Kidung Sastra di Bumi Dewata

By , Minggu, 29 Januari 2012 | 06:40 WIB

Di sebuah panggung kecil dalam halaman Gedong Kirtya Singaraja, Bali, Ni Luh Suyeni bersimpuh menghadap meja kayu mungil berkaki tunggal. Di atasnya tergeletak sebuah kotak memanjang berona cokelat muda. Perlahan dan berhati-hati, ia memindahkan penutupnya dan mengeluarkan lontar tua yang seakan telah lama terlelap di dalamnya, membebaskan ikatan yang membebat, lalu mengamati sejenak lempir atau lembarannya.!break!

Setelah menghirup napas panjang, ia mulai menghidupkan isi naskah tersebut dalam nyanyian syahdu berirama lamban. Kalimat Jawa Kuno yang berasal dari turisan (torehan) kisah karya Mpu Tantular dalam lontar Kakawin Sutasoma mengalir dari mulutnya: "Ri tan somyan… teng bhumi sahana… muwah ring kadi kami… (Jika engkau tiada berbelas kasih dan memperhatikan dunia seperti kami ini…)" suaranya nyaring mendayu-dayu, menyejukkan hati dan udara yang menyengat siang itu.

Setelah dua kali mewirama atau mendendang­kan kalimat tersebut, ia mengerling ke arah Ni Nyoman Putriasa yang duduk di sisi kanannya,  berhenti sejenak, kemudian tersenyum dan mengangguk. Dengan langgam puitis, Ni Nyoman Putriasa menerjemahkan kalimat itu ke dalam bahasa Bali.

Beberapa fragmen dalam lontar Kakawin Sutasoma yang digubah enam ratus tahun silam ini harus dilantunkan dalam lomba mewirama pada acara Pesta Kesenian Bali 2011 yang terselenggara setiap pertengahan tahun di Denpasar. Inilah penggalan cerita kala Sutasoma yang rupawan mendapat wejangan dari Dewi Pertiwi dalam pelariannya ke hutan karena menolak ditahbiskan oleh sang ayahanda menjadi raja.

Bagi saya, kisah Sutasoma tidak lebih dari naskah yang mengandung kalimat bhineka tunggal ika, yang tertera pada Garuda Pancasila. Namun, kini kisah itu menjadi begitu merdu di tangan masyarakat Bali. Imajinasi saya lantas melayang kembali ke ratusan tahun yang lalu, saat syair ini diciptakan dan dilantunkan secara turun-temurun, hingga saat ini.

Di tengah alunan suara seruling Bali, saya dan I Ketut Suharsana, Kepala Perpustakaan dan Museum Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Gedong Kirtya yang kini bernaung di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Buleleng, bercakap-cakap di ruang kerjanya yang dipenuhi oleh perabot kayu.!break!

Gedong Kirtya, yang awalnya bernama Stichting Liefrinck Van der Tuuk merupakan sebuah yayasan penyimpanan lontar. Yayasan ini didirikan berdasarkan hasil Pertemuan Kintamani oleh para cendekiawan Hindia Belanda, yang dihadiri pula oleh para pinandita (pemuka agama) dan raja-raja Bali, pada 1928. Dulunya gedung ini juga diperuntukkan bagi penyimpanan hasil penerbitan berkala yang terkait dengan segala penelitian yang dilakukan di pulau dewata.

Sejak saat itu, lontar-lontar milik masyarakat giat dipinjam dan digandakan ke atas lontar baru. Hingga tahun 1987, Gedong Kirtya mampu menyalin sekitar 4.000 buah lontar dengan beragam isi.

Namun, cita-cita pendiri untuk memusatkan salinan lontar tersebut di bumi Singaraja tak berlangsung lama. Suharsana berkisah, sejak perpindahan ibu kota provinsi dari Singaraja ke Denpasar sesuai keputusan Keputusan Menteri Dalam Negeri pada 1960 karena dinilai lebih representatif sebagai cermin ibu kota, Gedong Kirtya pun mulai terseok-seok membiayai kegiatan operasionalnya.

“Tahun 1987, turunlah Surat Keputusan Gubernur yang membubarkan Yayasan Gedong Kirtya,” ujarnya. Bersamaan dengan itu, datanglah kendaraan yang memboyong sebagian koleksi lontar Gedong Kirtya ke Denpasar. “Kalau ada dua lontar yang sama, ditinggal satu. Kalau hanya satu, ya dibawa,” lanjutnya. Sampai saat ini, lontar-lontar itu tersebar di perpustakaan lontar di daerah lain, salah satunya di Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Denpasar.

Pada 2007, pendokumentasian dilaksanakan terhadap naskah-naskah lontar yang tersisa. Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama dengan Perpustakaan Nasional. Kala itu, ada 32 naskah lontar yang isinya sempat didokumentasikan dalam bentuk film.!break!

Kini, memasuki ruang lontar Gedong Kirtya seperti kembali ke masa lalu: naskah-naskah lontar didekap keropak atau kotak kayu, ditata apik di atas dua buah rak cokelat tua bertingkat enam. Di rak sepanjang sekitar tiga meter itu setiap keropak memiliki keterangan di ujungnya. Satu keropak mewadahi beberapa buah lontar.

“Ruang lontar yang ada di sini kita sucikan, lontar-lontarnya juga kita sakralkan,” ujar Suharsana. Di ujung lorong rak tampak meja sesaji. “Masih banyak lontar tahun 1800-an yang ada di sini,” lanjutnya. Sementara di dekat pintu masuk, beberapa buah rak berkaca disesaki buku-buku tua dari zaman Belanda yang warnanya kuning kecokelatan.