Gunung Erebus

By , Senin, 25 Juni 2012 | 12:58 WIB

Perjalanan kami dimulai di Dinas Antartika Selandia Baru, di Christchurch, tempat seorang pria periang bernama Chris membekali kami dengan perlengkapan: pakaian dalam hangat, dua celana panjang wol (tebal dan tipis), dua jaket wol (idem), overal tahan angin, jaket tipis dari bulu-kapas sintetis, jas hujan, jaket berat dari bulu-kapas asli, dua pasang sepatu lars, dua pasang kaus kaki tebal, sandal bulu untuk di tenda, sembilan pasang sarung tangan, topi, penutup kepala, pembungkus leher (syal berbentuk seperti tabung), kacamata salju, dan kacamata hitam. Karena Antartika adalah gurun, sekalipun dingin, Chris juga memberi kami masing-masing satu botol air minum bermulut lebar yang berlabel MINUM ATAU MATI! beserta daftar tanda-tanda umum dehidrasi.

Setelah dibekali, kami naik pesawat transportasi militer AS—bersama dengan penumpang lain dan beberapa peti besar berlabel “Jangan dibekukan”—menuju Pulau Ross. Kami mendarat di hamparan es laut dan turun ke dalam lanskap putih, biru, dan keemasan. Putih: es, salju, awan. Biru: langit, beberapa jenis es, dan jika terlihat, laut lepas. Emas: pantulan cahaya matahari dari es atau awan. Sayangnya kami tidak punya waktu lama, karena kami harus pergi menjalani pelatihan di Pangkalan Scott, stasiun penelitian Selandia Baru di Antartika.

Bahkan di zaman modern ini—ketika ada masalah, kemungkinan besar akan terselamatkan—perjalanan di Antartika tetap terperinci dan rumit. “Jangan berasumsi,” kata Stu Arnold, warga Selandia Baru yang berkulit kasar lantaran terkena angin, pada hari pertama pelatihan kami. “Periksa semua peralatan.”!break!

Ian McDonald, peneliti senior dalam tim Herbold, mencondongkan tubuhnya ke arah saya dan berkata, “Jangan lupa memastikan termosmu berfungsi—air tetap panas semalaman dan tidak bocor.”

“Kamu masih menyimpan botol air yang kita beli di Selandia Baru?” tanya Craig Cary, lelaki flamboyan dan veteran dalam penelitian di Antartika. Saya mengangguk. “Bawa saja. Lebih mudah untuk minum dengan botol itu saat berbaring di kantong tidur. Jika minum dengan botol yang diberikan, airnya bisa menumpahi badanmu—dan yah, kamu bakal dapat masalah.”

Masalah, karena basah berarti dingin. Paling ringan, pakaian dan kantong tidur yang basah menyedot panas dari kulit kita. Paling parah, keduanya membeku menjadi baju es. Salah satu penjelajah awal menggambarkan saat ia meninggalkan kemahnya dengan pakaian yang lembap oleh keringat dan pernapasan: “Begitu di luar, aku menengadah untuk melihat sekeliling dan tiba-tiba tidak bisa menggerakkan kepala. Pakaianku langsung membeku saat berdiri di luar—mungkin sekitar lima belas detik.” Gawat!

Jadi, kami menguji termos dan botol air. Kami lanjutkan dengan menguji kualitas pakaian—pakaian yang cocok berbeda untuk setiap orang—kemudian berbelanja di Stasiun McMurdo, pangkalan Amerika di dekat situ, membeli helm mobil-salju. Kembali ke Pangkalan Scott kami menyiapkan peralatan tidur. Di bagian bawah matras busa. Berikutnya kasur angin tiup. Selanjutnya karpet kulit domba. Terakhir dua kantong tidur dari bulu, dipakai berlapis serta seprai wol kutub, dimasukkan ke dalam bungkus pelindung. Setelah itu, kami menimbang semuanya, termasuk tubuh kami, karena daya angkut helikopter terbatas.

Lalu menunggu. Pada malam yang kami rencanakan untuk terbang ke atas gunung, ada awan tebal menggantung. Baru petang berikutnya cuaca cukup cerah untuk berangkat.!break!

Perhentian pertama, Kamp Gletser Fang, di lereng gunung berapi sekitar 3.000 meter di atas permukaan laut, tempat kami melewatkan beberapa hari untuk membiasakan tubuh dengan ketinggian. Fang terletak di padang salju di hulu gletser dengan pemandangan pegunungan benua Antartika di satu sisi dan puncak Gunung Terror yang berselimut salju di sisi lain. Batu gelap berbentuk taring yang menjadi asal nama kamp ini mencuar ke langit di depan; sisa-sisa kaldera yang runtuh ratusan ribu tahun yang lalu. Saat angin mati, suasana terasa begitu hening. Tidak ada suara mesin, burung, serangga, gemeresik daun. Di samping itu, pada saat seperti ini matahari tidak terbenam, dan langit cerah—seterang lintasan ski—sepanjang waktu. Satu-satunya perbedaan antara siang dan tengah malam adalah bahwa pada tengah malam bayangan lebih panjang dan udara lebih dingin.

Namun, Kamp Fang cuma kamp biasa. Sementara pangkalan operasi kami nanti, Pondok Erebus Bawah, memiliki dua bangunan kecil (disebut pondok dan teratak) dengan listrik, pemanas, kursi, meja, serta kompor dengan oven, yang dimiliki Fang hanyalah deretan tenda di atas salju.

Berkemah di lingkungan ini ada kesulitannya sendiri. Misalnya, jika kita tidak segera menyantap makanan beberapa menit setelah dimasak, maka masakan itu akan membeku. Suatu pagi saya kurang cepat makan sereal—dan harus mencuilinya sedikit demi sedikit dengan sendok. Satu-satunya cara untuk menjaga kehangatan barang adalah dengan memberikan panas tubuh kita. Ini berarti kita harus memasukkannya ke dalam kantong tidur. Itulah sebabnya saya berbagi kantong tidur dengan pelembap bibir, pelembap kulit, pasta gigi, tisu basah, kamera, jam tangan, beberapa pena, sandal tenda, dua pasang sarung tangan, dua botol air, tiga baterai, dan tiga botol pipis.

Botol pipis? Untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian kami harus minum air enam sampai delapan liter sehari, yang semuanya didapatkan dengan mencairkan salju. Minum banyak jelas ada akibatnya. Jadi di Fang ada tenda toilet. Namun, untuk pergi ke tenda toilet kami harus berpakaian lengkap; saat suhu di luar -40°C, kami tidak bisa bergegas keluar dengan memakai piama. Karena itu, demi kemudahan kami tetap di dalam tenda dan kencing menggunakan botol. Ketika sudah penuh, baru pergi ke tenda toilet dan mengosongkan semua botol tersebut. Jika sampai beku—bencana.