Mengejar Halilintar

By , Senin, 23 Juli 2012 | 12:29 WIB

Untunglah ada marka jalan bertakik di sepanjang bahu jalan, karena Tim Samaras tidak dapat terus  memperhatikan jalan. 

Saat itu musim panas dan dia mengendarai mobil pikap Denali hitam besar yang penyok-penyok bekas hujan es batu. Mobil ini menarik sebuah trailer berukuran lima meter yang dilengkapi kamera berkecepatan tinggi dan peralatan elektronik lainnya. Sebuah komputer jinjing dipasang di sisi kanan kemudi, dan dengan satu tangan di kemudi dan satunya lagi di tombol bola gulir, Samaras memperhatikan sebuah peta radar cuaca di Oklahoma Panhandle. Sekumpulan warna—merah di tengah dikelilingi lapisan jingga, kuning, hijau dan biru—menunjukkan sebuah badai kilat yang sedang terbentuk di timur laut kota Boise.

“Beberapa petir hebat mulai terjadi,” katanya, ketika melihat beberapa silang kuning kecil di radar. Dia kembali melihat komputernya, di mana sebuah jendela sedang menelusuri posisi kami dengan GPS. Lalu terdengar suara roda beradu marka jalan yang bertakik, dan dia dengan tenang mengarahkan laboratorium berjalan ini kembali pada jalurnya.

Bersama serangga yang kerap menabrak kaca mobil dan retakan kaca yang perlahan semakin membesar, kami melewati kota Boise, mengikuti badai bergerak ke timur ke arah Guymon. Di depan kami, awan berbentuk kembang kol. Pertanda klasik adanya aliran naik udara hangat dan basah yang memisahkan butiran air bertenaga negatif dan partikel es bertenaga positif (tak ada yang tahu dengan pasti bagaimana). Lalu, menciptakan potensi berjuta voltase—seperti yang baru saja meledak di langit di hadapan kami.

“Apakah kamu barusan melihat serangan tadi?” tanya Samaras. Lalu, datang serang­an berikutnya, dan berikutnya. Dia menahan kacamata bacanya dengan gigi, yang dipa­kai ketika melihat radar, namun dilepasnya ketika melihat ke jalan. “Apakah kamu melihat bagaimana badai itu berpusat tepat di sana? Itulah yang kita inginkan.”!break!

Kilatan terjadi setiap beberapa detik sekali, dan truk itu lagi dan lagi melaju keluar jalur. Namun ketika dia mulai mencari lokasi untuk berhenti, gumpalan warna di radar mulai menyusut. Samaras menambah kecepatan, tetapi ketika kami sampai di Guymon, 95 kilometer sesudahnya, matahari mulai muncul, dan pela-ngi membusur di langit.

“Ketika kamu melihat pelangi, habislah sudah,” katanya.“Sudah selesai. Saya tidak percaya ini.” Akan tetapi, keberuntungannya baru dimulai pukul 6 sore. Radar menunjukkan sebuah gumpalan terbentuk di atas Kansas bagian selatan, 130 kilometer jauhnya.

Akhir musim panas merupakan musim badai guntur di bagian negara ini. Sejak 2006, Samaras mencoba melakukan hal yang tidak mungkin: menangkap imaji serangan petir ketika momen itu terjadi. Umumnya, proses itu dimulai saat sebuah listrik bermuatan negatif turun secara zigzag—disebut stepped leader—bergerak dari awan ke tanah. Ketika cukup dekat, bagian positif akan naik dari bumi. Ketika keduanya bertemu, sebuah arus dahsyat—misalnya 30.000 amper pada sepertiga kecepatan cahaya—melompat ke langit. Kilatan cahaya “serangan balasan” ini adalah apa yang Anda lihat dengan mata telanjang, yang sering diinterpretasikan se-bagai gerakan ke bawah. Dari awal hingga akhir, keseluruhan proses ini hanya butuh waktu 200 milidetik.

Di dalam trailer Samaras ada dua Phantom, kamera berkecepatan tinggi yang mampu memotret 10.000 gambar per detik. Perangkat tersebut memungkinkannya mengambil gambar video gerak lambat nan mencengangkan yang memuat detail pergerakan stepped leader dan sesekali aliran arus naik. Namun, ketika keduanya terhubung—menginisiasi proses tautan—kilatan cahaya dari serangan balik membutakan kamera, memusnahkan detail. Para ilmuwan sangat ingin mengintip di balik layar dan melihat rentetan kejadian, dengan serangan balik yang melesat seperti roket dari daratan.

Gambar-gambar ini mungkin menyimpan petunjuk dari misteri terbesar petir. Mengapa petir kadang-kadang menyambar pohon pendek padahal di sampingnya ada menara besi tinggi? Dan, pertanyaan mendasar, mengapa petir menyambar? Berdasarkan intensitasnya, tegangan voltase yang dihasilkan dalam awan badai tidak cukup kuat untuk mengalahkan daya insulasi udara. Beberapa faktor ekstra diperlukan, dan sebuah gambar dari proses tautan mungkin menyarankan sebuah jawaban. Menguak tabir ini membutuhkan sebuah kamera khusus yang mampu menangkap lebih dari sejuta gambar beresolusi tinggi per detik. Hanya ada satu kamera seperti itu, dan itu juga tersedia di dalam trailer milik Samaras.!break!

Berbobot 725 kilogram dengan tinggi 1,8 meter ketika ditegakkan, kamera itu merupakan peninggalan Perang Dingin. Awalnya digunakan untuk memfilmkan tes nuklir di atas daratan. Pertama kali Samaras melihatnya pada 1980, tatkala dia bekerja di University of Denver Research Insitute.

Instrumen raksasa itu merupakan contoh kehebatan teknologi analog. Cahaya memasuki lensa utama dan akan menabrak cermin tiga sisi di tengah sebuah turbin yang digerakkan oleh udara tekan atau, untuk kecepatan sangat tinggi, helium. Berputar secepat 6.000 putaran per detik, cermin akan menyapukan cahaya ke arah lensa 82 buah kamera film 35 milimeter, yang terpasang bersisian mengelilingi bingkai. Hasilnya adalah urutan gambar-gambar yang berjarak kurang dari sepersejuta detik.

Pekerjaan Samaras mempelajari ledakan konvensional, dan dia menjadi penjaga kamera raksasa, mempelajari keunikannya, memperbaikinya ketika rusak. Dua puluh lima tahun kemudian, ketika ia mendengar bahwa kamera tersebut dilelang karena tidak dibutuhkan lagi oleh pemerintah, dia memasang taruhan dan memenangkannya pada 600 dolar Amerika Serikat—beda tipis dengan harga rongsokan aluminium. Nama sebenarnya adalah Beckman & Whitley 192. Samaras memanggilnya Kahuna.