Gunung Erebus

By , Senin, 25 Juni 2012 | 12:58 WIB

Lokasi: sebuah tenda di Gunung Erebus, vulkan aktif di Pulau Ross, Antartika. Tenda ini jenis tepee bersudut empat seperti yang dibawa Kapten Robert Falcon Scott dalam ekspedisi Antartikanya lebih dari satu abad yang lalu. Tenda ini cukup tinggi, orang setinggi 165 sentimeter dapat berdiri di tengahnya, dan memiliki dua lubang di bagian atas yang berfungsi sebagai cerobong asap. Tenda ini ditempati dua orang; keduanya meringkuk dalam kantong tidur. Udara terlalu dingin untuk membaca; sekalipun bersarung tangan, tetap terlalu dingin untuk memegang buku. Karena itulah kedua pesakitan—salah satunya saya—menghabiskan waktu dengan mengobrol.

“Apa mikroba favoritmu?” tanya saya sambil membuang lapisan es dari kantong tidur.

“Jelas arkea apak,” jawab rekan saya, Craig Herbold, pria Amerika yang menggeluti astrobiologi, cabang ilmu yang mempelajari kehidupan yang mungkin ada di tempat lain di alam semesta. Dia peneliti dan anggota junior tim beranggota tiga orang yang datang ke sini untuk mencari makhluk hidup di tanah panas gunung berapi itu. Sungguh. Ia datang ke salah satu tempat terdingin di Bumi untuk mencari organisme yang hidup dalam suhu tinggi.

Gunung Erebus merupakan gunung berapi aktif paling selatan di planet ini. Gunung ini mulai terbentuk sekitar 1,3 juta tahun yang lalu dan sekarang menjulang 3.794 meter di atas permukaan laut. Lerengnya tertutup salju, es, gletser, jurang es, dan sesekali aliran lava, tetapi uap hampir selalu mengepul di puncaknya, menandakan panas di dalamnya. Jika diibaratkan kudapan, Erebus seperti kebalikan es krim goreng—beku di luar, panas di dalam.

Gunung ini ditemukan tahun 1841 dalam ekspedisi yang dipimpin Sir James Clark Ross, yang menamainya dengan salah satu kapalnya, H.M.S. Erebus, yang berasal dari dewa kegelapan Yunani, Erebos. Namun, tidak ada yang sampai ke puncaknya hingga 1908, saat gunung itu didaki anggota ekspedisi Nimrod yang dipimpin Sir Ernest Shackleton—dalam ekspedisi itu Shackleton memimpin tim hingga seratus mil laut dari Kutub Selatan tetapi berbalik agar semuanya bisa pulang dengan selamat.!break!

Tim Shackleton mendaki Erebus. Mereka butuh waktu lima setengah hari untuk sampai ke atas, perjuangan ini termasuk menghadapi badai salju yang memaksa mereka meringkuk dalam kantong tidur selama lebih dari 24 jam tanpa minuman, terpajan pada suhu -34°C, menyebabkan satu orang ambruk kelelahan, dan seorang lagi menderita radang dingin ekstrem sehingga kehilangan jempol kaki.

Perjalanan kami tak sesulit itu. Kami menumpang helikopter.

Meskipun lokasinya terpencil dan iklimnya ganas—suhu rata-rata -20°C di musim panas dan -50°C di musim dingin—Erebus merupakan gunung berapi yang banyak diteliti. Sejak 1972, tiap tahun tim vulkanologi yang dipimpin profesor geokimia Philip Kyle, melewatkan sebagian musim panas selatan di gunung meneliti hal-hal seperti sifat dan frekuensi letusan, jenis gas yang keluar, serta usia batuannya.

Biologi di  kurang terdokumen­tasikan. Sebagian karena di atas Erebus ke­ba­nyakan bentuk kehidupan bersifat mikroskopis. Sampai baru-baru ini, penelitian mikroba yang belum dikenal memiliki tantangan tersendiri: Jika tak bisa ditumbuhkan di laboratorium, kita tak dapat mendeskripsikannya, apalagi menelitinya.

Namun, kini tak perlu lagi membiakkan mikroba untuk menelitinya. Dalam sekitar satu dasawarsa terakhir, teknik genetika telah demikian berkembang sehingga memungkinkan komunitas mikroba dikenali melalui DNA-nya saja, memberikan gambaran yang jauh lebih lengkap mengenai jenis-jenis yang ada. Jadi, sekalipun makhluk hidup telah ditemukan di tanah panas Erebus sejak awal 1960, baru kini kita dapat menelitinya dengan saksama.

Tanah panas Erebus bertebaran di sekitar puncaknya, yang paling terkenal adalah Punggungan Tramway. Panas dari gunung berapi melelehkan es, menciptakan sepetak kecil tanah lembap dan panas yang dihuni komunitas lumut dan mikroba.!break!

Ini yang menarik. Petak-petak ini adalah kantong kecil kehangatan di tengah iklim dingin. Meskipun tanah itu panas—dapat mencapai suhu 65°C—udara tepat di atasnya tak panas. Selain itu, tak sampai satu meter dari titik panas itu, suhu tanah menurun drastis. Keasaman tanah juga berubah. Keasaman tanah di titik-panas relatif netral. Tak jauh dari situ tanahnya sangat asam. Tak ada kehidupan. Dingin, kering, dan asam tidak cocok bagi makhluk hidup.

Keberadaan kantong-kantong ini menimbulkan pertanyaan menarik. Mikroba apa yang hidup di sana, dan dari mana asalnya? Mikroba dapat melayang ratusan kilometer bersama angin. Apakah mikroba ini tertiup dari tanah panas gunung-gunung berapi di utara? Atau apakah mikroba di Erebus ini unik, dan—ini sangat menarik—apakah makhluk ini berasal jauh dari dalam perut bumi? Biosfer perut bumi, tempat organisme hidup di bebatuan jauh di bawah permukaan bumi, merupakan salah satu ekosistem planet ini yang kurang dikenal. Namun, mungkin merupakan salah satu yang terbesar—beberapa perkiraan menyatakan bahwa sepertiga dari semua bakteri di planet ini mungkin hidup di sana—dan yang teraneh. Mikroba tersebut tidak hidup dengan menyerap energi dari matahari. Sebaliknya, makhluk tersebut mendapatkan energi dari sumber lain, seperti besi atau hidrogen. Ekosistem dalam-dan-gelap ini mungkin juga merupakan yang paling purba di bumi dan bisa jadi merupakan asal bentuk kehidupan yang kemudian terpisah jalur evolusinya.