Napak Tilas Para Rasul

By , Jumat, 24 Februari 2012 | 14:47 WIB

Pemandu saya di Kerala adalah Columba Stewart dan Ignatius Payyappilly. Stewart adalah direktur pelaksana di Hill Museum & Manuscript Library, gerejanya, yang selama ini melestarikan berbagai manuskrip keagamaan di seluruh dunia sejak 1965. Payyappilly dan segelintir anak buahnya memimpin kegiatan di Kerala, mendigitalkan dan melestarikan ribuan daun palem bertulis dan manuskrip lainnya.

Upaya mereka ini berlomba dengan iklim lembap, yang dapat menghancurkan berbagai manuskrip itu jika tidak dirawat dengan baik. Sejak 2006, tim ini telah menghimpun 12 terabyte data digital—satu juta citra manuskrip. Dokumen tertua mereka adalah kumpulan hukum gerejawi yang berasal dari tahun 1291. Dokumen luar biasa ini penting bagi umat Kristiani Tomas karena menghubungkan me­reka dengan perintis keyakinan mereka.

Di India, Tomas dihormati sebagai penginjil yang berani. Di dunia Barat, dia mewakili pe­meluk agama yang berjuang untuk memahami ketidakpastian. “Gambaran khas tentang Tomas”, kata Stewart, “adalah Tomas yang ragu-ragu. Julukan ini kurang tepat karena dia bukan meragukan kebangkitan Yesus, melain­kan merasa perlu bertemu dengan Yesus agar kebangkitan itu nyata. Jadi, mungkin lebih tepat kalau dia dijuluki Tomas yang pragmatis atau Tomas yang menuntut bukti.

Ia sosok yang begitu rajin belajar dari pengalaman sehingga dia berkata, ‘Aku perlu menyentuh luka di ke­pala dan tubuh Yesus.’ Dan pengalaman ini mem­berinya semangat yang diperlukannya untuk melakukan hal-hal hebat.”!break!

Keraguan Tomas tentang kebangkitan ini dilihat dari dua sisi dalam sejarah ajaran Kris­tiani. Di satu sisi, sejumlah ahli teologi dengan cepat mengatakan bahwa keraguannya wajar saja, mirip ketidakpastian, boleh dikatakan sangat skeptis, yang dirasakan oleh jutaan orang dari segi metafisika. Bagaimana kita tahu? Bahwa Tomas mempertanyakan kebangkitan Kristus, meraba lukanya, lalu percaya, kata se­jumlah orang, memberikan makna yang lebih dalam akan keyakinannya. Di sisi lain, masalah keraguannya dipandang oleh sebagian orang sebagai cacat spiritual.

St. Tomas masih tetap berfungsi sebagai peng­hubung langsung antara para pengikutnya di Kerala dan kisah pembentukan umat Kristiani di pesisir Mediterania, melintasi dunia yang di­kenalnya pada abad pertama. Tidak seperti kelompok Kristiani yang terbentuk kemudian di Asia yang berpindah agama atas jasa para pe­nginjil, para penganut Kristiani Tomas per­caya bahwa gereja mereka didirikan oleh salah seorang pengikut terdekat Kristus, dan hal ini sangat penting bagi jati diri spiritual mereka.

“Gereja mereka adalah gereja yang di­dirikan seorang Rasul,” ujar Stewart, “dan hal itu merupakan bukti sah yang amat kuat bagi kelompok Kristiani.”

JIWA VENESIA

Evangelis Markus tidak diragukan lagi men­jadi kebanggaan warga setempat: Tidak ada tokoh sejarah yang lebih erat kaitannya dengan Venesia daripada santo panut­an mereka ini. Alun-alun yang me­nyandang nama­­nya merupakan jantung kota Venesia, gereja­nya merupakan pusat keimanan kunonya. Lambang Markus—singa bersayap, dengan cakar mencengkeram Alkitab yang terbuka­—sama terkenalnya dengan gondola. Bagi warga Venesia abad ke-9 dan sesudahnya,

“Viva San Marco!” merupakan pekik pemacu semangat, dan legenda St. Markus jalin-menjalin dengan asal-usul Republik Venesia. Namun, konon di­kabarkan Markus wafat sebagai martir di Alexandria, Mesir. Bagaimana kisahnya?

Dalam kerapuhan untuk saling meraih keku­asaan politik di Italia pada abad ke-9, negara muda yang kaya dan ditakdirkan berkuasa ini membutuhkan status terpandang di bidang ke­agamaan, selain kuat dari segi militer. Sebagai tokoh panutan, kota itu membutuhkan santo asli. Maka, pada 828, kemungkinan atas pe­rintah kepala pengadilan, dua saudagar Venesia bernama Bono da Malamocco dan Rustico da Torcello mencuri jenazah St. Markus dari makam­nya di Alexandria.

Saat kembali ke kapal, para konspirator itu memasukkan jenazah santo tersebut ke dalam sebuah keranjang, me­nutupinya dengan daging babi. Memang, ke­tika pihak berwenang di pelabuhan Muslim me­ngintip ke dalam keranjang tersebut, me­reka mundur lagi dengan jijik sambil berteriak-teriak “Kanzir! Kanzir!”—“babi” dalam bahasa Arab—dan memerintahkan para pelaut Venesia itu untuk bergegas pergi. Dalam pelayaran pulang, badai menyapu pantai Yunani. St. Markus, yang je­nazahnya diikat ke tiang, menghentikan badai itu sehingga kapal pun selamat.