Para Gergasi yang Terempas

By , Kamis, 29 Maret 2012 | 17:17 WIB

Seingat saya, siang hari di bulan Oktober 2007 itu sangat panas. Padahal, mestinya saat itu sudah memasuki musim hujan. Hidung saya tersengat bau yang sangat tajam saat berjalan di pasir Pantai Kelating di Tabanan, Bali. Di sebelah saya berjalan Wira Sanjaya, aktivis lingkungan asal Bali. Atas informasi dari Reef Check Indonesia—organisasi untuk konservasi laut—kami hendak menjenguk seekor paus yang terdampar di Tabanan. Ini bukan paus sembarang paus. Paus tersebut ternyata adalah paus bongkok (Megaptera novaeangliae), yang keberadaannya di perairan Indonesia sempat diduga cerita belaka.

"Sepertinya ini anak paus yang sama seperti yang terdampar di Tanah Lot minggu lalu," ujar salah seorang warga, sambil menghela napas panjang. Dia terlihat sedih. Kesedihan bapak tersebut cukup beralasan. Tepat seminggu sebelumnya, pada 2 Oktober 2007, seekor anak paus ditemukan terdampar di sekitar Pura Tanah Lot yang terkenal di Tabanan ini. Walaupun masih "anak", paus tersebut sudah berukuran sekitar enam meter, sehingga memerlukan setidaknya selusin orang untuk menariknya kembali ke laut. Ia pun selamat. Namun, anak paus yang diduga sama dengan yang terdampar seminggu lalu itu kini kembali terempas gelombang.

PERISTIWA terdamparnya paus masih menjadi misteri bagi para ilmuwan yang meneliti binatang-binatang yang cerdas dan mengagumkan ini. Fakta-fakta menunjukkan bahwa paus dan lumba-lumba bergigi (disebut juga Odontoceti) lebih mudah terdampar dalam kelompok dibandingkan dengan paus baleen (Mysticeti) yang lebih "suka" terdampar sendirian. Akan tetapi, penyebab mereka terdampar belum dapat dipastikan.

Para peneliti mengemukakan empat hal yang menjadi kemungkinan penyebabnya. Pertama, mereka bisa terdampar karena sakit. Kedua, binatang tersebut mengalami disorientasi karena terpengaruh oleh sonar frekuensi rendah yang dipancarkan oleh benda-benda atau peralatan buatan manusia. Paus dan lumba-lumba dapat juga mengalami disorientasi karena cuaca yang sangat buruk seperti badai siklon. Yang terakhir, terdapat indikasi bahwa kejadian-kejadian seperti bintik matahari dan siklus bulan dapat juga menyebabkan paus terdampar. !break!

Dengan perkecualian paus jantan dewasa jenis tertentu, pada umumnya cetacean (nama umum bagi paus dan lumba-lumba) adalah binatang sosial. Ibu dan anak biasanya melakukan perjalanan migrasi bersama dalam satu pasangan atau dalam satu kelompok yang dipimpin oleh figur betina yang paling tua. Yang jantan biasanya memisahkan diri dari kelompok ibu, bibi, atau kakak/adik perempuannya.

Kelompok-kelompok ini dipimpin oleh satu figur yang paling tua, atau paling besar. Anggota kelompok selalu mengikuti pemimpin mereka ke mana pun mereka pergi, walaupun sang pemimpin sakit, mengalami disorientasi, dan akhirnya terdampar. Begitu sang pemimpin terdampar, yang lain juga ikut terdampar. Para ahli memberikan dua penjelasan tentang masalah penyakit ini: parasit (seperti cacing Nasitrema di dalam otak mereka) atau polusi logam berat.

Kemungkinan kedua yang bisa menjadi penyebab terdamparnya paus adalah penggunaan sonar aktif frekuensi rendah (LFAS) yang dipancarkan oleh peranti buatan manusia, terutama pada kapal laut dan kapal selam.

Organ pendengaran sangatlah penting bagi cetacean. Mata cetacean justru tidak berguna di bawah laut. Karenanya, binatang ini mengembangkan indra pendengar bukan hanya untuk mendengar, melainkan juga untuk "melihat" di bawah laut. Telinga seperti mata kedua bagi mereka. Cetacean melihat benda-benda dengan teknik ekolokasi, yang sangat bergantung pada sistem pendengaran yang sehat, mirip kelelawar yang mengandalkan kemampuan ekolokasinya untuk mencari pohon buah atau sekadar menghindar dari penghalang di depan mata saat sedang terbang. Jadi, jika telinga paus atau lumba-lumba rusak, itu sama saja seperti buta.

Banyak paus yang menggunakan suara getaran rendah untuk berkomunikasi atau melakukan navigasi. LFAS yang juga berfrekuensi rendah sering berinterferensi dengan kisaran pendengaran dan ekolokasi cetacean, membuat paus bingung dan akhirnya terdampar. Lebih parah lagi, LFAS juga dapat menyebabkan perdarahan dalam, sehingga tidaklah mengherankan jika saat ditemukan di pantai paus-paus malang ini kerap kali sudah dalam keadaan sekarat. !break!

Banyak organisasi di Amerika Serikat telah menyatakan keberatan atas penggunaan LFAS dalam latihan-latihan angkatan laut AS. Walaupun rangkaian protes tersebut telah berhasil mengurangi penggunaan LFAS dalam lingkup angkatan laut, tetap saja praktik tersebut belum dapat dihilangkan.

Eksplorasi seismik juga bisa saja menjadi penyebab terempasnya paus. Biasanya perusahaan migas lepas pantai menggunakan airgun dalam kegiatan eksplorasi seismik untuk mencari pasokan migas. Airgun tersebut memancarkan suara frekuensi rendah yang cukup intensif yang dapat mengganggu sistem navigasi dan komunikasi paus. Walaupun para ilmuwan tidak memiliki cukup bukti bahwa airgun dapat mengempaskan paus, kita tetap tidak dapat menepis kemungkinan adanya efek domino dari airgun terhadap sistem navigasi cetacean.

BEBERAPA hari setelah Badai Marilyn kategori 3 menyapu Virgin Islands pada September 1995, Antonio A. Mignucci-Giannoni dan timnya dari Universidad Metropolitana, Puertoriko memeriksa bangkai-bangkai paus pembunuh kerdil (Feresa attenuataPhyseter macrocephalus) dari tahun 1712 hingga 2003. Dalam penelitian mereka disebutkan bahwa peristiwa terdamparnya koteklema sebagian besar terjadi pada tahun aktif bintik matahari.

Bintik matahari adalah kawasan "hitam" pada permukaan Matahari yang sebenarnya merupakan kawasan yang lebih "dingin" daripada kawasan-kawasan di sekitarnya. Jumlah bintik matahari yang terlalu banyak dapat menimbulkan badai matahari yang memengaruhi medan magnet Bumi, dan pada gilirannya, mungkin memengaruhi "navigasi" paus saat menjelajahi samudra.

Saat Vanselow dan Ricklef memeriksa data siklus Matahari, ilmuwan Inggris Andrew Wright memeriksa dampak siklus bulan terhadap kejadian terdamparnya koteklema di Kepulauan Inggris dan Kanada utara. Usut punya usut, ternyata paus-paus tersebut juga terdampar saat bulan purnama. Akan tetapi, Wright tidak mengusulkan satu penjelasan khusus tentang mengapa bulan purnama membuat paus koteklema terdampar. Faktanya, lebih banyak paus koteklema yang terdampar saat atau di sekitar waktu bulan purnama. Mengapa begitu? Belum ada penjelasan yang memadai. !break!

Contoh terakhir terjadi baru-baru ini. Pada sekitar tanggal 19 Januari 2012 terjadi letusan massa koronal (CME) pada permukaan Matahari yang mengakibatkan badai matahari dan terbentuknya aurora-aurora menakjubkan di daerah kutub tiga hari kemudian.

Entah kebetulan atau bukan, pada 23 Januari, sebanyak 99 ekor paus pilot (Globicephala macrorhynchus) terdampar di Farewell Spitt di Pulau Selatan, Selandia Baru. Lebih dari sepertiga paus-paus tersebut mati. DARI sekitar 87 spesies paus dan lumba-lumba di seluruh dunia, 30 di antaranya ada di Indonesia (ditambah dugong, satu-satunya anggota ordo Sirenian di kawasan Indo-Pasifik). Namun, data kejadian terdampar di negeri kita memang jarang ada. Mudah diduga, data pertama tentang kejadian terdampar yang ada di Indonesia berasal dari catatan pemerintah Hindia Belanda.

Pada akhir abad ke-19, Gervais mencatat kejadian terdampar pertama di Nusantara: seekor paus bongkok di Pekalongan, Jawa Tengah, pada tanggal 12 April 1863. Seabad kemudian, E.J. Slijper dan rekan-rekannya dari Netherlands Whale Research Group dari Universiteit van Amsterdam memeriksa catatan kapal-kapal penangkap paus asal Belanda yang sempat melanglang Samudra Hindia dari tahun 1953 hingga 1958. Catatan kapal-kapal tersebut menunjukkan adanya beberapa paus besar di perairan Nusantara, termasuk paus bongkok dan koteklema.

Akan tetapi, Slijper dan rekan-rekannya tidak menemukan catatan kejadian terdampar. Setelah kejadian 1863, tidak ada lagi catatan terdampar hingga dekade terakhir. Karena kebanyakan catatan kejadian terdampar di Indonesia berasal dari pemberitaan, banyak detail yang luput ditulis. Ironisnya, hanya data-data tersebutlah yang kita punya hingga kini.

Suatu hari setelah menyaksikan bangkai anak paus bongkok di Tabanan, saya dan rekan-rekan duduk dan menganalisis seluruh kejadian terdampar yang sempat kami catat. Catatan kami memang hanya mulai dari tahun 1987. Tetapi, hingga 2007 tercatat 35 kejadian terdampar di seluruh Nusantara, walaupun tidak ada catatan untuk lumba-lumba ukuran kecil, semacam lumba-lumba hidung botol. !break!

Akhir-akhir ini, peneliti penyu Jaya Ratha dari Bali membantu menambahkan 18 kejadian terdampar di Bali sejak 2008 hingga 2011. Para kolega kami dari milis Marine Mammals Indonesia menambahkan 25 kejadian terdampar di tempat-tempat lain di seluruh Nusantara. Total, ada 78 kejadian terdampar di Indonesia dari tahun 1987 hingga 2011.

Dua pertiga kejadian terdampar terjadi di Indonesia bagian tengah; lebih dari 60 persen terjadi di Bali. Secara keseluruhan, Bali sepertinya merupakan tempat paling "populer" bagi kejadian terdampar, disusul Papua Barat. Nusa Tenggara Timur (enam kejadian) membuntuti bersama dengan Jawa Timur (lima kejadian). Banyaknya kejadian terdampar di Bali tidak selalu berarti bahwa Bali merupakan tempat terdampar paling rawan di Indonesia. Bisa jadi disebabkan perairan Bali lebih mudah diakses oleh para reporter sehingga lebih banyak pemberitaan di Bali.

Mengingat kualitas foto yang kurang baik, atau karena bangkainya sudah membusuk, separuh dari data yang tersedia tidak menampilkan jenis paus tertentu. Namun, sepertiga dari paus yang terdampar berhasil diidentifikasi sebagai koteklema. Jelas sekali bahwa 78 kejadian terdampar dalam 24 tahun terakhir ini merupakan hal yang agak mengkhawatirkan.

Minimnya data pendukung seperti siklus bulan, siklus bintik matahari, dan gangguan cuaca membuat para peneliti kesulitan untuk merunut dugaan penyebab para raksasa malang tersebut terempas dari samudra. Nekropsi juga tidak pernah dilakukan sehingga sulit memeriksa hubungan kejadian terdampar dengan penyakit tertentu. Selain itu, amat sulit memastikan adanya kapal selam atau kapal angkatan laut lain yang memancarkan sonar frekuensi rendah yang mengganggu daya jelajah si hewan.

SEWAKTU saya dan Wira tiba di Pantai Kelating, kami lihat para penduduk desa sedang membakar bangkai anak paus bongkok yang terdampar itu. "Kami sempat melihat si ibu paus berenang di kejauhan waktu kami berusaha menyelamatkan si anak paus," tutur Made Sujana, Kepala Otorita Tanah Lot Bali. "Kami gunakan perahu untuk menarik dan melepaskan si anak paus ke laut dalam." Sayang, hewan malang tersebut tidak berhasil diselamatkan. Untuk "menghindari sial" dan bau busuk yang berkepanjangan, Bupati Tabanan pun menginstruksikan agar anak paus tersebut dikremasi.

Meski sempat mengambil sedikit sampel untuk menganalisis DNA-nya, kami tidak dapat mengukur kembali anak  paus yang mati tersebut karena proses pembakaran sudah berlangsung. Karakter-karakter morfologis seperti ekor paus, bentuk moncong dan lain-lainnya menunjukkan bahwa anak paus itu memang termasuk jenis paus bongkok. Kami mengambil beberapa foto dan kemudian kembali ke Denpasar untuk mengantarkan sampel DNA ke lab genetik Universitas Udayana. Jika sudah dianalisis, sampel tersebut akan dapat memberikan beberapa informasi, seperti asal muasal si anak paus. Namun, pada akhirnya pertanyaan yang paling penting tetap tidak terjawab: mengapa si anak paus bisa terdampar?