Tempat Para Hamba Berkuasa

By , Kamis, 29 Maret 2012 | 16:41 WIB

Sekarang Palmares menjadi taman nasional di negara bagian Alagoas, yang hanya dapat dicapai melalui jalan tanpa rambu yang becek berlumpur. Plakat di samping kolam puncak itu menyampaikan kisah Aqualtune—tak ada yang tahu seberapa banyak fakta yang terkandung dalam cerita itu. Yang diketahui peneliti secara pasti adalah bahwa sekitar sepuluh desa di quilombo itu menjadi tempat berlindung bagi hingga 30.000 orang Afrika dan Indian. Jumlah penduduknya saat itu kira-kira sama dengan seluruh Amerika Utara yang dikuasai Inggris. Pada 1630-an, putra Aqualtune, Ganga Zumba, sudah memerintah Palmares dari istana dengan hiasan mewah, perjamuan melimpah, dan bawahan yang gemetar ketakutan.

Rakyat Ganga Zumba menggunakan bengkel bergaya Afrika untuk membuat bajak dan beliung logam, untuk digunakan di ladang campuran bergaya Indian yang ditanami jagung, beras, dan ubi kayu, serta hutan pertanian kelapa sawit dan sukun. Permukiman dikelilingi pagar pelindung, lubang yang berisi pasak maut, dan jalan yang dipasangi ranjau cacak yang mengoyak kaki. Jika penyerang menyerbu desa luar, warganya kabur ke dataran tinggi yang memiliki tanah subur dan air artesis, sehingga mereka dapat bertahan dalam pengepungan selama apa pun.

Pemerintah Portugal menganggap Palmares menentang negara koloninya. Tentara pelarian bukan hanya menyerang permukiman Portugis; mereka juga menghalangi perluasan Eropa lebih jauh ke pedalaman. Portugal menyerang Palmares lebih dari 20 kali, selalu gagal. Tetapi, pertikaian yang terus-menerus itu membuat Ganga Zumba lelah, dan pada 1678 dia sepakat untuk berhenti menerima pelarian baru dan pindah dari pegunungan. Keponakan Ganga Zumba, Zumbi, yang menolak hal yang dipandangnya sebagai pengkhianatan itu, meracuni pamannya dan merobek perjanjian itu. Sebagai balasan, pasukan kolonial menyerang Serra da Barriga tahun demi tahun. Bangsa Portugis akhirnya menghancurkan Palmares setelah pengepungan mengerikan pada 1694, yang menewaskan ratusan warganya.

Sekilas pandang, quilombo yang masih ada sekarang mirip dengan desa Brasil miskin yang lain. Tetapi, sebagian besar masih memiliki unsur-unsur budaya Afrika tempat asal warganya, bercampur dengan tradisi Eropa dan pribumi. Di Brasil ada banyak kepercayaan spiritual campuran—dan orang Brasil-Afrika yang menganutnya itu menari, menabuh gendang, dan melatih tari bela diri capoeira. Di berbagai quilombo yang terpencil itu, berkembang pawai dan perayaan berdasarkan tradisi spiritual ini, mengikat berbagai komunitas itu. Perjuangan demi kebebasan ini dikisahkan dalam tarian ritual Lambe-Sujos, yang menampilkan "budak pelarian," yang sebagian besar berlumuran minyak hitam berkilap, mengisap dot bayi, yang melambangkan sumbat bulat keji yang dipasangkan pada mulut budak yang membangkang. Dengan bergandeng tangan dalam semangat perlawanan, kaum Quilombola merayakan sejarah mereka seraya melestarikannya.

Perjuangan untuk menyelamatkan hutan hujan menimbulkan konsekuensi tak terduga bagi quilombo. Lonjakan penggundulan hutan Amazon pada 1970-an menyulut kemarahan dunia. Chico Mendes memimpin kampanye untuk mengakui pentingnya hutan Amazon dan hak "warga tradisionalnya," termasuk warga quilombo. Sementara itu, kediktatoran militer runtuh dalam kekisruhan inflasi dan skandal. Brasil memberlakukan undang-undang dasar baru yang demokratis pada Oktober 1988. Dua bulan kemudian Mendes dibunuh oleh pembunuh bayaran yang dipekerjakan oleh peternak. Tetapi, sudah terlambat menghentikan perjuangannya: Undang-undang dasar baru itu melindungi hak suku tradisional. UUD itu menyatakan bahwa komunitas quilombo adalah "pemilik sah tanah yang ditempatinya."!break!

"Saat itu tak ada yang memahami implikasinya," kata Alberto Lorenço Pereira, wakil menteri untuk pembangunan berkelanjutan dalam kementerian perencanaan jangka panjang Brasil, yang merumuskan kebijakan tanah. Menurutnya, para penulis undang-undang hanya membayangkan "segelintir quilombo yang tersisa di suatu tempat di hutan" yang anggota lansianya akan dihadiahi ladangnya sendiri. Kini diyakini secara luas bahwa mungkin ada 5.000 atau lebih komunitas pelarian di Brasil, sebagian besar di Cekungan Amazon, menempati setidaknya 30 juta hektare—kira-kira sebesar Papua. Konflik pun tak terhindarkan, kata Pereira. "Banyak orang lain menginginkan tanah itu."

Peternak, petambang, pekebun, spekulan tanah, dan pemilik perkebunan yang berang menuduh bahwa banyak wilayah quilombo adalah pencaplokan tanah—penghuni liar yang ingin untung cepat dengan berpura-pura menjadi keturunan budak. "Terjadi ledakan kemarahan," kata Manuel Almeida, kepala Terras Quilombos de Jambuaçu, himpunan 15 komunitas pelarian di hilir Sungai Amazon. "Anggota senat negara bagian mempertanyakan keabsahan kami dan mencoba membantu petani kelapa sawit dan perusahaan tambang yang menginginkan tanah quilombo," katanya. Antara 1988 dan 2003, hanya 51 sertifikat tanah diberikan kepada komunitas quilombo. Jambuaçu mendapat sertifikat pada musim gugur 2008, tetapi hanya setelah pertarungan yang panjang dan pahit dengan peternak dan penambang.

Brasil kesulitan menetapkan apa persisnya quilombo itu. Definisi awalnya—komunitas keturunan budak yang kabur—tampak tak bermasalah. Tetapi, bagaimana hukum semestinya memperlakukan tempat-tempat seperti Frechal, di hutan timur Brasil, di mana budak yang membantu membebaskan majikannya dari utang dihadiahi tanah, tetapi masih ditindas oleh penanam pascakolonial? Atau tanah di Tocantins, yang pada 1860-an dihadiahkan pemerintah kepada milisi budak karena terjun dalam perang melawan Paraguay? Dalam definisi yang ketat, semua permukiman tersebut bukan dibuat oleh orang pelarian. Tetapi, semuanya merupakan komunitas otonom yang didirikan oleh orang Afrika, lalu orang Indian bergabung, dengan budaya campuran, sejarah perlakuan buruk yang panjang, dan tanpa sertifikat sah yang diakui untuk tanahnya.

Untuk menyelesaikan sengketa ini, Luiz Inácio Lula da Silva, presiden saat itu, memutuskan pada November 2003 bahwa quilombo adalah komunitas mana pun yang menamai dirinya sebagai quilombo dan memiliki "leluhur Afrika yang terkait dengan sejarah perlawanan terhadap penindasan historis." Setelah keputusan Lula, quilombo bermunculan dalam jumlah begitu besar, sehingga badan yang mengevaluasi klaim mereka pun kewalahan. Sekitar 1.700 quilombo diakui secara resmi, dan jumlahnya terus bertambah.

Kalangan pebisnis dan pembela lingkungan menyadari dengan waswas bahwa permukiman Indian-Afrika yang kecil-kecil ini dapat memperoleh wilayah Sungai Amazon yang luas. Lebih buruk lagi, dari sudut pandang mereka, karena banyak quilombo dibangun pada tanah subur dengan akses sungai, sebagian menjadi properti paling berharga di cekungan sungai.

Bagi tamu luar, pertanian milik Maria do Rosário Costa Cabral dan keluarganya di negara bagian Amapá tampak seperti lanskap tropis yang tak terjamah. Namun, hampir setiap spesies di dalamnya dipilih dan dirawat oleh Costa Cabral dan saudara-saudaranya. Selama bertahun-tahun mereka menanam limau, kelapa, cupuaçu (kerabat kakao), dan acai (buah palem yang populer karena konon mengandung banyak antioksidan). Di tepi sungai mereka dengan hati-hati merawat semak dan menanam pohon buah yang mengundang ikan masuk ke hutan saat air pasang. Namun, semuanya tampak liar, setidaknya bagi orang luar.!break!

Pertanian itu berada di dekat Mazagão Velho, kota yang didirikan pada 1770 oleh kolonis Portugis dari Maroko yang disuruh pemerintah untuk pindah ke Amapá, dengan harapan kehadiran mereka di sana menghalau potensi serangan oleh kolonis Guyana. Untuk memudahkan transisi ini, para kolonis dihadiahi beberapa ratus budak. Para kolonis segera menemukan dengan kecewa bahwa Mazagão Velho bercuaca sangat lembap. Tak sampai sepuluh tahun setelah mereka tiba, para kolonis—terjangkit malaria, tinggal di gubuk reyot—memohon pemerintah agar memindahkan mereka. Pada akhirnya, hampir semua kolonis menyelinap pergi. Para budak tiba-tiba tak bermajikan.