Pameran RMST ditata dengan apik, tetapi tahun demi tahun banyak ahli arkeologi laut melontarkan komentar pedas ke perusahaan dan para direkturnya, menyebut mereka penjarah kuburan, pemburu harta karun, tukang obat kaki lima—dan komentar lain yang lebih parah lagi. Robert Ballard, yang sudah lama berpendapat bahwa reruntuhan dan seluruh isinya seharusnya dilestarikan di tempat asalnya, sangat pedas kritikannya mengenai metodologi yang diterapkan RMST. "Tidak ada orang datang ke Louvre, lalu menyentuh Mona Lisa,” kata Ballard. "Orang-orang ini dimotivasi oleh sifat serakah—coba saja perhatikan sepak terjang mereka selama ini.”
Namun, kini RMST memiliki manajemen baru dan mengubah pendekatannya, mengalihkan fokus dari penyelamatan semata-mata menjadi rencana jangka panjang untuk menyikapi reruntuhan itu sebagai situs arkeologi. Bahkan, pameran 2010 yang menampilkan pemandangan pertama tentang keseluruhan lokasi reruntuhan telah dikelola, dipimpin, dan dibiayai oleh RMST. Bertentangan dengan tahun-tahun sebelumnya, sekarang perusahaan itu justru mendukung seruan penyusunan undang-undang baru yang menciptakan kawasan lindung maritim Titanic. Menjelang akhir 2011, RMST mengumumkan rencana untuk melelang seluruh koleksi artefak dan hak kekayaan intelektual yang terkait senilai Rp1,73 miliar untuk menyambut hari jadi keseratus tragedi tersebut—tetapi, hanya jika mereka mendapatkan penawar yang bersedia mematuhi persyaratan ketat yang ditetapkan oleh pengadilan federal.
Saya bertemu Presiden RMST, Chris Davino, di gudang artefak perusahaan di Atlanta. Di dalam gedung yang suhu dan kelembapannya diatur ini, sebuah forklif bergerak di sepanjang lorong panjang yang dipenuhi deretan peti yang diberi label, yang berisi segala macam relik—piring, pakaian, surat, botol, bagian pipa leding, lubang angin—yang diambil dari lokasi selama kurun waktu tiga dasawarsa. Di sini Davino telah memimpin RMST sejak 2009, menjelaskan strategi dan prinsip baru perusahaan. "Selama bertahun-tahun, satu-satunya hal yang disepakati oleh komunitas Titanic adalah kemuakan mereka terhadap kami,” katanya. "Jadi, sudah waktunya untuk menilai kembali segalanya. Kami harus melakukan sesuatu, bukan sekadar memulihkan artefak. Kami harus berhenti bersengketa dengan para pakar dan mulai bekerja sama dengan mereka.”
Dan memang itulah yang dilakukan. Instansi pemerintah seperti NOAA yang sebelumnya terlibat dalam tuntutan hukum terhadap RMST, sekarang bekerja langsung dengan RMST menangani berbagai proyek ilmiah bercakupan luas yang didedikasikan untuk melindungi lokasi reruntuhan. "Tidaklah mudah mencari keseimbangan antara pelestarian dan keuntungan,” ujar Dave Conlin, kepala ahli arkeologi laut di National Park Service. "RMST layak mendapat kecaman pada tahun-tahun silam, tetapi mereka juga layak mendapatkan pujian karena telah menempuh pendekatan baru ini.”
Para ilmuwan memuji RMST yang belum lama ini mempekerjakan salah seorang pakar Titanic paling terpandang di dunia untuk menganalisis gambar-gambar yang dihasilkan pada 2010 dan mulai mengidentifikasi kepingan penuh teka-teki yang masih berserakan di dasar laut. Sosok Bill Sauder pendek dan gempal, mengenakan kacamata tebal. Janggutnya juga tebal. Kartu namanya menyatakan dia sebagai "direktur riset Titanic”, tetapi jabatan itu belum mencerminkan pengetahuannya yang sangat ensiklopedis tentang Titanic. !break!
Ketika saya bertemu dengannya di Atlanta, dia tengah duduk di depan komputer, berusaha mengorek setumpuk puing-puing hasil pemotretan tahun 2010 di dekat buritan Titanic. Sauder berpendapat bahwa daerah sekitar buritan mungkin sekali akan menjadi daerah pusat penelitian pada tahun-tahun mendatang. "Haluan memang sangat menarik untuk diteliti, tetapi kami sudah menelitinya ratusan kali,” kata Sauder. "Semua reruntuhan dari sini ke selatanlah yang menarik minat saya.”
Sauder mencari sesuatu yang dapat dikenali. "Kita membayangkan reruntuhan kapal seperti kuil Yunani di atas bukit—sangat indah,” katanya. "Padahal tidak demikian. Reruntuhan kapal ibarat lokasi industri: tumpukan lempengan dan paku keling dan tali pengencang. Jika kita berniat menafsirkan reruntuhan ini, kita harus menyukai lukisan Picasso.”
Sauder memperbesar gambar yang sedang diamatinya, dan dalam beberapa menit berhasil memecahkan, setidaknya, sebagian kecil misteri di dekat buritan itu: di atas reruntuhan tampak daun pintu ayun dari perunggu yang penyok, mungkin berasal dari ruang duduk kelas satu. Ini pekerjaan yang membutuhkan waktu dan kesabaran luar biasa, yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang mengenal setiap jengkal kapal tersebut dari proyek penyelidikan yang sangat rumit. Pekerjaan ini juga dapat membuat Bill Sauder sibuk selama bertahun-tahun.
Pada akhir Oktober, saya berada di Manhattan Beach, California, di dalam sebuah studio film seukuran hanggar pesawat. Di sini James Cameron, dikelilingi peralatan dan model memesona yang berasal dari film garapannya pada 1997, Titanic, mengumpulkan sejumlah pejabat kelautan paling terkemuka di dunia. Bersama Cameron, Bill Sauder, dan penjelajah RMST Paul-Henry Nargeolet, di meja bundar itu tampak pula sejarawan Titanic, Don Lynch dan seniman Titanic yang terkenal, Ken Marschall, bersama seorang insinyur kelautan, pakar kelautan Woods Hole, dan dua arsitek Angkatan Laut AS.
Cameron menjuluki dirinya sebagai "orang sinting tukang menghitung paku keling Titanic”. Pembuat film ini pernah memimpin tiga ekspedisi ke lokasi reruntuhan. Dia membuat dan merintis robot baru penggulung-serat yang gesit yang menghasilkan gambar bagian dalam kapal yang belum pernah terlihat sebelumnya, termasuk gambaran sekilas ruang sauna Turki dan beberapa kamar tidur mewah.
Cameron juga pernah memfilmkan reruntuhan kapal perang Bismarck dan sekarang tengah membangun sebuah kapal selam untuk membawa dirinya dan timnya ke Palung Mariana. Namun, Titanic tetap memikat perhatiannya. "Terdapat gabungan yang sangat aneh antara biologi dan arsitektur di bawah sana—semacam biomechanoid,” katanya kepada saya. "Menurut saya sangat indah dan unik. Kita benar-benar merasa mengunjungi Tartarus—dunia yang lain.”Seminar meja bundar yang berlangsung dua hari itu berkonsentrasi hanya pada segi forensik: mengapa Titanic pecah sedemikian rupa? Kapankah komponen kapal dalam jumlah tak terhingga itu berjatuhan menukik ke dasar laut? !break!
"Yang kita lihat ibarat tempat kejadian perkara kejahatan,” ujar Cameron. "Setelah kita memahaminya, kita jadi ingin tahu: bagaimana bisa sampai begitu? Mengapa pisau berada di sini, sedangkan pistol tergeletak di sana?”