biru”.

Tabib para pemberontak itu mengundang saya untuk bergabung dalam kelompoknya. Banyak yang tampaknya belum cukup umur untuk menjalani upacara tradisional pasca-remaja; dalam upacara itu, paman mereka menyatakan bahwa mereka sudah siap me-masuki dunia orang dewasa, lalu melilitkan sorban pertama ke kepala mereka.

Kami berkerumun mengelilingi sebuah mangkuk, menggunakan sendok yang sama untuk menyendok sesuap makaroni asin yang dibumbui rempah-rempah gurun. Di antara suapan, sang tabib bercerita bahwa dia pernah menjadi asisten dokter sebelum pemberontakan merebak. Mata kirinya, bulatan keputih-putihan yang tanpa ekspresi, cedera pada pertempuran pertamanya. Di sebelahnya duduk penembak senapan mesin berbahu tebal.Katanya, dia meninggalkan kuliah tekniknya di perguruan tinggi di Nigeria untuk bergabung dengan pasukan pemberontak. “Saya tidak dapat belajar sementara saudara-saudara saya dari suku Tuareg tengah berperang,” katanya.!break!

Saya menanyakan siapa yang termuda, dan sang tabib menunjuk ke seorang pemuda yang sangat pemalu bernama Bachir. Dengan nyaris berbisik, Bachir berkata bahwa dia mem-perkirakan usianya 17 tahun, tapi tidak yakin. Dia sedang menggembalakan ternak ke-luarganya di gunung ketika iring-iringan pemberontak lewat, dan dia meminta untuk ikut bergabung dengan mereka. Setelah dibujuk dengan halus, Bachir bercerita bahwa dia sedang menumpang di bagian belakang sebuah pikap ketika kendaraan itu menerjang ranjau. Dua orang tewas seketika, delapan orang cedera parah, tetapi Bachir terlontar sejauh 30 meter ke puncak pohon akasia.

Para pemberontak sedang mencari tubuhnya di antara reruntuhan yang berasap ketika Bachir berjalan menghampiri. “Dia bahkan tidak ter-gores sedikit pun oleh cabang pohon itu,” kata sang tabib. “Allah melindunginya.” Para lelaki lain mendecakkan lidah, ciri orang Tuareg untuk menyatakan bahwa mereka sependapat.

Saya bertanya kepada Bachir tentang apa yang akan dilakukannya setelah pemberontakan usai, dan jawabnya dia ingin menjadi tentara. “Dalam pasukan Niger?” tanya saya. Pada saat berakhirnya pemberontakan Tuareg yang terakhir pada 1995, banyak mantan pem-berontak yang direkrut menjadi anggota militer Niger sebagai kesepakatan perdamaian. Dia mengangkat bahu: “Kurasa, menjadi anggota militer adalah pekerjaan bagus.” Beberapa orang lainnya mendecakkan lidah.

Segera setelah makan malam, si tawanan di-bawa menemui saya, dan kami diizinkan berbicara empat mata. Dia berasal dari suku Fulani, salah satu suku etnik yang pernah di-serbu suku Tuareg untuk dijadikan budak. Kata-nya dia bernama Abdul Aziz, seorang letnan dalam pasukan Niger. Dia mengaku telah menembak kaki salah satu dari ketiga orang tua itu. “Perbuatan saya memang salah,” katanya. Atasannya marah karena dua kendaraan mereka menerjang ranjau yang dipasang para pemberontak sehingga me-newaskan dan mencederai beberapa orang. Untuk mengevakuasi korban cedera, pasukan tentara harus melewati lagi lapangan ranjau pemberontak, dan mereka yakin bahwa ketiga lelaki tua itu tahu di mana saja bahan peledak itu dipasang.

“Para perwira meminta ketiga lelaki tua itu bicara, tetapi yang dua orang tidak mau bicara apa-apa. Yang seorang yang ditembak mau bicara, tetapi informasi yang disampaikannya tidak berguna. Malam sudah semakin larut. Saat itulah saya pergi,” kata si tawanan. “Saya berani bersumpah dengan al-Quran bahwa saya tidak membunuh mereka.”Setelah dia dan tentara lain tertangkap, atasan-nya mengambinghitamkan dia, katanya. Suku Tuareg yang menawannya tidak pernah memukulinya dan mengizinkan dia menerima surat dari orang tuanya pada akhir Ramadhan.

“Kita semua orang Niger,” katanya. “Setanlah yang menciptakan masalah di antara manusia.”!break!

Di saat malam semakin larut, para pem-berontak yang lebih tua berkumpul di dekat api unggun sang pemimpin. Para lelaki berselonjor kaki di atas selimut dan mengedarkan rokok dan gelas-gelas kecil berisi teh manis panas. Salah seorang di antara mereka mengeluarkan gitar. “Anda tahu Tinariwen?” tanya si pemain gitar. Tinariwen adalah kelompok musik Tua-reg yang pendirinya berlatih bersama-sama di kamp militer Libia pada tahun 1980-an. Dia memainkan salah satu lagu mereka. Ceritanya tentang perjuangan orang Tuareg.

Beberapa orang di antara para lelaki yang mengelilingi api unggun ini pernah dilatih di Libia. Sebagai remaja, mereka mendengar siaran radio Qaddafi yang bersimpati atas keadaan genting yang dihadapi suku Tuareg dan mendesak mereka untuk datang ke Libia, dan dia berjanji akan membantu memperjuangkan hak mereka. Namun, segera setelah mengikuti kamp pelatihan itu, mereka menyadari bahwa diktator Libia itu hanya memperalat mereka. Ada yang dikirim untuk bertempur di Lebanon; yang lain dilibatkan dalam serbuan Libia ke Chad. “Kami juga memperalat Qaddafi,” kata salah seorang pemberontak yang menceritakan bahwa orang Tuareg dari Mali dan Niger menyelundupkan senjata dari kamp Libia untuk melawan pemerintah di negeri mereka.

Pada beberapa tahun terakhir ini, Qaddafi mengirimkan jutaan dolar AS berupa bantuan ekonomi kepada para pemimpin di Mali dan Niger, sambil sekaligus juga mengalirkan bantuan kepada kelompok Tuareg untuk melawan mereka. “Para pemimpin kami sekarang sedang berada di Tripoli,” kata sang pemimpin, mengacu ke Aghali Alambo, presiden MNJ.Beberapa pekan setelah saya meninggalkan Aïr, sang pemimpin membebaskan tawanan itu. Pada beberapa bulan berikutnya, pemberontak dan pemerintah mengumumkan gencatan senjata, dan tidak lama kemudian, pasukan Niger menggulingkan presiden diktator, Mamadou Tandja, lalu menyelenggarakan pemiu yang bebas. Februari yang lalu, tatkala unjuk rasa demokrasi memuncak di Tripoli, Qaddafi mengirimkan perekrut ke Niger dan Mali dengan tawaran, yang konon hingga seribu dolar sehari, kepada orang Tuareg yang bersedia berperang membela rezimnya di Libia.

Setelah mendengar berita ini, saya teringat pada percakapan terakhir saya dengan sang pemimpin pemberontak. Dia berkata bahwa jika dunia ingin menghentikan ancaman al Qaeda dan penyelundupan narkoba di Sahara, mereka harus mengikutsertakan suku Tuareg. “Orang Tuareg mengetahui kejadian sekecil apa pun yang terjadi di gurun,” katanya, me-ngutip pepatah lokal yang terkenal.