Tempat Para Hamba Berkuasa

By , Kamis, 29 Maret 2012 | 16:41 WIB

Mereka bebas sepanjang mereka berpura-pura masih budak. Bangsa Portugis ingin bisa melapor kepada Raja bahwa ada permukiman yang menjaga sayap utara Brasil. Keturunan orang Afrika dalam koloni itu menyebar ke daerah pedesaan. Hidup di tepi sungai, para budak tanpa majikan ini bertahan hidup dengan cara yang sama seperti tetangga Indiannya: Sungai menyediakan ikan dan udang, kebun berskala kecil menghasilkan ubi kayu, pepohonan menyediakan semua hal lain. Setelah dua abad ditanam, dirawat, dan dipanen terus-menerus, hutan itu pun menjadi terstruktur. Dengan memadukan teknik pribumi dan Afrika, mereka menciptakan lanskap yang cukup rimbun sehingga dikira sebagai alam liar tak terjamah.

Costa Cabral adalah nenek 62 tahun yang kuat dan waspada, lahir di quilombo miskin bernama Ipanema. Ayahnya melewatkan hari-hari mencari pohon karet di hutan, tumbuhan pribumi Amazon, dan menyadap getah karet dari balik kulitnya. Karena tak bisa mendapatkan sertifikat tanah yang sah, Costa Cabral dan keluarganya hidup pas-pasan dengan menjual udang, buah acai, dan minyak sawit. Mereka membangun pertanian dan berkali-kali diusir dari situ. Jadi, pada 1991 Costa Cabral dan kakak-adiknya menyambar kesempatan membeli 10 hektare di tepi sungai Igarapé Espinhel, anak sungai Amazon.Bagi orang non-Amazon, tanah itu tidaklah  mengesankan. Terletak di labirin anak-anak sungai yang mengalir ke muara Amazon, tanah itu dibanjiri air pasang dua hari sekali.

Costa Cabral dan keluarganya mulai menggarap tanah dengan teknik yang dipelajari dari ayah mereka. Mereka menanam pohon kayu yang tumbuh cepat untuk kilang kayu di hulu. Untuk pasar, mereka menanam pohon buah-buahan. Dengan lukah udang—mirip dengan perangkap di Afrika Barat—mereka menangkap udang dengan bubu yang mengapung di sungai.

Hutan garapan seperti milik Costa Cabral tersebar di seluruh Cekungan Sungai Amazon. Namun, penatagunaan lingkungan yang terlalu hati-hati kadang merugikan Quilombola. Organisasi lingkungan sering berasumsi bahwa semua tindakan manusia pasti merusak hutan. Sekitar tiga ratus kilometer di sebelah barat Mazagão Velho, kaum Quilombola di Sungai Trombetas mengelola hutan dengan begitu indah sehingga pada 1979 Brasil menetapkan suaka biologi seluas hampir 4.000 kilometer persegi di tepi timur sungai. Undang-undang yang menetapkan suaka itu melarang "perubahan lingkungan apa pun, termasuk berburu dan menangkap ikan di wilayah itu," membuat murka para warga yang keluarganya sudah satu setengah abad hidup di sana. Sepuluh tahun kemudian, enam quilombo dilahap oleh hutan nasional baru yang berukuran hampir sama di tepi barat sungai. Hutan nasional itu dibuka untuk tambang bauksit raksasa, tetapi melarang warga lamanya menebang pohon.

"Justru karena orang-orang inilah hutan ini masih ada," kata Leslye Ursini, antropolog di badan pengelolaan tanah Brasil, INCRA. "Sekarang mereka diserang oleh aktivis lingkungan dan penambang bauksit." Mengusir mereka dari wilayah itu malah akan memperburuk keadaan hutan, kata Ursini.!break!

Setahun setelah membeli properti, Costa Cabral mendapat kejutan yang tidak menyenangkan: Sertifikat tanahnya, sama seperti banyak sertifikat di Amazonia, kacau. "Kami datang ke kantor INCRA untuk memeriksa apakah sertifikat itu sudah selesai," katanya. Keluarga itu menemukan bahwa "secara resmi, properti itu dimiliki oleh orang lain, dan sertifikat itu memiliki utang pajak." Costa Cabral  harus membayar utang pajak itu untuk memiliki properti. Selama sepuluh tahun lebih ia terus berjualan acai, udang, dan tanaman obat di Macapá, ibu kota Amapá, sedikit demi sedikit mengumpulkan cukup uang untuk melunasi pajak. Dia memperoleh surat kepemilikan pada 2002. Suatu hari Costa Cabral bertemu dengan rombongan survei di pertaniannya, yang memasang pancang dan mengikatkan pita pada pohon. "Mereka berkata, ‘Bagus sekali tempat acai ini—mari kita bagi-bagi dan jual,’" dia mengenang. Para pembeli itu lalu menggunakan pengadilan untuk mengusir penduduk.

Pada 2009 Presiden Lula menandatangani Undang-undang Sementara 458, upaya ambisius untuk membereskan kepemilikan tanah di Amazonia—akar penyebab kekerasan dan perusakan ekologi selama 40 tahun terakhir. Undang-undang itu memberi sertifikat kepada quilombo yang anggotanya sudah menempati tanah dan masing-masing memiliki kurang dari 80 hektare. Kami berbicara dengan Costa Cabral tak lama setelah undang-undang itu ditandatangani. Dia belum mendengar kabar itu. Tetapi, saat kami memberitahunya, ia mengangguk bersemangat. "Akhirnya," katanya.