Saat Vanselow dan Ricklef memeriksa data siklus Matahari, ilmuwan Inggris Andrew Wright memeriksa dampak siklus bulan terhadap kejadian terdamparnya koteklema di Kepulauan Inggris dan Kanada utara. Usut punya usut, ternyata paus-paus tersebut juga terdampar saat bulan purnama. Akan tetapi, Wright tidak mengusulkan satu penjelasan khusus tentang mengapa bulan purnama membuat paus koteklema terdampar. Faktanya, lebih banyak paus koteklema yang terdampar saat atau di sekitar waktu bulan purnama. Mengapa begitu? Belum ada penjelasan yang memadai. !break!
Contoh terakhir terjadi baru-baru ini. Pada sekitar tanggal 19 Januari 2012 terjadi letusan massa koronal (CME) pada permukaan Matahari yang mengakibatkan badai matahari dan terbentuknya aurora-aurora menakjubkan di daerah kutub tiga hari kemudian.
Entah kebetulan atau bukan, pada 23 Januari, sebanyak 99 ekor paus pilot (Globicephala macrorhynchus) terdampar di Farewell Spitt di Pulau Selatan, Selandia Baru. Lebih dari sepertiga paus-paus tersebut mati. DARI sekitar 87 spesies paus dan lumba-lumba di seluruh dunia, 30 di antaranya ada di Indonesia (ditambah dugong, satu-satunya anggota ordo Sirenian di kawasan Indo-Pasifik). Namun, data kejadian terdampar di negeri kita memang jarang ada. Mudah diduga, data pertama tentang kejadian terdampar yang ada di Indonesia berasal dari catatan pemerintah Hindia Belanda.
Pada akhir abad ke-19, Gervais mencatat kejadian terdampar pertama di Nusantara: seekor paus bongkok di Pekalongan, Jawa Tengah, pada tanggal 12 April 1863. Seabad kemudian, E.J. Slijper dan rekan-rekannya dari Netherlands Whale Research Group dari Universiteit van Amsterdam memeriksa catatan kapal-kapal penangkap paus asal Belanda yang sempat melanglang Samudra Hindia dari tahun 1953 hingga 1958. Catatan kapal-kapal tersebut menunjukkan adanya beberapa paus besar di perairan Nusantara, termasuk paus bongkok dan koteklema.
Akan tetapi, Slijper dan rekan-rekannya tidak menemukan catatan kejadian terdampar. Setelah kejadian 1863, tidak ada lagi catatan terdampar hingga dekade terakhir. Karena kebanyakan catatan kejadian terdampar di Indonesia berasal dari pemberitaan, banyak detail yang luput ditulis. Ironisnya, hanya data-data tersebutlah yang kita punya hingga kini.
Suatu hari setelah menyaksikan bangkai anak paus bongkok di Tabanan, saya dan rekan-rekan duduk dan menganalisis seluruh kejadian terdampar yang sempat kami catat. Catatan kami memang hanya mulai dari tahun 1987. Tetapi, hingga 2007 tercatat 35 kejadian terdampar di seluruh Nusantara, walaupun tidak ada catatan untuk lumba-lumba ukuran kecil, semacam lumba-lumba hidung botol. !break!
Akhir-akhir ini, peneliti penyu Jaya Ratha dari Bali membantu menambahkan 18 kejadian terdampar di Bali sejak 2008 hingga 2011. Para kolega kami dari milis Marine Mammals Indonesia menambahkan 25 kejadian terdampar di tempat-tempat lain di seluruh Nusantara. Total, ada 78 kejadian terdampar di Indonesia dari tahun 1987 hingga 2011.
Dua pertiga kejadian terdampar terjadi di Indonesia bagian tengah; lebih dari 60 persen terjadi di Bali. Secara keseluruhan, Bali sepertinya merupakan tempat paling "populer" bagi kejadian terdampar, disusul Papua Barat. Nusa Tenggara Timur (enam kejadian) membuntuti bersama dengan Jawa Timur (lima kejadian). Banyaknya kejadian terdampar di Bali tidak selalu berarti bahwa Bali merupakan tempat terdampar paling rawan di Indonesia. Bisa jadi disebabkan perairan Bali lebih mudah diakses oleh para reporter sehingga lebih banyak pemberitaan di Bali.
Mengingat kualitas foto yang kurang baik, atau karena bangkainya sudah membusuk, separuh dari data yang tersedia tidak menampilkan jenis paus tertentu. Namun, sepertiga dari paus yang terdampar berhasil diidentifikasi sebagai koteklema. Jelas sekali bahwa 78 kejadian terdampar dalam 24 tahun terakhir ini merupakan hal yang agak mengkhawatirkan.
Minimnya data pendukung seperti siklus bulan, siklus bintik matahari, dan gangguan cuaca membuat para peneliti kesulitan untuk merunut dugaan penyebab para raksasa malang tersebut terempas dari samudra. Nekropsi juga tidak pernah dilakukan sehingga sulit memeriksa hubungan kejadian terdampar dengan penyakit tertentu. Selain itu, amat sulit memastikan adanya kapal selam atau kapal angkatan laut lain yang memancarkan sonar frekuensi rendah yang mengganggu daya jelajah si hewan.
SEWAKTU saya dan Wira tiba di Pantai Kelating, kami lihat para penduduk desa sedang membakar bangkai anak paus bongkok yang terdampar itu. "Kami sempat melihat si ibu paus berenang di kejauhan waktu kami berusaha menyelamatkan si anak paus," tutur Made Sujana, Kepala Otorita Tanah Lot Bali. "Kami gunakan perahu untuk menarik dan melepaskan si anak paus ke laut dalam." Sayang, hewan malang tersebut tidak berhasil diselamatkan. Untuk "menghindari sial" dan bau busuk yang berkepanjangan, Bupati Tabanan pun menginstruksikan agar anak paus tersebut dikremasi.
Meski sempat mengambil sedikit sampel untuk menganalisis DNA-nya, kami tidak dapat mengukur kembali anak paus yang mati tersebut karena proses pembakaran sudah berlangsung. Karakter-karakter morfologis seperti ekor paus, bentuk moncong dan lain-lainnya menunjukkan bahwa anak paus itu memang termasuk jenis paus bongkok. Kami mengambil beberapa foto dan kemudian kembali ke Denpasar untuk mengantarkan sampel DNA ke lab genetik Universitas Udayana. Jika sudah dianalisis, sampel tersebut akan dapat memberikan beberapa informasi, seperti asal muasal si anak paus. Namun, pada akhirnya pertanyaan yang paling penting tetap tidak terjawab: mengapa si anak paus bisa terdampar?