Solusi Kota

By , Rabu, 23 November 2011 | 12:25 WIB

Perluasan kini merupakan masalah utama bagi perencana kota masa kini, sebagaimana anti­­tesisnya, kepadatan, seabad yang lalu. London tidak lagi dikutuk sebagai tumor. Per­luasan daerah pinggiran ke luar didorong oleh kebijakan lain pemerintah, seperti sub­sidi untuk jalan raya dan kepemilikan rumah. Didorong pula oleh satu lagi penentu nasib kota—pilihan yang dibuat oleh warga per­orangan. Ebenezer Howard memang benar soal itu: Banyak orang ingin punya rumah bagus dengan taman.

Perluasan bukan hanya fenomena di Barat. Dengan merujuk citra satelit, peta tua, dan data sensus, Shlomo Angel, dosen perencanaan kota di New York University dan Princeton, melacak perubahan bentuk dan kepadatan penduduk di 120 kota antara 1990 dan 2000. Di negara berkembang pun, kebanyakan kota meluas lebih cepat daripada orang masuk ke sana; kepadatan kota rata-rata turun 2 persen setiap tahun. Se­belum 2030, area pembangunan kota dapat berlipat tiga. Apa yang mendorong perluasan itu? Peningkatan pendapatan dan trans­portasi murah. “Saat pendapatan naik, orang punya uang untuk membeli ruang lebih luas,” Angel menjelaskan. Dengan transportasi murah, me­reka mampu membayar perjalanan lebih jauh antara rumah dan kantor.

Tetapi, jenis rumah yang dihuni dan trans­portasi yang digunakan juga berpengaruh. Pada abad ke-20, kota-kota Amerika dirancang-ulang berdasarkan mobil. Perluasan berdasarkan mobil ini melahap lahan pertanian, energi, dan sumber daya lain. Sekarang ini, para perencana di AS ingin pusat kota dihuni kembali dan suburbia dipadatkan, dengan cara membangun alun-alun yang dapat dijelajahi dengan jalan kaki, misalnya, di lapangan parkir di mal-mal gagal. Sementara di China dan India, saat orang masih membanjir ke kota, penjualan mobil sedang laris. “Jauh lebih baik bagi bumi,” tulis Edward Glaeser, jika negara-negara itu me­miliki “kota-kota padat yang dibangun ber­dasarkan lift, daripada wilayah-wilayah meluas yang di­bangun berdasarkan mobil.”

Kota berkembang niscaya akan meluas, kata Angel. Di antara anarki yang merajalela di banyak kota sekarang dan utopianisme yang mencirikan perencanaan kota, ada jenis pe­rencanaan sederhana yang dapat membuat per­bedaan besar. Perencanaan ini mengharuskan kita memandang ke depan berpuluh tahun, kata Angel, dan menghemat lahan, sebelum kota tumbuh di atasnya, untuk dibuat taman dan kisi-kisi koridor angkutan umum yang padat. Ini dimulai dengan memandang kota yang tumbuh sebagai pemusatan energi manusia yang dapat ditata dan dimanfaatkan.

Dengan jalan perdagangan yang tenang dan rumah-rumah Seni dan Kerajinan, Letchworth di Inggris, sekarang terasa seperti kota ta­man yang terlupakan oleh waktu. Sebagian be­sar warga kotanya bekerja di London atau Cam­bridge. Namun, kota itu memiliki aspek penting yang dipandang banyak perencana masa kini sebagai kunci kelestarian: Kota ini tidak dirancang berdasarkan mobil. Howard tak menghiraukan ciptaan baru di masanya itu. Dari mana pun di Letchworth orang dapat berjalan kaki ke pusat kota untuk berbelanja atau naik kereta api ke London.

Lima puluh lima kilometer ke selatan, London tetap tak tergantikan. Sekarang ada de­lapan juta orang yang tinggal di sana. Semua upaya untuk mengatur labirin jalannya telah gagal—siapa pun yang pernah naik taksi di London pasti berpendapat begitu. “London tidak direncanakan sama sekali!” seru Peter Hall suatu sore saat kami melangkah ke jalan di depan British Academy. Tetapi, kota itu me­lakukan dua hal bijak saat mengembang keluar pada abad ke-19 dan 20, kata Hall. London mem­­pertahankan taman-taman semi-liar yang luas, seperti Hampstead Heath, tempat warga dapat bercengkerama dengan alam. Lebih penting lagi, London memperluas jalur kereta api di atas dan bawah tanah. “Perbaiki transportasi,” kata Hall. “Lalu biarkan semua berjalan apa adanya.”

Setelah berkata demikian, ia menghilang ke bawah tanah untuk pulang, meninggalkan saya di trotoar ramai dengan karunia besar: beberapa jam untuk dilewatkan di London. Ebenezer Howard pun tentu memahami perasaan itu, se­­tidaknya ketika masih muda. Saat pulang se­telah beberapa tahun di AS, ia menulis, “Aku sering dikuasai pe­rasaan suka cita yang aneh pada saat seperti itu... Jalan ramai—pertanda kemakmuran, kekacauan dan kesemrawutan menarik bagiku, dan membuatku gembira.