“Tentu saja ada hal-hal yang buruk. Tetapi, pemerintah komunis melindungi kami dari bencana,” katanya. “Bahkan, sekalipun kita kehilangan semua hewan ternak, kita tidak akan sampai mati kelaparan.”
Meskipun mereka mendukung keputusan Ochkhuu dan Norvoo untuk pindah, Jaya dan istrinya, Chantsal, sering berkata betapa sepinya mereka tanpa anak dan menantu tinggal bertetangga dengan mereka. Namun, pindah ke UB sungguh tak terbayangkan.
“Saya tidak akan tahan seminggu pun tinggal di kota itu,” kata Jaya sambil merengut. “Terlalu bising, terlalu banyak bunyi-bunyian. Bisa-bisa saya sakit dan mati.” Orang seperti Jaya dan Ochkhuu adalah penggembala ternak sejati, tidak seperti peternak lain yang gagal bertahan selama masa dzud, kata ahli sejarah Baabar. Setelah tumbangnya pemerintahan komunis, ketika banyak pabrik pada masa Uni Soviet ditutup, ribuan orang meninggalkan UB untuk kembali ke kampung halaman mereka. Namun, “mereka sudah sepenuhnya lupa kehidupan kaum nomad, cara memelihara ternak, cara bertahan menghadapi musim dingin yang berat,” katanya.
Semua ini terjadi pada saat Mongolia, yang diperintah komunis hingga 1990, berupaya menata diri kembali di antara dua negara tetangga yang kuat, Rusia dan China, yang menindas mereka selama berabad-abad. Nasionalisme—bahkan xenofobia—semakin marak, dan pihak asing terus disalahkan atas masalah yang dialami Mongolia, selain juga para politisi lokal dan nasional yang secara luas dianggap, dengan benar, sama-sama korup.
Para pengusaha China yang datang berkunjung, yang dituduh memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan rakyat Mongolia, tidak berani lagi menjelajahi jalanan ibu kota di malam hari karena takut diserang oleh para pemuda yang mengenakan pakaian hitam dari kulit yang bertindak seakan-akan kerasukan Genghis Khan, yang kembali populer sebagai lambang kebanggaan Mongolia. Citra Genghis yang dilarang pada masa Uni Soviet sekarang terlihat di mana-mana, dari label vodka dan kartu remi sampai patung baja megah setinggi 40 meter yang menampilkan sang penakluk sedang menunggang kuda; patung itu menjulang dari stepa yang berjarak satu jam perjalanan ke arah timur UB untuk menyalurkan semua amarah dan kegeraman kepada China.
Patung itu bukan satu-satunya yang memusatkan perhatian ke arah itu. Berdasarkan sejumlah besar perkiraan, di bumi Mongolia terkandung batu bara, tembaga, dan emas yang dapat ditambang senilai triliunan dolar, sebagian besar terpusat di dekat perbatasan dengan China di sekitar Oyu Tolgoi, atau Bukit Turquoise. Di situlah Ivanhoe Mines, perusahaan pertambangan raksasa Kanada, menambang deposit tembaga dan emas yang belum digarap dan yang terbesar di dunia. Mitranya adalah Rio Tinto, perusahaan Anglo-Australia, dan pemerintah Mongolia yang memiliki 34 persen saham proyek itu yang berpotensi mengalirkan miliaran dolar ke perekonomian nasional. Namun, berapa banyak dari jumlah itu yang akan bermigrasi sejauh 550 kilometer ke utara dan memasuki dompet rakyat biasa seperti Ochkhuu? Ochkhuu yakin dia tidak akan pernah menerima uang itu.
Namun, untuk sementara ini, dia harus bekerja. Mula-mula, dia dan mitranya menyewa kamar hotel, lalu memasarkannya kepada para penghuni ger, yang tidak memiliki air leding, sebagai tempat untuk mandi. Hanya sedikit yang menerima tawarannya. Ochkhuu merugi lebih dari sekitar 1,7 juta rupiah dalam usaha tersebut.Kini ia berpikir untuk membeli mobil bekas dan menjadikannya taksi. Dia akan memerlukan pinjaman uang, tapi yakin bahwa ia akan sukses. “Memang kami tidak bisa memelihara ternak di UB,” katanya melanjutkan. “Tetapi, ini tempat yang bagus untuk membesarkan anak-anak.”