Kidung Sastra di Bumi Dewata

By , Minggu, 29 Januari 2012 | 06:40 WIB

Sikap juga harus diperhatikan. “Posisi kedua tangan sejajar dengan ulu hati,” ujar Ida I Dewa Gde Catra, yang saya panggil Pak Catra, seorang penyalin lontar yang tinggal di Amlapura. Sikap tubuh juga harus tegak. “Napas juga harus diatur agar tulisan stabil, karena itulah saya beryoga. Saat menulis, lembar lontarlah yang bergerak ke arah kiri. Bukan tangan kita”, lanjutnya.!break!

Bali yang memulai banyak catatan menggunakan lontar masih dikenang Catra yang lahir pada 1935. Pria yang tak terlihat setua umurnya ini berkisah, bahwa catatan kelahiran, jual beli tanah, serta administrasi kemasyarakatan lainnya dituris di atas lontar dengan aksara bali. “Saya alami langsung hal itu sampai dengan sebelum tahun 1950,” paparnya.

“Hampir di setiap rumah orang Bali yang beragama Hindu pasti memiliki lontar. Ini sebenarnya boleh dikatakan satu kekayaan terpendam di masyarakat,” ujar Catra yang pernah menjabat sebagai kepala sekolah.

Selain menyalin, ia juga tersohor akan produksi blangko lontarnya yang awet dan bermutu tinggi. “Mulai dari proses menebang daun lontar hingga jadi, bisa memakan waktu hingga dua tahun. Memang pekerjaan yang menjemukan,” ungkapnya.

Pada 1978, enam tahun setelah ia mulai belajar menuris lontar, Catra dihadapkan pada lontar tua rapuh dari Griya Pidada yang berjarak sekitar dua kilometer dari tempatnya tinggal kini: Sebuah salinan lontar Nagarakretagama berisi kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk saat beranjangsana dari Majapahit ke Lumajang.

Naskah ini ia salin ke atas kertas, seperti apa adanya. “Jika lontarnya bolong ya saya kosongkan isinya,” kenangnya. Sekitar 13 tahun kemudian, tepatnya pada 1991, ia meleburkan diri dalam tim yang merevisi hukum guru lagu Nagarakretagama, dengan acuan catatan salinannya tersebut.!break!

Aksara lontar ini punya tanda khusus karena menggunakan hukum wirama saat membaca. Suara Ni Luh Suyeni seolah muncul di telinga saya saat Catra memamerkan salinan lontar Nagarakretagama miliknya, kini memiliki indeks mewirama. “Jenis mewiramanya 98 kali berganti,” ujarnya bangga.

Keterampilan menuris lontar tidak hanya dimiliki oleh mereka yang terpanggil hatinya untuk menyalin isi lontar-lontar kuno. Di Desa Tenganan nan sunyi, sekitar 30 menit berkendara dari Karangasem, I Nyoman Suanda sibuk menekuri tujuh lempir lontarnya yang diikat berbaris-baris. Ia sedang mempercantik gambar barong yang terletak di bagian paling atas, dari gambar peta bali yang ia turis dengan pengrupaknya. Sesekali ia menggosok lontar tersebut dengan sebutir kecil kemiri yang berfungsi semacam tinta. Kemudian disapunya dengan jemari. Permukaan lontar pun berubah menghitam atau berwarna cokelat,  memunculkan apa yang telah diturisnya.

Di mejanya yang dilapis taplak berwarna hijau itu digelar pula kalender Bali bergambar dewa-dewa yang ditemani kala. Ada yang dalam bahasa asing, ada pula yang dalam aksara Bali dengan gambar lebih rumit dan apik. Selain menekuni gambar-gambar seperti ini, Nyoman juga membuat pesanan seperti tanda mata untuk orang yang menikah di luar negeri, serta kartu nama dengan peta jalan di bagian belakang. Saya teringat, betapa Titik menekankan bahwa tradisi penulisan lontar berjalan dengan amat baik di Bali. Mereka sadar betul, tradisi ini menarik hati turis mancanegara.

Para pewirama bisa menyihir saya saat menghidupkan isi lontar melalui kemerduan suara mereka. Namun, saya menemukan makna lain yang amat mendalam dalam lontar keagamaan yang membawa saya ke bagian selatan Bali. Pagi itu angin berembus kencang di pantai Goa Lawah, mendorong tubuh-tubuh yang berdiri goyah di sela debur ombak yang menghantam pantai dengan tak menentu. Seorang Sri Mpu atau pandita pemimpin upacara, sibuk mengucap mantra di atas pelataran.

Tangan kirinya sibuk menggoyang genta yang bunyi­nya menusuk telinga, mengalahkan amukan air di depan mata. Orang-orang berbusana putih duduk bersila menghadap laut lepas. Dupa-dupa yang ditancapkan di pasir hitam tak lagi tercium aromanya.!break!

Lima buah sesaji berisi buah dan bunga berjajar rapi di atas pasir, di baris terdepan. Juga dua buah batang menjulang sekitar setengah meter yang akarnya dibalut kain putih, disebut puspa lingga, perlambang ruh orang yang telah tiada. Inilah Upakara Nuntun, yang biasanya diadakan setelah Ngaben dan Memutru, guna menuntun arwah berkeliling pura dan berpamitan kepada para leluhur.

“Nuntun adalah proses Maligya, mempersatukan roh yang lahir ke bumi untuk kembali ke asal. Proses ini mempermaklumkan seseorang yang pernah hidup, agar diampunkan kesalahannya, dan bisa kembali dengan tenang,” papar I Made Suparta dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Inilah upacara yang dihidupkan dari turisan di atas lontar Padma Buana. “Padma Buana adalah sembilan teratai di alam, yang dihubungkan dengan sembilan pura di bali. Secara simbolik biasanya upacara ini dilaksanakan dari tiga pura: pura gunung, tengah, dan laut, atau Pura Besakih, Pura Tampak Siring, dan Pura Goa Lawah,” lanjutnya.

Ni Wayan Widiastuti, dokter gigi yang bermukim di Jimbaran, adalah salah seorang pembawa puspa lingga. Selain ayah dan ibunya, upacara ini juga dipersembahkan bagi kakek dan dua orang kerabatnya.

Hari menjelang senja. Bayangan jatuh memanjang di lantai Pura Besakih. Setelah melakukan upacara selama sehari penuh di delapan buah pura, tibalah kami pada pura pengujung: Pura Penataran Agung. Di sini suara doa menyayup disapu angin di ketinggian. Keluarga yang hadir tak lagi sebanyak saat di Pura Goa Lawah. Perjalanan ini memang berat. Rombongan harus naik turun membawa sesaji yang tak ringan bobotnya ke pura-pura di lembah dan punggungan.!break!

Suara aliran sungai yang membelah Bali Art Center Denpasar pagi itu lenyap dalam riuh lomba di area sekelilingnya. Di area Ratna Kanda, sembilan pria dan sembilan wanita remaja tingkat SMP mewakili kabupaten sedang mengalihaksarakan teks berbahasa Bali berhuruf latin ke dalam aksara Bali di atas daun lontar.

Saya sendiri tercenung di area Ayodya yang tempat duduknya bertingkat-tingkat. Berbalut busana adat berwarna putih dengan kain cokelat muda dan hiasan kepala, Ni Luh Suyeni dan Ni Nyoman Putriasa duduk bersimpuh menghadap keropak di sela asap dupa. Jantung saya berdebar saat mereka kembali mewirama dengan merdu.

Kerja keras pelantun dari Buleleng ini tak sia-sia. Mereka berhasil keluar jadi juara kedua di Pekan Kesenian Bali tahun ini. Di sini, di antara penyalin lontar, di tengah penuris belia, di hadapan pelantun wirama, tiap lempir lontar jadi sarat makna.

Turisan itu tak hanya sekadar torehan di atas daun. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang membuat naskah-naskah kuno terus hidup dan mengalir di dalam jiwa mereka yang memegang teguh budaya yang diturunkan oleh nenek moyang, sejak berabad silam.