Solusi Kota

By , Rabu, 23 November 2011 | 12:25 WIB

Kota di negara berkembang lebih padat lagi dan menggunakan sumber daya jauh lebih se­dikit. Tetapi, itu terutama karena konsumsi orang miskin tidak banyak. Warganya tidak me­miliki air bersih, toilet, atau pemungutan sampah. Mungkin demikian pula nasib satu mi­liar penghuni kota lain di negara berkembang. Dan kota seperti inilah, menurut proyeksi PBB, yang akan menyerap sebagian besar kenaikan populasi dunia antara sekarang dan tahun 2050—lebih dari dua miliar orang. Cara pemerintah kota-kota ini menanggapinya akan berdampak kepada kita semua.

Banyak pemerintah kota bertindak seperti Inggris saat menanggapi pertumbuhan London pada abad ke-19: dengan berusaha meng­hentikannya. Survei PBB melaporkan bahwa 72 persen negara berkembang menjalani ke­bijakan yang dirancang untuk memperlambat laju migrasi ke kota. Namun, orang keliru jika meng­anggap urbanisasi sebagai hal buruk, bukan sebagai bagian perkembangan yang tak terhindarkan, kata Satterthwaite, penasihat bagi pemerintah dan himpunan penghuni daerah kumuh di seluruh dunia. “Saya tidak takut pada pertumbuhan cepat,” katanya. “Saya bertemu banyak wali kota Afrika yang berkata, ‘Terlalu banyak orang yang pindah ke sini!’ Saya katakan, ‘Tidak, masalahnya adalah ketidakmampuan Anda mengatur mereka.’”!break!

Tidak ada model sempurna untuk mengelola urbanisasi yang cepat, tetapi ada beberapa contoh yang memberi harapan. Salah satunya Seoul, ibu kota Korea Selatan.Antara 1960 dan 2000 populasi Seoul me­lambung dari tiga juta kurang menjadi sepuluh juta jiwa, dan Korea Selatan berubah dari salah satu negara termiskin di dunia, dengan PDB per kapita di bawah $100, menjadi lebih kaya daripada beberapa negara di Eropa. Kecepatan perubahan itu kentara. Saat mengemudi ke Seoul melalui jalan raya yang menyusuri tepi Sungai Han, kita melewati lautan blok apartemen beton yang seragam dan meresahkan, masing-masing memajang angka besar untuk membedakannya dengan kembarannya. Namun, belum lama ini banyak orang Korea tinggal di gubuk. Blok apartemen mungkin tampak muram dari luar, kata perencana kota Yeong-Hee Jang kepada saya, tetapi kehidupan di dalamnya “begitu hangat dan nyaman.”

Setiap kota adalah perpaduan unik antara yang terencana dan yang tidak, antara fitur yang sengaja dirancang pemerintah dan yang muncul secara organik seiring waktu dari pilihan yang dibuat oleh warganya. Seoul direncanakan sejak awal. Para pendeta yang memilih lokasinya pada 1394 untuk Raja Taejo, pendiri dinasti Choson, mengikuti prinsip fengsui kuno. Me­reka menempatkan istana raja di tempat yang menguntungkan, dengan Sungai Han di depan dan gunung besar di belakang untuk me­lindunginya dari angin utara. Selama lima abad, sebagian besar kota itu tetap berada di dalam tembok enam belas kilometer, yang dibangun bawahan Taejo selama enam bulan. Inilah kota cendekia terpencil yang berpenduduk be­berapa ratus ribu jiwa. Kemudian, abad ke-20 pun meng­­hancurkannya.

Perang Dunia II, lalu Perang Korea, yang berakhir pada 1953, mendatangkan lebih dari sejuta pengungsi ke kota yang rusak parah akibat bom itu. Tidak banyak yang tersisa di Seoul. Akan tetapi, untuk pertama kalinya kota itu dipenuhi kumpulan orang yang tangguh. Mereka bertekad memperbaiki nasib. Dari masa inilah, ledakan penduduk Korea Selatan—yang dipicu oleh perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat yang cepat—menyamai tempat lain.

Semua energi itu ternyata ditata oleh seorang diktator (fakta yang mungkin dirasa tidak nyaman). Ketika Park Chung-Hee mengambil alih kekuasaan dalam kudeta militer pada 1961, pemerintahnya menyalurkan modal asing ke perusahaan-perusahaan Korea yang mem­produksi benda yang dibeli orang asing. Yang penting dalam proses ini, proses yang menciptakan konglomerat seperti Samsung dan Hyundai, adalah pria dan wanita yang mengalir ke Seoul untuk bekerja di pabrik-pabrik baru dan menuntut ilmu di universitas. “Urbanisasi tidak bisa dipahami terpisah dari perkembangan ekonomi,” kata ekonom Kyung-Hwan Kim dari Sogang University. Kota yang sedang tumbuh itu memungkinkan terjadinya ledakan ekonomi, yang membiayai pembangunan prasarana yang membantu kota itu menyerap populasi negara yang meningkat.

Banyak bangunan yang musnah dalam kesibukan membuldoser dan membangun gedung tinggi. Jika Anda tinggal di Seoul lama, di sebelah utara Sungai Han, pada tahun 1970-an dan 1980-an, Anda menyaksikan Seoul-baru bangkit dari sawah hijau di tepi selatan, di wilayah yang disebut Kangnam. Anda me­nyaksikan kelas menengah dan atas kota yang tumbuh itu meninggalkan gang berkelok dan rumah adat—hanok kayu elok, dengan halaman dan atap genting melekuk indah—ke gedung steril dan kisi-kisi jalan yang ramah-mobil. “Seoul kehilangan warnanya,” kata Choo Chin Woo, wartawan investigasi di berita mingguan SisaIN. Lebih buruk lagi, kaum miskin biasanya tersingkirkan saat hunian sementara mereka dikembangkan menjadi gedung-gedung yang tak mampu mereka beli.

Tetapi, seiring tahun-tahun berlalu, semakin besar persentase populasi yang mampu membeli tempat tinggal dalam ledakan permukiman. Sekarang setengah penduduk di Seoul memiliki apartemen. Orang Korea senang memanaskan udara rumah hingga 25 derajat, kata perencana kota Yeong-Hee Jang, dan dalam apartemen yang diperlengkapi dengan baik, hal itu ter­jangkau oleh mereka.

Seoul zaman sekarang adalah salah satu kota terpadat di dunia. Di sana ada jutaan mobil, tetapi juga sistem kereta bawah tanah yang baik. Di distrik-distrik baru pun, jalanannya tampak berwarna-warni bagi orang Barat. Semua se­marak dengan perdagangan dan dipadati pe­jalan kaki, yang masing-masing memiliki jejak karbon kurang dari setengah jejak karbon warga New York. Kehidupan semakin membaik bagi orang Korea seiring negara itu berubah dari 28 persen perkotaan pada 1961 menjadi 83 persen kini. Harapan hidup meningkat dari 51 tahun menjadi 79—setahun lebih tua daripada orang Amerika. Anak lelaki Korea masa kini ber­tubuh 15 sentimeter lebih jangkung daripada dulu.

Pengalaman Korea Selatan ini tidak mudah ditiru, tetapi membuktikan bahwa negara miskin dapat mengalami urbanisasi dengan sukses dan sangat cepat.

Rasa takut terhadap urbanisasi selama ini merugikan kota, negara, juga bumi. Ironisnya, Korea Selatan belum berhasil menyingkirkan pe­mikiran bahwa ibu kotanya yang besar itu adalah tumor yang menyedot nyawa dari daerah lain di negara itu. Sekarang pemerintah sedang membangun ibu kota kedua 120 kilo­­meter di sebelah selatan. Mulai 2012 pe­merintah berencana memindahkan setengah ke­menteriannya ke sana dan menyebarkan lem­baga-lembaga negara ke seluruh negeri, dengan harapan menyebarluaskan kekayaan Seoul. Pada 1971, ketika populasi kota melejit melebihi lima juta jiwa, Park mengikuti saran dari buku Ebenezer Howard. Ia mengelilingi kota itu dengan sabuk hijau lebar untuk meng­hentikan perkembangan lebih jauh, persis seperti yang dilakukan London pada 1947.

Kedua sabuk hijau ini memang memper­tahan­­­kan ruang terbuka, tetapi tidak meng­henti­kan pertumbuhan kota; orang kini pulang-pergi dari pinggiran kota yang melompati batasan sabuk itu. “Sabuk hijau menyebabkan orang ter­­dorong semakin jauh keluar, kadang-kadang terlalu jauh,” kata Peter Hall, perencana dan sejara­wan di University College London. Brasília, ibu kota terencana di Brasil, dirancang untuk 500.000 jiwa; sekarang dua juta jiwa tambahan tinggal di luar danau dan taman yang semestinya menghentikan perluasan kota itu. Tampaknya, usaha menghentikan pertumbuhan kota malah memperparah perluasannya.