Seminar meja bundar itu menjadi diskusi yang sangat teknis—membicarakan rasio gaya luncur, tenaga yang luar biasa, kajian kekeruhan. Pendengar yang tidak memahami masalah teknis pastilah menarik kesimpulan: detik-detik terakhir Titanic sungguh mengerikan. Banyak cerita mengisahkan kapal itu "meluncur memasuki ombak lautan,” seakan-akan masuk ke peraduannya dengan tenang, padahal penggambaran ini sama sekali tidak tepat. Berdasarkan analisis cermat selama bertahun-tahun terhadap reruntuhan itu, lalu model supercanggih tentang membanjirnya air laut memasuki kapal, serta simulasi "elemen batas” yang digunakan dalam industri perkapalan modern, para pakar menggambarkan hentakan maut mengerikan yang dialami Titanic.
Kapal itu menghantam gunung es dengan bagian sampingnya pada pukul 23.40, menyebabkan lambung kanannya sobek sepanjang 90 meter, dan ini menguakkan enam kompartemen kedap-air sehingga dibanjiri air laut. Sejak saat itulah kapal dipastikan akan tenggelam. Namun, kematian tampaknya datang lebih cepat ketika awak kapal membuka pintu jalan masuk di samping kiri. Karena kapal mulai miring ke kiri, pintu yang berat itu tidak dapat ditutup lagi, dan menjelang pukul 1.50, air laut membanjir lewat pintu tersebut.
Pada pukul 2.18, ketika sekoci penyelamat terakhir sudah dilepaskan 13 menit sebelumnya, haluan itu sudah dipenuhi air dan buritan sudah menjulang tinggi sehingga menciptakan tekanan berat pada bagian tengah kapal. Kemudian, Titanic pecah menjadi dua.
Cameron berdiri dan memperagakan kejadian tersebut. Dia menyambar sebuah pisang, lalu menekuknya dengan tangan: "Perhatikan, pisang ini meliuk dan menonjol di tengah sebelum pecah.” Kulit pisang di bagian bawah, yang diibaratkan bagian bawah lambung yang terdiri atas dua lapisan lempengan yang kuat, adalah bagian terakhir yang pecah.
Setelah terlepas dari buritan, haluan tenggelam dengan cepat ke dasar laut dengan sudut tajam. Ketika meluncur semakin cepat, bagian-bagian kapal mulai berlepasan. Cerobongnya terlontar. Ruang kemudi pun hancur berantakan. Setelah lima menit menukik tajam, haluan itu terhunjam ke dalam lumpur dengan kekuatan sangat besar sehingga meninggalkan bekas pola riak lumpur yang hingga sekarang masih tampak jelas di dasar laut.!break!
Buritannya, karena tidak memiliki ujung hidrodinamis seperti haluan, menukik dengan empasan lebih besar, berjungkir balik dan terpelintir saat jatuh. Bagian depan yang berukuran besar, yang sudah melemah oleh retakan di permukaan, melontarkan isinya ke dasar laut. Kompartemen meledak. Dek demi dek runtuh tumpuk-menumpuk seperti lapisan telur dadar. Lempengan lambung kapal terkoyak-koyak. Dek di bagian atas terpelintir ke belakang. Bagian-bagian yang lebih berat seperti ketel langsung menghunjam, sementara bagian-bagian lain terlontar. Sejauh kira-kira empat kilometer, buritan itu terus meluncur ke bawah dengan ganasnya—pecah, penyok, meliuk, memadat, dan berangsur-angsur tercerai-berai. Ketika menghantam dasar laut, bentuknya sudah tidak bisa dikenali lagi.
Sambil duduk kembali, Cameron memasukkan sepotong pisang yang sudah tidak keruan bentuknya itu ke dalam mulutnya, lalu memakannya. "Kita tidak ingin Titanic tercerai-berai seperti ini,” katanya. "Kita ingin kondisinya utuh seperti bangkai kapal yang sempurna.”
Saya terus bertanya dalam hati: apa yang terjadi pada mereka yang masih berada di atas Titanic saat kapal tersebut tenggelam? Sebagian besar dari 1.496 korban ternyata tewas akibat hipotermia di permukaan laut, terapung-apung berpegangan pada pelampung. Namun, ratusan orang mungkin masih berada dalam keadaan hidup di dalam kapal, kebanyakan di antara mereka keluarga imigran di kelas murah. Bagaimanakah nasib mereka tatkala kapal tercerai-berai dan mendengar suara logam yang begitu memekakkan telinga? Bahkan setelah seratus tahun berlalu, sungguh memilukan membayangkannya.
St. John’s, Newfoundland, adalah salah satu tempat lain yang berkaitan dengan Titanic. Pada 18 Juni 1912, di sini sebuah kapal penyelamat kembali ke St. John’s sambil membawa jenazah penumpang Titanic terakhir yang ditemukan.
Saya berencana ke lokasi reruntuhan dari St. John’s bersama International Ice Patrol, badan yang dibentuk setelah malapetaka tersebut untuk mengawasi gunung es yang berada di lintasan pelayaran kapal di Atlantik Utara. Ketika angin topan melanda dan menyebabkan semua penerbangan dibatalkan, saya mengunjungi sebuah bar. Lalu, di situ disuguhi vodka buatan lokal yang disuling dengan air gunung es. Agar semakin dramatis, bartender mencemplungkan kepingan inti es berbentuk segitiga ke dalam gelas saya. Konon, kepingan itu berasal dari patahan gletser Greenland yang menghasilkan gunung es yang menenggelamkan Titanic.
Beberapa tahun sebelum malapetaka terjadi, Guglielmo Marconi membangun pos nirkabel di selatan St. John’s, Cape Race. Warga mengatakan bahwa orang pertama yang menerima sinyal keadaan gawat darurat dari Titanic adalah Jim Myrick, pemuda 14 tahun yang sedang magang di pos itu. Pada awalnya, transmisi itu masuk sebagai sandi darurat standar, CQD, tetapi kemudian Cape Race menerima sinyal baru yang jarang digunakan: SOS.!break!
Suatu pagi di Cape Race, di antara bangkai mesin dan alat penerima Marconi yang sudah usang, saya bertemu dengan David Myrick, cucu-keponakan Jim, seorang operator radio maritim dan orang terakhir yang bekerja menangani alat komunikasi antik itu. David bercerita bahwa kakeknya baru mau bercerita tentang malam tenggelamnya Titanic setelah usianya sangat lanjut.
Kami berjalan di dekat mercusuar dan melayangkan pandangan ke laut dingin yang ombaknya menghantam tebing di bawah kami. Tampak sebuah kapal tanker minyak di kejauhan. Lebih jauh lagi, di Grand Banks, dilaporkan terbentuk lagi beberapa gunung es baru. Masih lebih jauh lagi, di suatu tempat di balik cakrawala, tergeletak bangkai kapal paling terkenal di dunia. Pikiran saya dipenuhi sinyal yang bermunculan di ionosfer—propagasi gelombang radio, teriakan masa lampau yang terbenam dalam waktu. Saya membayangkan seakan-akan dapat mendengar suara Titanic: sebuah wahana yang menyandang kebanggaan dalam namanya, melesat cerdas menuju dunia baru, namun kandas hanya oleh sesuatu yang lawas dan lamban: es.